“Pulcrhum
Splendor est Veritatis
Keindahan
adalah pancaran kebenaran”
Thomas Aquinas
Buku Romo Mangun
Wastu Citra,
tulisan Romo Mangun, sepertinya merupakan buku arsitektur terbaik yang pernah
ada. Berbeda dari pandangan hampir semua pemikir teori dan pengulas karya
arsitektur, Wastu Citra justru
menghindarkan seni membangun dari konsep kata arsitektur.
Kata ‘arsitektur’, ‘arsitek’, ‘karya
arsitektur’, mengandung
pengertian yang mendahulukan kreativitas
desain, kemampuan teknik, kemampuan mengatasi tantangan elemen-elemen alam
seperti iklim dan topografi serta inovasi di bidang desain penemuan material baru yang efektif
atau memukau. Para arsitek berkompetisi menjadi selebriti, genit dan mencari
sensasi dengan merancang karya yang serba memukau demi pujian dari para
pengulas. Dunia industri pun berlomba menghasilkan material yang paling
inovatif dalam mengatasi tantangan desain sekaligus paling indah ditangkap
indera.
Dunia
arsitektur adalah wajah semesta manusia yang sangat sensasional dan penuh
otoritas. Sebuah wujud karya arsitektur secara langsung menggerakkan rasa
sekaligus dapat memerintah manusia untuk datang atau menjauh. Sebuah bangunan
dapat sengaja memancing manusia untuk datang atau memberitahunya untuk
bertindak sesuai harkatnya. Setiap karya arsitektur adalah cermin di hadapan
masing-masing manusia. Seseorang dapat melihat kelayakannya dalam ruang melalui
tampilan desain arsitektur yang dirasakannya.
Karya
arsitektur dengan demikian adalah bagian dari cara manusia menempatkan semua
manusia dalam berbagai kategori, berbagai nilai atau kelas. Buku Wastu
Citra menunjukkan hal yang sebaliknya. Alih-alih memanfaatkan kata arsitektur
yang begitu lumrah dan berwibawa, Romo Mangun menunjukkan sebuah pendekatan
total pada seni membangun dengan memasukkan budi bahasa ke antara berbagai
perkakas desain. Budi bahasa adalah unsur terpenting definisi manusia menurut
Aristoteles: manusia adalah makhluk yang berbudi bahasa.
Wastu Citra
mengetengahkan kerumitan nasib manusia di dunia sekaligus keagungan perenungan
budi bahasa yang dicapai selama beribu tahun dalam mencerap pengalaman seluruh
sejarah. Manusia itu rumit, ia senantiasa mencari tempat yang sesuai baginya
dalam semesta dan dengannya ia meratap dan bertarung melawan beratnya situasi
hidup, tetapi sekaligus ia merayakan keindahan hidup dalam budi bahasa yang
bisa ia wariskan.
Seni
membangun adalah perayaan dan warisan tersebut. Manusia membangun untuk
menciptakan ulang semesta. Ia belajar dari warisan pengetahuan dan
kebijaksanaan tradisi budi bahasa. Kata 'Wastu' atau 'Vastu' datang dari bahasa India kuno yang berarti sebuah sastra
seni membangun yang dirumuskan dari rangkaian kedalaman pemahaman tentang
semesta, tentang hierarki alam, pergerakan roda waktu, tempat dan tugas manusia
dalam semesta. Citra berarti pancaran, wajah, perwujudan dari kedalaman
pemahaman tersebut.
Buku Wastu
Citra tidak mengarahkan kita untuk mematuhi paham klasik India tersebut. Romo
Mangun menggagas budi bahasa sebagai citra manusia. Kata Wastu dimaksudkan
untuk membuat para pembelajar arsitektur untuk berhenti sejenak dalam proses
desain untuk menjelajah sejarah budi bahasa lokal di tempat dimana ia
melaksanakan tugasnya. Wastu Citra adalah undangan untuk memperlakukan seni
membangun sebagai daya ungkap kemanusiaan yang luhur. Untuk itulah Romo Mangun
membahasakan seni membangun dengan kata Wastu Citra, dan menghindari kata
'arsitektur'.
Romo Mangun Membangun
Lebih dari
70 karya beliau menunjukkan drama manusia yang mencari tempat di dunia. Berbeda
dari karya arsitektur umumnya yang mengklasifikasikan manusia, dalam ruang-ruang
‘wastu’, Romo Mangun membahasakan
kegelisahan dan sekaligus keyakinan manusia dalam melakukan perjalanan. Rumah
tinggal, gereja, masjid, sekolah, kantor atau ruang-ruang publik yang dibangun
Romo Mangun mewujud pada skala yang sederhana, ruang-ruang yang terbuka,
menerus, saling terhubung, tidak berhenti mendadak, penuh dengan permainan
cahaya yang menerobos antar ruang.
‘Citra’ yang bisa kita tangkap bila
memandang ke dalam karya Romo Mangun adalah wajah manusia yang kuat, yang mampu
mengatasi nasibnya dengan leluasa dan berani, wajah yang ditempa nasib sejarah
namun sekaligus bertahan dengan keyakinan akan harkat dan tujuannya. Lihatlah
Kali Code Yogyakarta, peziarahan Sendangsono, Sekolah Dasar Mangunan, Gereja Maria Asumpta Klaten serta Bentara
Budaya Jakarta! Semuanya mencitrakan
budi bahasa dari seorang perancang yang memihak nasib manusia.
Bangunan Gereja Maria Assumpta karya Romo Mangun |
Romo Mangun
bukan arsitek, ia menolak bergerak dalam arus dunia arsitektur yang genit dan
penuh gelagat narsistik yang akut. Ia melakukan budi bahasa dengan penuh
semangat dan karena ia percaya bahwa seni membangun merupakan cara manusia
menciptakan ulang semesta, ia pun membangun citra semesta manusia.
Pesan Romo Mangun kepada para
pembelajar
Wastu Citra melekatkan bangunan, ruang, lingkungan terbangun kepada perilaku kita sehari-hari. Ketika ia dikritik karena desainnya perlu perawatan sangat rutin, ia menjawab bahwa bangunan adalah perwujudan tubuh manusia yang meluas, karena itu perlu diperhatikan setiap hari, dirawat dan dibersihkan rutin.
Wastu Citra melekatkan bangunan, ruang, lingkungan terbangun kepada perilaku kita sehari-hari. Ketika ia dikritik karena desainnya perlu perawatan sangat rutin, ia menjawab bahwa bangunan adalah perwujudan tubuh manusia yang meluas, karena itu perlu diperhatikan setiap hari, dirawat dan dibersihkan rutin.
Ia juga
dikritik karena penggunaan material bambu serta kayu yang tidak akan bertahan
lama dan karenanya turut berperan memusnahkan hutan. Ia mempersoalkan mengapa
kayu menjadi langka: karena lahan hutan beralih fungsi. Desainnya
dianggap tidak standar, melawan ketersediaan bahan bangunan sehingga membuat
para tukang harus membuat sendiri material atap, dinding dan ubin lantai.
Bangunan Romo Mangun mahal justru pada ongkos kerja. Ia memang suka bermain
dengan bahan dasar beton, tanah lempung serta kelenturan batang besi. Beliau
menjawab bahwa para tukang memang harus dibayar tinggi untuk kerja membangun.
Kreativitas yang tidak didikte oleh industri merupakan penghargaan pada budi
bahasa yang unik pada masing-masing manusia dalam menciptakan ulang semesta.
Semua
jawaban sederhana ini memperlihatkan kedalaman kontemplasi yang tidak dimiliki
para arsitek umumnya. Arsitek selalu mencari peluang untuk menegaskan kariernya
dan berusaha tampil secara meteoristik di antara etalase kreativitas dunia
desain. Tetapi bahkan dengan ego sedemikian tinggi, arsitek sebetulnya
diperintah oleh industri dan selera rendah konsumen yang tidak mengenal budi
bahasa otentik manusia.
Gatra-gatra pada peziarahan Sendangsono, karya Romo Mangun |
Warisan Romo Mangun
Pulcrhum
Splendor est Veritatis, Keindahan adalah Pancaran Kebenaran. Kutipan dari budi bahasa Thomas
Aquinas yang berakar pada Socrates, Plato dan Aristoteles, bisa kita terima
sebagai tantangan yang Romo wariskan pada para pembelajar arsitektur atau
pencari Wastu Citra. Keindahan bukan sebuah kategori yang bisa didikte oleh
industri atau tataran selera. Keindahan itu memancar dari keberanian untuk
mengangkat perjuangan manusia mencipta ulang realitas semesta. Sebuah
kemerdekaan hakiki yang bisa di narasikan dalam desain ruang-ruang yang
menampung dan mewadahi kegiatan manusia. Kerja desain, kerja membangun adalah
Citra dasar kemanusiaan kita. Kita merancang ulang nasib kita, membangun
realitas semesta yang sejajar dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Kita
menuturkan budi bahasa membangun sebagai cara kita berada, cara kita mewarisi
kehidupan.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini