Editorial Edisi 4

Kehidupan seorang aktivis selalu menjadi topik yang menarik untuk didiskusikan, baik dalam hal kehidupan pribadinya, kehidupan aktivitasnya, kehidupan sosialnya, maupun dalam hal kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya. Dalam Pro:aktif kali ini kami secara khusus mengangkat tema seputar aktivis dan kebutuhan-kebutuhan dasarnya.

Tulisan-tulisan yang dapat dinikmati dalam edisi kali ini antara lain Bagaimana Melakukan Proses Daur Ulang untuk Penggunaan Popok Sekali Pakai, dapat Anda nikmati dalam rubrik Tips; rubrik MEDIA kali ini menyajikan dua buah film dokumenter. Pertama, sebuah resensi film bertajuk Membunuh Hari (Killing the Days) yakni sebuah film yang menggambarkan dinamika persoalan penggusuran yang dialami oleh warga Teluk Gong di Jakarta. Kedua, anda dapat menikmati sebuah film dokumenter berjudul Roda Rakyat (People’s Wheels) sebuah film yang menggambarkan kerasnya perjuangan kehidupan seorang tukang becak. Sementara dalam rubrik PIKIR kali ini menyajikan Neoliberalisme: Ketika Uang Makin Digdaya dan untuk rubrik masalah kita, dibagikan refleksi hidup seorang aktivis, berjudul Tulang rusuk yang hilang? Rubrik Profil kali ini mengangkat Munawiyah: kisah perjuangan seorang petani perempuan yang mengalami berbagai macam bentuk penindasan, dan itu pula yang kemudian menggerakkannya untuk menjadi salah satu dari sekian aktivis perempuan yang secara konsisten menentang berbagai bentuk penindasan.

[PROFIL] Munawiyah: Sosok Petani Perempuan

Pada pertemuan La Via Campesina (perkumpulan petani) Asia di Padang, 7 Mei 2004, Kail berkesempatan menghadirinya. Dari para tokoh petani se-Asia yang hadir di sana, adalah para mitra dari Indonesia. Satu diantaranya, dan satu-satunya perempuan adalah Munawiyah, seorang perempuan petani dari Pidie, Aceh. Ia adalah seorang petani perempuan yang sekaligus adalah aktivis. Saat ini ia dipercaya menjadi ketua PERMATA (Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh).

Sosok dari profil kita kali ini menarik untuk disimak bagaimana perjalanan hidupnya dari seorang petani yang menjadi korban, kemudian malah menjadi aktivis petani dan perempuan. Perjuangan ini tidak mudah karena harus berhadapan budaya, kekuasaan negara dan kapital.
Bahkan nyawa sering kali jadi taruhannya. Bagaimana ia mampu bertahan dalam visi misinya ini? Bagaimana sebagai aktivis ia bertahan hidup dalam kesehariannya? Dalam diri Munawiyah, kita bisa menemukan sebuah semangat radikalisme yang bergabung dengan kesederhanaan.

Berikut adalah cuplikan wawancara kami (H) dengan Munawiyah (M).
H : Sekarang profesi Muna apa?
M : Karena saya sudah sering di lapangan mengorganisir masyarakat, turun ke petani-petani yang korban, tidak mesti petani ya, masyarakat yang menjadi korban, yang menjauh di kita, ya…kita mendampingi mereka sejauh kemampuan saya.

[PIKIR] Neoliberalisme Ketika uang makin digdaya …

“… neo-liberalisme tidaklah alamiah ... bisnis dan pasar memang punya tempat, tetapi tempat itu tidak bisa menjajah seluruh ruang hidup keberadaan manusia…”
—Susan George, dalam A Short History of Neoliberalism
pada Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Maret, 1999
Alkisah seorang perempuan karir bernama Yuni, asal Bandung, 29 tahun. Karena ingin selalu menjaga penampilannya, ia menuruti apapun kata iklan agar senantiasa tampil cantik, dengan membeli krim kulit yang mengandung vitamin E sebagai anti-ageing atau anti-penuaan karena sifatnya yang anti-oksidan sehingga kulit tetap halus dan shampoo yang juga diperkaya dengan vitamin E agar rambut makin subur. Sepanjang hari dan malam ia oleskan krim itu. Ia juga rajin keramas. Sebulan lebih, kulitnya tetap keriput di sini-sana, tak juga bertambah halus, dan rambutnya tetap kering serta tak subur. Ia pun ke dokter dan terpana mendengar jawaban jujur sang dokter itu: vitamin E, atau d-alfa tokoferol, hanya bisa diserap tubuh lewat pencernaan, bukan kulit, kulit kepala, apalagi rambut[1].
Kasihan Yuni. Demikian juga dengan ribuan atau jutaan Yuni yang lain di muka bumi ini.

[MASALAH KITA] Tulang rusuk yang hilang? Refleksi hidup bersama seorang aktivis

Kami, tidak pernah bercita-cita jadi aktivis, tapi melihat kondisi yang ada di sini, kami terpanggil untuk itu. Pada akhirnya, teman-teman jugalah yang menyandangkan gelar aktivis itu ke bahu kami”.
(Seorang aktivis mahasiswa, Bandung, 1999)
Kami baru menikah bulan Februari yang lalu, pada saat dunia merayakan hari kasih sayang. Sebuah perhelatan sederhana namun meriah di halaman rumah orangtua saya menandai mulainya status saya sebagai seorang istri. Namun tak hanya itu. Istri dari seorang aktivis. Usai hingar-bingar perhelatan, mulailah kami menapaki hidup. Kami tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota Solo yang uang mukanya saja (bukan kreditnya) dicicil 13 kali oleh suami saya. Maklum, namanya juga aktivis, walau sudah lulus S1 sejak 1994, mana bisa membayar uang muka sekian belas juta sekaligus. Rumah ini, ketika Bapak saya berkunjung, diberi sebutan mewah-mabur, artinya, mepet sawah, madhep kuburan (dekat sawah dan menghadap kuburan). Geli juga, tapi itu sebutan yang tepat.

[MEDIA] Sinopsis Film: RODA RAKYAT


Pimpinan Produksi: J.Sudrijanta
Cameraperson/Editor: Adeline M.T.
Editing operator: Hendra
Produksi: Minima, 2003
Media: Mini DV, VCD, DVD
Bahasa : Indonesia dengan subjudul dalam bahasa Inggris.
Durasi: 43 menit




Sebuah film dokumenter mengenai mantan pengemudi becak dan usahanya untuk bertahan hidup di Jakarta. Film ini mengambil lokasi di ‘Teater Kecil’ Taman Ismail Marzuki oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Cinema Society dan dalam beberapa event/kejadian lainnya.

Untuk Mamat, becak adalah lebih dari sekedar alat untuk bekerja. Ia jatuh ke dalam lembah kemiskinan yang makin mendalam sejak satu-satunya harta yang dimilikinya disita oleh Pemerintah DKI Jakarta. Bersama dengan rekan-rekannya para pengemudi becak, mereka menuntut dan memperjuangkan hak mereka untuk tetap bekerja. Becak juga lebih dari sekedar alat transportasi. Becak merupakan sebuah harapan tentang masa depan kota yang bebas polusi. Sebagaimana roda terus berputar, mereka terus berjuang. Disatukan oleh harapan dan semangat yang sama: Rakyat harus menang!

[MEDIA] Resensi Film: Membunuh Hari


Judul : Membunuh Hari (Killing the Days)
Tahun : 2002
Produksi : Institut Sosial Jakarta & Minima, 2002
Durasi : 31’26”
Direktur/Produser : J.Sudrijanta
Cameraperson : Adeline M.T.
Editor : Adeline M.T., Hendar Putranto
Editing operator : Hendra
Media : MiniDV, VCD, DVD
Film dokumenter yang dipersembahkan oleh Institut Sosial Jakarta ini mengajak kita untuk melihat secara langsung dan turut merasakan apa saja yang dialami oleh sebagian korban penggusuran di Teluk Gong, Jakarta.

Cerita diawali dengan kisah yang membawa mereka hingga tinggal di daerah tersebut. Sesungguhnya tinggal di bantaran sungai bukanlah pilihan yang menarik. Pekerjaan yang tidak tetap dan pendapatan yang begitu minim membuat mereka tidak memiliki pilihan yang lebih baik. Banyak dari mereka yang sudah tinggal di wilayah itu selama puluhan tahun.

[TIPS] Daur Ulang Popok Sekali Pakai: Usaha Menghindari Kebangrutan dan Lebih Ramah Lingkungan

Bagi para orang tua yang mamiliki bayi, tentu menyadari bahwa popok sekali pakai, yang dikenal dengan berbagai merek dagang, seperti pampers, huggies dsb, adalah salah satu pengeluaran yang dapat membuat orang tua bangkrut. Bayangkan, sehelai popok sekali pakai rata-rata dijual dengan harga antara Rp. 1500,- sampai Rp. 2500,-. Menurut iklan salah satu merek terkemuka, popok mereka dapat menyerap sampai 6 kali pipis, tetapi tentu saja hanya untuk satu kali buang air besar.

Artinya, untuk bayi yang baru lahir, yang pipis berkali-kali dan buang air besar berkali-kali akan dibutuhkan setidaknya 3-4 popok sekali pakai dalam sehari. Artinya orang tua harus mengeluarkan uang (ambillah harga termurah, Rp. 1500,-) sebesar Rp. 1500,- X 3 sampai 4 popok perhari X 30 hari per bulan, atau Rp. 135.000,- sampai Rp. 180.000,- per bulan. Bayangkan seorang aktivis LSM yang bergaji Rp. 1 juta sebulan (inipun sudah merupakan penghasilan yang besar untuk kebanyakan aktivis LSM di Indonesia) harus mengeluarkan 18% gajinya hanya untuk popok anaknya! Belum makanan, belum susu, belum biaya ke dokter anak yang tarifnya selangit kalau kebetulan anak kita sakit!