Editorial Pro:aktif Online - edisi Desember 2016

Tak terasa putaran waktu kini beranjak ke penghujung tahun 2016.
Pada akhir tahun ini, Pro:aktif Online kembali hadir dengan tema “Budaya Membaca Buku”

Membaca adalah sebuah kegiatan penting dan utama di dalam kehidupan manusia. Dengan membaca, seseorang mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Membaca merupakan jendela menuju dunia dan wawasan yang luas. Demikian pentingnya membaca sehingga mampu mendongkrak kualitas hidup manusia dan kesejahteraan suatu masyarakat.

Dalam edisi kali ini, budaya membaca telah dipotret dari berbagai sudut pandang oleh para kontributor penulis Pro:aktif Online, dimulai dari rubrik Pikir yang dibawakan oleh Sofie Dewayani. Artikel yang dibawakannya mengajak pembaca untuk menyelami dan memahami perilaku dan pilihan-pilihan generasi masa kini yang melek teknologi digital. Dengan pemahaman baru tersebut, pembaca diajak untuk menyikapi secara bijak perkembangan teknologi yang ada, serta mencari cara yang strategis agar kebiasaan membaca tidak tergerus oleh perkembangan teknologi tersebut.

Rubrik Opini disajikan oleh Umbu, yang dengan indahnya memaparkan dunia yang membaca. Alam semesta terdiri dari peristiwa membaca yang tak pernah usai, dimulai dari pembacaan semesta terhadap awal mula dunia kepada insting ‘membaca’ pada manusia purba hingga terciptanya simbol-simbol yang kini digunakan oleh masyarakat modern dalam membaca. Secara menarik, Umbu mengajak pembaca untuk meninjau kembali budaya membaca dalam hubungannya dengan pola berpikir kritis. Ia menyandingkan membaca yang dilakukan Alice dalam kisah “Alice in Wonderland” dengan membaca yang dilakukan Pinocchio, sang boneka kayu yang akhirnya menjadi manusia.

Rubrik Masalah Kita dibawakan oleh Kukuh Samudera. Ia memaparkan tentang kebiasaan membaca buku di kalangan aktivis. Kukuh mengantarkan pembaca kepada pengalaman para aktivis dalam mengakses buku, yang dikaitkan dengan kiprah mereka di tempat karya masing-masing.

Rubrik Jalan-Jalan dibawakan oleh Yosepin Sri Ningsih, mengisahkan tentang Perahu Pustaka Pattingaloang, sebuah perpustakaan yang dibangun di atas sebuah perahu layar dengan misi menjangkau wilayah-wilayah terpencil untuk meningkatkan minat membaca masyarakat, terutama masyarakat di Indonesia bagian timur.

Rubrik Media ditulis oleh Tabrani Yunis, direktur Center for Community Development and Education (CCDE) di Aceh, menuturkan tentang majalah POTRET yang merupakan majalah bagi aktivis dan kaum perempuan di Aceh.

Rubrik Profil diisi dengan dua artikel, pertama, tentang Perpustakaan Jalanan yang ditulis sendiri oleh pendirinya, Senartogok, yang mengisahkan jatuh bangun perjuangan mereka menyuarakan gema literasi di jalanan. Artikel kedua adalah profil tentang seorang penulis bacaan anak, Eugenia Rakhma, yang mengisahkan pengalaman dalam menulis bacaan yang mampu memikat hati anak-anak yang membacanya.

Rubrik Tips dibawakan oleh Any Sulistyowati yang menuliskan kiat-kiat meningkatkan budaya membaca buku di kalangan aktivis dan tips untuk mengakses buku yang sesuai dengan bidang minat masing-masing.

Akhir kata, semoga dengan penerbitan edisi “Budaya Membaca Buku” ini dapat bermanfaat bagi peningkatan minat baca di kalangan aktivis. Mari kita refleksikan kembali makna membaca bagi diri kita masing-masing.

Selamat membaca dengan penuh makna!

[PROFIL] Perpustakaan Jalanan

Penulis: Senartogok


Masa mudaku berkisar pada perpindahan kata jalanan. Selepas dari Rumah Belajar Sahabat Anak Jalanan, aku terdampar di sepetak omong kosong lain bernama Perpustakaan Jalanan. Enam tahun silam, tak ada yang bisa diharapkan dari sekelompok orang menongkrong yang mengatasnamakan literasi dalam kegiatannya ini. Lagipula keikutsertaanku pada mereka berawal dari bergabungnya aku sebagai vokalis dalam band mereka yang juga angin-anginan. Ya, kelompok ini hanyalah personil dari grup punk rock setengah hati yang namanya juga buruk: Masturbasi Distorsi. Band yang lebih banyak menebar bualan dalam setiap terbitan tak berkalanya ketimbang membuat musik, mengisi panggung, atau promosi rilisan fisik yang sampai saat ini belum ada albumnya, kecuali demo versi lagu berkualitas murahan yang banyak disebar.

Sial? Tak sepenuhnya kurasa, sebab dari sekawanan kecil pemuda, jauh lebih banyak faedah ketika hal tersebut merupakan representasi sebuah upaya dan daya atas kemarahan, kebanggaan, kegenitan, kegelisahan, yang menjadi kehendak mereka. Saat itu, kami terpukau dengan kelompok Baader Meinhoff alias RAF yang bututnya juga kami telan mentah-mentah dari tayangan layar lebar. Meskipun tak radikal, kami menganggap diri kami dapat mengubah keadaan; sesuatu yang banyak beredar di dada kaum muda ketika menginjak usia 23 tahunan mereka. Tak banyak yang kami lakukan. Hanya gerilya kecil, kekanak-kanakan, dan bersifat sesaat, dan paling lembutnya sekedar menghamparkan buku di pinggiran kota.

[PROFIL] Menjadi Penulis Buku Anak? Senangnya!

Oleh : Eugenia Rakhma 

Sekarang ini, buku bacaan untuk anak-anak sangat mudah ditemukan. Jenisnya pun beragam. Dari mulai buku bergambar (pictorial book), buku berilustrasi (illustrated book), sampai novel anak.

Menulis buku anak, terutama bagi pembaca usia dini (2-5 tahun) merupakan hal yang mudah sekaligus sulit. Mudah karena alur ceritanya sederhana, teksnya tidak terlalu panjang, dan tokohnya pun hanya sedikit. Anda cukup terlibat dengan dunia anak-anak, mengetahui ketertarikan mereka, lalu menuangkannya ke dalam sebuah cerita.

Sebelum fokus terjun ke dunia menulis, saya merupakan guru taman kanak-kanak. Maka cukup mudah bagi saya untuk menuliskan buku seri pertama saya yang berjudul Benji. Berpegang pada pengalaman sehari-hari bersama anak-anak, mengetahui jangkauan tema tiap usia, dan target belajar mereka, saya pun menyusun buku pertama saya.




Gambar buku Benji

[PIKIR] Membaca di Era Digital

Penulis: Sofie Dewayani
sumber-teorikomputer.com

Selamat datang di dunia Gen Z, dunianya generasi muda yang melek teknologi. Survei Nielsen di Indonesia pada Oktober 2016 memperkuat ungkapan ini. Survey ini menemukan bahwa anak (usia 10-14 tahun) dan remaja Indonesia (umur 15-19) lebih gemar mengakses internet ketimbang membaca buku. Survey ini lebih jauh menyebutkan bahwa persentase anak yang membaca buku hanya 11 %, dan remaja hanya 10 %. Sementara itu, hanya 4 % orang dewasa membaca buku. Anak-anak dan remaja mengakses internet untuk mencari informasi (8 % untuk anak-anak dan 17 % untuk remaja) ketimbang bermain (hanya sekitar 6 % pada kedua kelompok ini. Fakta bahwa media teknologi lebih banyak diakses ketimbang media cetak tak dapat dielakkan lagi.

Perkembangan teknologi digital sering dianggap sebagai kambing hitam bagi kegemaran membaca. Orang khawatir bahwa ketika internet semakin mudah diakses, buku cetak tidak lagi menarik minat pembaca. Di Indonesia terutama, kekhawatiran ini muncul karena minat membaca belum tumbuh. Kekhawatiran yang sama mengemuka di dunia Barat di awal kemunculan teknologi visual, yaitu televisi dan film. Namun kekhawatiran ini tidak terbukti. Buku-buku cetak tetap digemari saat itu, karena diproduksi dengan memenuhi tantangan teknologi visual. Buku-buku dibuat dengan kaya warna, ilustrasi dan desain yang menarik. Inovasi terjadi dalam dunia komik, novel grafis, dan buku bergambar, yang digarap dengan kualitas konten, warna, dan desain yang lebih baik. Televisi sempat mencuri perhatian sesaat, namun orang tetap kembali kepada buku cetak. Hal ini membuktikan bahwa teknologi visual bahkan memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia membaca. Budaya membaca untuk kesenangan (reading for pleasure) semakin tumbuh karena dipupuk dan dimanjakan oleh buku-buku yang baik. Perkembangan budaya membaca untuk kesenangan tumbuh seiring dengan inovasi dalam teknologi visual.
sumber-wawanindrairawan.wordpress.com

Inovasi dalam produksi buku telah tampak di Indonesia dengan kemunculan buku-buku bergambar yang memperhatikan aspek desain, penataan, dan ilustrasi secara lebih serius. Penulis-penulis buku anak, misalnya, berpartisipasi dalam ajang kompetisi tingkat Asia dan internasional dan perhatian konsumen buku mulai diarahkan kepada buku-buku yang mendapatkan pernghargaan pada kompetisi ini. Sayangnya, buku-buku berkualitas hanya dapat diakses oleh kelas atas dan menengah di daerah perkotaan di Pulau Jawa. Rendahnya daya beli dan mahalnya ongkos ekspedisi serta distribusi menyebabkan buku-buku berkualitas ini tak dapat diakses oleh sebagian besar pembaca, terutama mereka yang tinggal di pedesaan, luar Jawa, dan daerah-daerah terluar di Indonesia. Karenanya kita memaklumi, apabila perpustakaan-perpustakaan SD masih menyimpan buku-buku Inpres atau DAK (Dana Alokasi Khusus) yang miskin kualitas serta cerita rakyat yang tak sesuai dengan daya nalar dan pemahaman mereka. Inovasi dalam peningkatan kualitas dan distribusi buku anak terbukti kalah cepat dengan perkembangan teknologi internet dan gawai elektronik yang telah menyebar ke segala penjuru Indonesia. Informasi digital saat ini telah menjadi materi bacaan yang diakses secara masif. Kegiatan membaca digital mempengaruhi cara seseorang mencerna informasi, perilaku membaca, dan cara memahami bacaan. Karena itu, upaya menumbuhkan minat baca membutuhkan strategi khusus dan perlu memperhatikan perilaku dan preferensi membaca di era digital ini.

[MASALAH KITA] Aktivis Membaca


Membaca belum menjadi kebiasaan dan kebudayaan bangsa kita. Anies Baswedan mengatakan, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia merupakan pembaca aktif. Pernyataan ini disampaikan ketika Anies memberikan sebuah sambutan di acara final Gramedia Reading Community Competition 2016 di Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta, Sabtu (27/8/2016). Saat itu Anies masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan[1].

Menurut data yang dilansir oleh UNESCO, sesungguhnya angka buta huruf di Indonesia tergolong rendah. Di tahun 2015, 92.6 persen warga Indonesia berusia di atas 15 tahun telah mampu membaca aksara[2]. Namun, sayang kemampuan dasar membaca di sini tidak diimbangi dengan minat membaca masyarakat. Survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2012 menunjukkan hanya 17,3 persen penduduk Indonesia yang membaca (baik buku, majalah, maupun koran) dalam rentang waktu satu minggu[3].

Hal ini bukan sebuah tren yang baik. Saat ini memang informasi dapat diperoleh dari mana saja. Namun, kedalaman informasi adalah sesuatu yang berbeda. Saat menonton televisi, kita akan memperoleh informasi dan gambar bergerak. Otak kita cenderung reseptif. Sementara jika kita membaca buku, otak kita dituntut mengolah informasi secara lebih aktif.

[OPINI] Membaca dan Berpikir Kritis

Penulis : Umbu


Membaca demi memanusia



Segala sesuatu membaca. Membaca adalah pusat keberadaan segala sesuatu, masing-masingnya dan totalitasnya. Berhenti membaca, berhenti menjadi sesuatu; berhenti mengada, hilang begitu saja …

Salah satu syair kuno Yunani tentang penciptaan bertutur bahwa Sang Pencipta itu, yakni Dia yang mula-mula adalah Kata. Kata adalah bacaan.

Semesta adalah peristiwa membaca yang tak pernah usai. Berhenti membaca, semesta pun berakhir. Daya-daya purba semesta membaca kepadatan gravitasi tak berhingga, membaca dengan suara ledakan keras, dentuman purba, big-bang, lepas memancar, meluas membangun ruang tak bertepi hingga kini. Semesta, cerita tentang pembaca setia, membaca pesan intrinsik dalam dirinya dan membacakan lahirnya kejadian-kejadian baru, semesta-semesta baru, daya-daya baru, pusaran-pusaran cakram galaksi baru; berada, melenyap dan berpendar mengada lagi, semesta yang terus lahir, menjadi remaja, dewasa, menua dan mati dengan letusan cemerlang menjadi hembusan kabut gas warna-warni dan kepingan-kepingan mineral, emas, perak, besi, tembaga dan air raksa sebelum melapuk hanyut dalam lautan luas ruang tak berbatas atau berlanjut ditarik ke dalam pusaran-pusaran galaksi baru.

[TIPS] Membangun Kebiasaan Membaca Aktivis

Penulis: Any Sulistyowati

Adakah waktu yang rutin anda luangkan untuk membaca? Apakah bacaan tersebut berkontribusi pada peningkatan efektivitas kerja-kerja yang anda lakukan? Jika anda menjawab ya untuk kedua pertanyaan di atas, maka saya mengucapkan “SELAMAT” karena berarti anda telah memiliki kebiasaan membaca yang bermanfaat untuk peningkatan efektivitas kerja-kerja aktivis anda. Jika anda menjawab belum, maka tulisan ini mungkin bermanfaat untuk anda dalam membangun kebiasaan membaca.

Hambatan-hambatan dalam membangun kebiasaan membaca

Ada banyak hambatan yang dihadapi banyak orang dalam membangun kebiasaan membaca. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya adalah: kemauan , waktu, ketersediaan bacaan, ketersediaan sumberdaya untuk mengakses bacaan, berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca, masalah fisik dan tidak ada teman. Dalam tulisan ini, akan diulas masing-masing hambatan dan beberapa alternatif penyelesaiannya satu per satu.

[MEDIA] POTRET, 14 Tahun Membangun Budaya Baca Di Kalangan Perempuan

Oleh Tabrani Yunis 
Pemimpin Redaksi Majalah POTRET, Media Perempuan Kritis dan Cerdas


Alhamdulilah, pada tanggal 11 Januari 2017 ini, majalah POTRET, Media perempuan kritis dan cerdas ini genap berusia 14 tahun. Sebuah usia yang sudah lumayan lama untuk sebuah media, namun bila dianalogikan dengan usia manusia, ini adalah usia yang masih belia, bahkan masih di bawah umur. Namun, bila menelusuri lorong-lorong sejarah lahirnya, orientasinya dan bahkan cita-citanya, serta secara geografis, usia 14 tahun bagi majalah POTRET, termasuk usia yang lumayan lama. Ini menjadi masa yang seharusnya berada pada masa yang matang. Dikatakan demikian, karena latar belakang ( background) lahirnya majalah POTRET tidak sama dengan majalah-majalah yang terbit di ibu kota, dengan template dan patron yang bisa dikatakan business oriented. Ya, berbeda orientasinya dengan majalah-majalah yang terbit di pusat kota Jakarta. Majalah POTRET lahir dari sebuah keprihatinan terhadap nasib kaum perempuan yang menderita, terutama perempuan akar rumput yang ada di wilayah perdesaan.

Majalah POTRET yang mulai terbit pada tanggal 11 Januari 2003, sebelum bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh itu, terbit dilatarbelakangi dari keprihatinan akan nasib kaum perempuan di Aceh yang hidup terbelenggu kemiskinan. Secara kasat mata, kemiskinan yang dialami perempuan adalah kemiskinan harta benda atau kemiskinan material. Namun, bila kita telusuri lebih dalam, kemiskinan yang menghimpit perempuan adalah kemiskinan intelektual dan spiritual, yang wujudnya, miskin ilmu pengetahuan, miskin keterampilan dan miskin sikap atau spirit untuk maju. Kemiskinan ini semakin memperkecil akses dan kontrol kaum perempuan, terutama perempuan akar rumput (grassroots) yang hidup di perdesaan di Aceh, terhadap pembangunan, akses terhadap pendidikan. Kondisi ini membuat perempuan tidak punya kemampuan membaca, tidak punya minat membaca dan bahkan sama sekali kehilangan semangat untuk maju dan keluar dari belenggu kemiskinan tersebut.

Nah, berangkat dari keprihatinan tersebut, maka Center for Community Development and Education (CCDE), Banda Aceh, sebagai sebuah organisasi nirlaba (nonprofit), atau LSM yang peduli dan bekerja untuk perempuan, melakukan berbagai kegiatan pendidikan alternatif bagi kaum perempuan di Aceh. Kegiatan-kegiatan itu mulai dari kegiatan pertemuan membangun konsolidasi, membangun kesadaran dan hingga pada kegiatan pelatihan dan lain sebagainya yang bisa membuka mata perempuan, serta mendorong perempuan untuk secara aktif berkarya di tengah-tengah masyarakat, agar bisa keluar dari belenggu kemiskinan dalam berbagai bentuk dan jenisnya.

[JALAN-JALAN] Membangun Mimpi lewat Membaca

Penulis: Yosepin Sri 

Indonesia dan membaca, adalah tema dasar dari tulisan ini. Indonesia terdiri dari gugusan kepulauan yang membentang di garis khatulistiwa diapit oleh dua benua dan samudra luas, menjadikan negara ini begitu cantik dan menarik akan bentang alam serta keanekaragaman sukunya. Lalu bagaimana dengan masyarakatnya yang tinggal tersebar di pulau-pulau tersebut? Apakah mereka semua suka membaca?

Buku merupakan sumber informasi dari hasil pemikiran penulisnya, baik itu buku yang berisi kumpulan cerita pendek, dongeng-dongeng, maupun buku yang berisi pengalaman langsung sang penulis, semuanya sama-sama membutuhkan usaha yang tidak mudah untuk menerbitkannya sebagai sebuah buku. Melalui buku, pembaca dapat mengembangkan imajinasinya serta membuka pintu-pintu di kepalanya akan pengetahuan baru yang telah ada di belahan dunia lain. Melalui buku, kita juga dapat mengetahui bagaimana cerita Indonesia bisa merdeka, usaha dari para tokoh di daerah yang bersatu melawan penjajah, hingga usaha dari berbagai ilmuwan untuk menciptakan peralatan yang ada sekarang ini seperti pesawat terbang, lampu, jam tangan, kamera, televisi hingga teknologi informasi seperti internet. Sehingga melalui buku, seorang anak akan bisa membangun mimpinya.