Editorial Pro:aktif Online Edisi Agustus 2016

71 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Merdeka atau Boneka? 

17 Agustus 1945 dapat digambarkan sebagai momentum berakhirnya catatan tragis sebuah bangsa yang menjadi budak atas tanahnya sendiri. Raungan ”Merdeka atau Mati” dari para pejuang, pemuda, rakyat, pos-pos pertahanan terdengar di tiap pelosok negeri ini, hingga akhirnya kemerdekaan itu dapat direbut, benarkah bangsa ini sudah betul merdeka?

20 Tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 bangsa ini mengalami periode keterbukaan politik yang diakhiri dengan perebutan kekuasaan oleh Soeharto pada 1965. Terulang lagi sebuah luka akibat jatuh dalam periode kediktatoran selama 33 tahun lamanya, hingga muncul gerakan bak bulir-bulir didih dari bawah menuju permukaan dan bersatu menjadi pergolakan hebat akibat api yang ditebar sendiri oleh orde tersebut.

Proaktif kali ini akan mengulas 71 tahun setelah hari kemerdekaan Bangsa Indonesia, benarkah kita sudah merdeka? Untuk itu dalam rubrik Pikir, penulis memaparkan catatan sejarah yang telah lalu hingga saat ini dan merefleksikan makna dari kemerdekaan itu sendiri. Dalam rubrik Masalah Kita, penulis menghadirkan sudut pandang beberapa aktivis tentang sejauh mana Indonesia telah merdeka dalam berbagai bidang, ancaman yang sedang dihadapi serta cara mengatasi ancaman-ancaman tersebut.

Lalu apa saja kegiatan-kegiatan aktivis dalam memaknai kemerdekaan dan apa peran aktivis sebagai pelaku gerakan sosial? Hal tersebut akan dipaparkan dalam rubrik Opini. Rubrik Profil Pro:aktif Online kali ini mengangkat profil Hendra Gunawan, seorang matematikawan dan inisiator Anak Bertanya.com. Hasil wawancara penulis dengan Pak Hendra dirangkum menjadi sebuah tulisan menarik tentang pentingnya kemerdekaan dalam peningkatan kualitas dan membangun budaya bernalar agar siap menghadapi tantangan zaman.

Pembahasan kemerdekaan pun dibahas dari sisi terdekat dalam kehidupan kita sehari-hari, bagaimana kita dapat merdeka dari penjajahan waktu dan penggunaan gadget, rubrik Tips akan memberikan kiat-kiat terbebas dari penjajahan waktu dan belenggu pemakaian gadget.

Rubrik-rubrik lain yang melengkapi sajian Pro:aktif Online Agustus ini adalah rubrik Media yang mengangkat tentang narasi dalam buku yang merekam perjalanan lahirnya sebuah bangsa dan bagaimana buku tersebut pula yang dapat membuat sebuah bangsa bertahan. Rubrik Jalan-jalan yang menceritakan tentang ruang publik yang dapat memerdekakan kegiatan-kegiatan para aktivis. Semoga setiap rubrik yang kami sajikan dalam edisi ini dapat menginsipirasi sehingga bersama kita dapat terus memaknai kemerdekaan. Merdeka!

[PROFIL] Mengikatkan Diri untuk Memerdekakan Masa Depan

Oleh: Deta Ratna Kristanti 

Prof. Hendra Gunawan
Jika kita berbicara tentang kemerdekaan, biasanya kita mengaitkannya dengan kebebasan. Kebebasan berpikir, berbicara, bertindak merupakan tiga hal yang sering digadang-gadang sebagai indikator kemerdekaan. Kemerdekaan juga digambarkan sebagai situasi di mana orang tidak terbelenggu oleh tekanan atau tuntutan dari pihak lain terhadap dirinya.

Kemerdekaan seringkali diidentikkan dengan situasi tanpa keterikatan, karena keterikatan seringkali diartikan sebagai belenggu yang membatasi kebebasan. Apakah orang yang mengikatkan diri berarti menanggalkan kemerdekaannya? Bagi seorang Hendra Gunawan, seorang matematikawan dan inisiator anakbertanya.com, kesediaannya mengikatkan diri pada tujuannya justru menjadi kunci keberhasilan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.

Anak-Anak yang Merdeka: Siap Menghadapi Tantangan Zaman dengan Budaya Bernalar 

Apa mimpi Pak Hendra? Salah satu mimpi Pak Hendra adalah mewujudkan anak-anak yang siap menghadapi tantangan pada zamannya, sekitar 30 tahun ke depan. “Tiap anak itu punya potensi untuk memecahkan masalah, mereka punya potensi untuk mencipta. 30 tahun ke depan, anak-anak ini berada di puncak karier, dan mereka yang akan menjadi pemimpin. Yang kita lakukan itu bertujuan menggugah anak-anak untuk mau membekali diri mereka dengan kemampuan bernalar dan mencipta. Dan apa yang diciptakan anak-anak itu bisa baru, orisinil dari mereka” tutur Pak Hendra. Bagi Pak Hendra, kemerdekaan berarti bebas dari kungkungan pihak lain/ aturan yang dibuat turun temurun baik yang tertulis maupun tidak, leluasa melakukan apa yang ingin dilakukan, termasuk yang selama ini ia perjuangkan bersama teman-temannya: kemerdekaan berpikir, bertanya, dan mendefinisikan sesuatu yang baru.

[PIKIR] Terus Memaknai Kemerdekaan

Oleh: P. Krismastono Soediro 


Mahatma Gandi - Menginspirasi
gerakan tanpa kekerasan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 merupakan bagian dari arus sejarah besar dunia abad ke-20 seiring dengan kehendak bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia untuk melepaskan diri dari kolonialisme. Waktu itu habislah sudah kesabaran bangsa-bangsa itu sesudah hidup sebagai koloni dalam belenggu kekuasaan bangsa lain yang melakukan kontrol politik-ekonomi-sosial-budaya.

Kolonisasi dan Dekolonisasi

Praktik kolonisasi sudah terjadi sejak zaman kuno, seperti oleh bangsa Mesir, bangsa Funisia, bangsa Yunani, dan bangsa Romawi. Kolonialisme modern dimulai setelah orang-orang Portugis dan Spanyol menjelajahi wilayah-wilayah di lepas pantai mereka. Berbagai penemuan dan revolusi perdagangan mendorong bangsa-bangsa lain Eropa mengikuti jejak Portugis dan Spanyol, menguasai wilayah-wilayah lain, dan saling berebut kekuasaan atas wilayah-wilayah tertentu.

[MASALAH KITA] Refleksi 71 tahun HUT RI : Sudahkah Indonesia Merdeka?

Oleh: Any Sulistyowati


Latar Belakang 

Untuk menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-71, Proaktif Online melakukan survey online untuk menggali Refleksi mengenai Kemerdekaan Indonesia. Dua puluh lima orang mengisi survey tersebut. Mereka adalah para aktivis dari berbagai bidang dengan komposisi sebagai berikut: Alam dan Lingkungan (13 orang), Pendidikan (sembilan orang), Seni, Sastra dan Budaya (delapan orang), Teknologi (empat orang), Pertanian dan Pangan (tiga orang), Hukum dan HAM (dua orang), Ekonomi (dua orang), dan bidang lainnya (empat orang). Satu orang responden dapat mengisi lebih dari satu bidang garap.


Pertanyaan-pertanyaan refleksi dalam survey ini terdiri atas beberapa bagian utama, yaitu: sejauh mana Indonesia telah merdeka di berbagai bidang, ancaman yang dihadapi serta bagaimana cara mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Survey ditutup dengan pertanyaan apa yang ingin disampaikan para aktivis seputar kemerdekaan Indonesia.

Rangkuman Persepsi Responden tentang Tingkat Kemerdekaan Indonesia 


[OPINI] Aktivis Sebagai Pelaku Gerakan Sosial

Oleh: Dadan Ramdan

Merdeka atau mati adalah jargon bersama yang menyemangati, disuarakan, ditulis di tembok-tembok rumah, kantor pemerintahan, pagar dan kain bekas yang usang oleh kaum muda yang belum mengenal istilah aktivis atau aktivisme. Mereka bergerak dan berjuang atas kesadaran pada keadaan penindasan penjajahan pemerintah Hindia Belanda di tanah Nusantara.

Kaum muda tanpa membedakan status sosial terus berjuang tanpa pamrih dengan visi, keterampilan, tenaga, keringat, darah, penjara hingga nyawa demi sebuah kehormatan “terbebas” dari penindasan sistem sosial, ekonomi dan politik kolonial Belanda masa itu. Hingga akhirnya, kemerdekaan politik dapat diraih dengan pembacaan naskah proklamasi oleh Sukarno-Hatta tahun 1945.

Kemerdekaan politik memang diraih, terbebas dari kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, negara dan bangsa Indonesia terbentuk, sistem pemerintahan dibangun dengan fondasi konstitusi negara Republik Indonesia. Namun, hingga usia kemerdekaan Indonesia menginjak 71 tahun, kemerdekaan sejati sebenarnya belum diperoleh sepenuhnya. Bangsa Indonesia sejatinya belum merdeka sejak kemerdekaan itu sendiri diproklamasikan.

Belum Merdeka

Merekam sejarah dan fakta yang ada, dari tahun 1945 hingga sekarang, bangsa ini masih terjajah, bangsa ini tetap menjadi budak di tanahnya sendiri, menjadi boneka dari kekuasaan modal dan sistem sosial dan politik pemerintahan yang tidak adil. Sistem modern yang tidak memerdekaan bangsanya. Sistem ekonomi politik yang menghamba pada kekuasaan modal global dari imperialis modern yang melestarikan sistem oligarki kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang.

[OPINI] Kegiatan-kegiatan Pengisi Kemerdekaan

Oleh: Any Sulistyowati

Pada tanggal 17 Agustus tahun 2016 ini, Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke 71. Jika melihat realitas Indonesia saat ini, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan oleh bangsa ini untuk mengisi kemerdekaan. Banyak hal yang masih perlu dibenahi agar kemerdekaan sejati dapat sungguh-sungguh dirasakan oleh setiap warga negara Indonesia. Berikut ini adalah beberapa pilihan kegiatan yang dilakukan oleh para responden Pro:aktif Online, mengapa kegiatan-kegiatan tersebut mereka pilih untuk mengisi kemerdekaan serta tantangan-tantangan yang mereka hadapi dalam mengisi kemerdekaan tersebut.

Kegiatan-kegiatan untuk Mengisi Kemerdekaan 

Fransiska Damarratri (Siska) dari ASF-ID, arsitek lulusan UGM memilih mengambil jalan yang mungkin berbeda dari arus utama kebanyakan arsitek. Ketimbang bekerja di Biro Arsitek yang melayani kepentingan pemilik modal, ia memilih bekerja dan merintis sebuah NGO di bidang Arsitektur. Ia merasa ada yang tidak pas/baik di pendidikan dan praktek profesi arsitektur, yang terkait dengan semua sistem. Ia berpendapat bahwa perubahan bisa dimulai dari aksi dan pendidikan.

Kukuh Samudra (Kukuh) dari Unit Tenis ITB merasa bahwa sejauh ini belum ada yang dapat ia banggakan dalam mengisi kemerdekaan. Tetapi kalau secara subyektif mungkin satu hal yang dapat ia banggakan sebagai mahasiswa adalah bahwa ia sudah mulai berusaha sendiri dalam bentuk menjual buku, meskipun modal masih dari orang tua.

[TIPS] Merdeka Dari Waktu

Oleh: Navita Kristi Astuti

Setiap orang mendambakan kemerdekaan atau kebebasan. Bebas dari segala hal yang mengekang tingkah laku, pendapat, maupun ekspresi diri sebagai manusia. Namun, ada beberapa hal dalam kehidupan sehari-hari yang seringkali dianggap sepele, namun tanpa disadari, ia mampu mengekang kebebasan manusia. Salah satu faktor yang mampu mengekang kebebasan manusia tanpa disadari tersebut adalah : waktu.

Bagaimana mungkin manusia bisa terjajah oleh waktu? Mari kita simak cuplikan cerita berikut ini :

Suatu hari, Wendy mendapat tugas dari dosen untuk mengerjakan sebuah karya tulis sebanyak 50 halaman. Waktu pengerjaan karya tulis tersebut selama satu bulan. Dalam satu bulan itu, dosen mengizinkan setiap mahasiswa untuk menggali ide penulisan dengan cara wawancara lapangan maupun studi literatur untuk memperkaya isi karya tulis tersebut.

[TIPS] Merdeka dari Belenggu Gadget

Oleh: Agustein Okamita

Gadget sering didefinisikan sebagai sebuah perangkat elektronik berukuran kecil yang memiliki kepintaran/kecanggihan tertentu. Saat ini, kata gadget diasosiasikan dengan smartphone, tablet, ipod, atau komputer berukuran kecil yang dapat dibawa ke mana-mana (mobile).

Abad ini dinamakan abad teknologi informasi dan komunikasi, karena semua teknologi yang berhubungan dengan informasi dan komunikasi sedang berkembang dengan sangat pesat. Setiap detik bisa saja muncul gadget baru dengan fitur yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Di abad ini, pemanfaatan gadget juga semakin luas. Jika dulu gadget berupa telepon genggam hanya digunakan untuk komunikasi dan permainan sederhana, sekarang kegunaan gadget sudah sangat bervariasi. Selain sebagai alat komunikasi, gadget juga berguna untuk membantu dalam pekerjaan, mencari informasi, hiburan, dan permainan. Jika sepuluh tahun yang lalu penggunanya terbatas pada orang-orang di perkantoran dan kota besar, dengan perkembangan teknologi penyedia jasa jaringan, saat ini semua kalangan di seluruh dunia dapat menggunakannya. Rentang usia pengguna juga semakin lebar, mulai dari anak-anak hingga orang tua.

[MEDIA] 71 Tahun Indonesia Merdeka: Narasi dalam Buku

Oleh: Kukuh Samudra 

Kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para pahlawan terdahulu. Mereka berjuang tidak hanya dengan senjata di tangan. Senjata mereka bukanlah tipe yang sekali tusuk musuh mati seketika, atau sekali tembak puluhan peluru berdesir. Waktu tidak membuat senjata ini berkarat. Senjata tersebut tidak lain adalah buku.

Indonesia Menggugat

Seorang insinyur lulusan anyar yang mendapatkan kemewahan pendidikan tinggi diliputi kegelisahan atas nasib bangsanya. Setelah menamatkan studinya di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB), dia bersama kawan-kawannya mendirikan kelompok diskusi yang dinamakan Algamenee Studieklub. Pemuda tersebut tidak lain adalah Sukarno.

Diskusi rutin mereka adakan dengan tema-tema seputar politik dan kebangsaan. Belanda tidak senang, lantas menangkap mereka dengan dalih mengancam ketertiban dan ketentraman.

Sukarno, yang kelak dikenal sebagai Proklamator kemerdekaan Indonesia bersama tiga orang kawannya yang lain: Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929. Dalam rentang dua bulan, Sukarno harus menulis sendiri pembelaannya. Sang istri, Inggit Ganarsih, berperan besar dalam upaya pembuatan pembelaan tersebut dengan menyuplai bahan bacaan dan alat tulis. Buku dan alat tulis disembunyikan oleh Inggit di balik kebayanya. Sukarno paham betul, latar belakang mereka ditangkap adalah alasan politik. Dasar penangkapan mereka adalah UU pasal 169 tentang penyebaran kebencian terhadap penguasa. Pasal yang sering dijuluki sebagai “pasal karet” karena memiliki ruang penafsiran yang begitu luas sehingga sering digunakan penguasa untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sukarno menuliskan dalam pleidoinya : Tak usah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses politik; iya, oleh karenanya di dalam pemeriksaannya, tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik yang menjadi sifat dan azas pergerakan kami, dan jang menjadi nyawanya fikiran-fikiran dan tindakan-tindakan kami . Sukarno ditangkap pihak Belanda karena ditengarai hendak merencanakan kudeta bersenjata. Selain Sukarno terdapat 40 aktivis lain yang ditangkap oleh Belanda. Padahal saat terjadi penangkapan, jelas mereka tidak memiliki senjata barang golok maupun pistol.

[JALAN-JALAN] HOMESCHOOLING DAY Bandung di Gedung Indonesia Menggugat

Oleh: Agustein Okamita


Pada tanggal 13 Agustus 2016 yang lalu, di Gedung Indonesia Menggugat diadakan acara Homeschooling Day. Event ini diselenggarakan secara swadaya oleh keluarga-keluarga homeschooler di Bandung. 

Homeschooling atau yang juga dikenal dengan pendidikan anak berbasis keluarga adalah pendidikan anak-anak di dalam keluarga. Home education/ homeschooling adalah salah satu gerakan yang muncul ketika para orang tua mulai memikirkan bahwa tanggung jawab untuk mendidik anak-anak ada di pundak orang tua. Dengan berbagai alasan dan resiko yang dipertimbangkan dengan matang, akhirnya mereka memutuskan untuk mendidik anak-anak mereka sendiri di dalam keluarga, ketimbang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah formal, sampai anak dapat memutuskan sendiri apakah mereka akan bersekolah secara formal atau tetap homeschooling. Keputusan ini merupakan salah satu pilihan merdeka bagi orang tua, maupun bagi anak ketika mereka sudah bisa memutuskan sendiri mengenai pendidikan mereka.

Pemilihan tempat untuk acara Homeschooling Day di Gedung Indonesia Menggugat juga bukan merupakan kebetulan. Gedung Indonesia Menggugat dipilih karena sesuai dengan tema Homeschooling Day kali ini, yaitu: Lejitkan Potensi dengan Berkarya dan Berekspresi untuk Mengisi Kemerdekaan. Gedung ini merupakan tempat di mana Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, pernah ditahan. Di gedung ini juga beliau membacakan pledoi yang diberi judul “Indonesia Menggugat”, di hadapan Pengadilan Landraad Bandung. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tahun 1930, kurang lebih 86 tahun yang silam. Hingga saat ini Gedung Indonesia Menggugat ini tetap menjadi pusat kegiatan berkebangsaan bagi semua lapisan masyarakat. Selain sesuai dengan tema Homeschooling Day, semangat kebangsaan dan kemerdekaan yang didengungkan oleh Bapak Proklamator ini selaras dengan semangat keluarga pelaku homeschooling, yang meyakini dan mengamini bahwa kemerdekaan memperoleh pendidikan adalah hak dari seluruh rakyat Indonesia.

[RUMAH KAIL] Merdeka dari Uang di Rumah KAIL

Oleh: Melly Amalia - Koordinator Rumah KAIL

Sejak berdiri sampai sekarang, KAIL banyak berinteraksi dengan para aktivis. Banyak dari para aktivis ini memiliki berbagai tujuan hidup yang mulia, yaitu membuat perubahan dunia ke arah yang lebih baik di berbagai bidang. Masalahnya, kerja-kerja yang mereka lakukan seringkali tidak menghasilkan banyak uang. Jangankan banyak, batas cukup pun seringkali tidak terpenuhi. Kerja-kerja untuk membuat perubahan yang dibutuhkan seringkali merupakan kerja-kerja inisiatif baru yang belum dikenal orang, belum dianggap penting dan bahkan belum diketahui keberadaannya sebagai profesi. Jangankan mendapatkan dukungan finansial, kerja-kerja untuk membangun kesadaran akan pentingnya yang dilakukan itupun sudah membutuhkan energi tersendiri. Uang seringkali menjadi batu sandungan terbesar dari para aktivis untuk mempertahankan idealismenya.

Permakultur
Sebagai kelompok pendukung para aktivis, KAIL mencoba menerapkan berbagai inisiatif untuk melepaskan diri sebanyak mungkin dari ketergantungan akan uang. Meskipun belum banyak hasil yang bisa dilihat, setidak-tidaknya ada beberapa prinsip yang sudah diterapkan di berbagai aspek organisasi KAIL. Berikut ini adalah beberapa di antaranya.

Sistem Barter untuk Mengikuti Kegiatan-kegiatan KAIL

Di dunia modern ini, untuk mengikuti berbagai kegiatan, khususnya berbagai kegiatan pengembangan diri, kita perlu membayar dengan uang. Dengan demikian akses ke ilmu pengetahuan pun berbanding lurus dengan kemampuan membayar. Sebaliknya, kepemilikan ilmu pengetahuan akan meningkatkan peluang untuk menghasilkan uang. Di dalam sistem semacam ini, terjadilah lingkaran yang terus memperkuat, yang punya uang tambah pintar, yang pintar tambah kaya, yang kaya bisa membayar untuk menjadi lebih pintar dan seterusnya. Terjadilah jurang yang makin besar antara mereka yang kaya dan yang miskin.

Hari Belajar Anak