[EDITORIAL] PRO:AKTIF ONLINE NO. 22 / APRIL 2019


Salam Transformasi!

Pro:aktif Online kembali hadir di tengah pembaca sekalian. Dalam edisi kali ini, KAIL membawakan tema “Ekonomi Baru: Peluang dan Tantangannya”. Ekonomi secara bahasa berakar dari Bahasa Yunani “oikonomia” yang berarti seni mengatur rumah tangga. Mengatur rumah tangga di sini, erat kaitannya dengan pengaturan sumberdaya, yang bertujuan agar manusia memperoleh kesejahteraan. Namun demikian, upaya manusia untuk memperoleh kesejahteraan tersebut bergeser hingga akhirnya sistem ekonomi dipandang sebatas pada perdagangan, hal-hal terkait dengan uang, maupun usaha eksploitasi sumber daya materi.

Ekonomi di masa kini mengalami bentuk baru yang ditopang oleh kemajuan di bidang teknologi informasi atau komunikasi atau yang lebih sering kita kenal dengan istilah dikenal sebagai ekonomi digital. Ekonomi digital ini menjadi menarik karena sifatnya yang mengganggu (bahasa kerennya disrupt) semua bentuk praktik ekonomi konvensional. Hampir semua aspek kehidupan kita sehari-hari pun terpapar oleh teknologi digital. Dalam abad yang disebut sebagai abad disrupsi (the age of disruption), diktum yang beredar adalah terdigitalisasi atau terlindas zaman.

Begitu masifnya dampak yang ditimbulkan oleh penemuan-penemuan teknologi ini, beberapa pihak bahkan sampai menyebutkan bahwa kita tengah berada di dalam sebuah awal dari masa yang baru. Sesuatu yang oleh beberapa pihak disebut sebagai revolusi industri 4.0. Dengan penemuan teknologi-teknologi baru di bidang informasi dan komunikasi seperti IoT, AI, sampai Blockchain, revolusi industri ini akan ditandai oleh terkoneksinya semua hal, dari mulai manusia, benda, hingga komputer. Hal inilah yang membuat Klaus Schwab, salah satu co-founder dari World Economic Forum dan juga pemopuler istilah ini, mendefinisikan revolusi industri 4.0 sebagai mengaburnya batas-batas antara dunia digital, dunia fisik, serta dunia biologis.

Merasuknya teknologi informasi dan komunikasi di semua lini kehidupan pun membawa dampak yang cukup signifikan, terutama bagi ekonomi. Dengan semua aspek kehidupan yang kini dapat terhubung dengan internet, jarak dan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah nilai dalam aktivitas ekonomi pun dapat dipangkas menjadi sangat kecil. Bahkan Jeremy Rifkin, seorang ekonom dari Amerika Serikat, menyatakan bahwa kita kini berada di dalam zero marginal cost society, sebuah masyarakat dimana marginal cost, biaya yang ditambahkan kepada biaya total dalam memproduksi sebuah produk (jasa atau barang) karena diproduksi secara massal (lebih dari satu), mulai jatuh mendekati angka nol.

Namun hilangnya biaya jarak dan waktu tersebut juga mengakibatkan hal yang tidak dapat kita duga. Kita merasakan bahwa roda ekonomi berputar begitu cepat. Hal ini membuat apa yang kita kira sebagai praktik umum ekonomi di masa kini dapat berubah hanya dalam waktu satu pekan bahkan kurang. Hal ini membuat kita merasa kebingungan dan tidak dapat menerka, sesungguhnya kemana bergeraknya roda ekonomi digital ini? Apakah tengah membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, atau sebaliknya?

----

Untuk memahami hal tersebut, maka pada Pro:aktif kali ini, Angga Dwiartama akan mengajak kita secara bersama-sama untuk memahami apa makna sesungguhnya dari kata revolusi industri 4.0 pada Rubrik PIKIR. Pada Rubrik ini, Angga akan mengupas secara tuntas apa sesungguhnya yang disebut dengan revolusi industri 4.0 itu, bagaimana dia berdampak kepada hidup kita sehari-hari, hingga bagaimana kita seharusnya menyikapi kata ini dengan bijak.

Setelah itu, pada Rubrik MASALAH KITA, Achmad Assifa akan mengajak kita memahami bagaimana ekonomi digital merubah struktur dasar aktivitas ekonomi kita menjadi sebuah model ekonomi yang disebut sebagai Gig Economy. Gig Economy adalah sebuah model ekonomi dimana hubungan antara pekerja dan majikan bersifat fleksibel dalam hal ruang dan waktu. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sendiri yang membuat kita dapat bekerja kapan saja dan dimana saja. Meskipun memberikan banyak kemudahan baik bagi para pekerja, yang dicirikan oleh mulai menjamurnya jenis pekerja lepasan (freelancer), menurut Sifa model ekonomi yang dipopuleri oleh Uber dan AirBnB ini  ternyata menghasilkan beragam permasalahannya sendiri.

Sementara untuk Rubrik OPINI, Pro:aktif kali ini akan diisi oleh M. Sena Luphdika yang akan membahas mengenai akar permasalahan dari ketimpangan dalam sistem ekonomi yang berjalan saat ini. Dari sana Sena akan membahas mengenai salah satu kemungkinan jalan keluar yang ternyata telah berada di Indonesia cukup lama, yaitu model ekonomi koperasi. Di sini juga Sena akan membahas mengapa koperasi itu menjadi salahsatu jalan keluar yang paling mungkin serta contoh-contoh nyata keberhasilan dari model koperasi di seluruh dunia.

Pada Rubrik TIPS kali ini kita akan mendapati bagaimana tips dan trik untuk membuat pikiran yang lebih sehat melalui teknik KonMari dari Aristogama. Teknik yang dipopulerkan oleh Marie Kondo ini terbukti menjadi sangat penting karena di zaman yang serba cepat dan baru ini, manusia semakin berperilaku konsumtif dan sangat bergantung produk-produk tertentu. Teknik KonMari mampu menjernihkan manusia dari segala perilaku konsumtif dan kemelekatan terhadap produk tertentu.  Gamma, menceritakan melalui pengalamannya dalam mempelajari teknik KonMari, berbagi kepada kita bahwa ternyata dengan secara sadar menyadari “kemelekatan” psikologis yang ada pada diri kita terhadap barang-barang kita, kita secara perlahan juga dapat mulai kembali menjernihkan pikiran kita dari segala kecenderungan kita untuk selalu membeli atau berbelanja. Kesadaran ini tentu merupakan langkah awal menuju pada kemandirian ekonomi.

Pada Rubrik PROFIL, Jeremia Manurung mewawancarai Sena Luphdika yang merupakan salah satu co-founder serta CEO dari perusahaan start-up digital bernama Meridian.id yang juga merupakan seorang pegiat koperasi. Dalam wawancaranya kali ini, Jeremia memperlihatkan kepada kita bagaimana perjalanan Sena yang tidak puas dengan ketidakadilan yang terjadi dalam dunia start-up digital dan sistem ekonomi secara umum membawanya kepada ide mengenai koperasi. Tidak saja terbatas pada sekedar ide, dalam wawancaranya kali ini juga Jeremia memperlihatkan bagaimana Sena mulai menerapkan ide mengenai koperasi tersebut menjadi sebuah aksi nyata yang bisa dimulai dari hal yang kecil yang berada di sekitar kehidupan kita sehari-hari.

Rubrik MEDIA akan dibawakan oleh Fransiska Damarratri yang akan membahas bagaimana sesungguhnya praktik di belakang sistem ekonomi yang menghasilkan krisis 2008 di Amerika Serikat dalam film The Big Short. Dalam reviewnya kali ini Siska akan mengulas bagaimana film ini menunjukan kepada kita cara kerja sesungguhnya dari mesin ekonomi yang berjalan di dunia pada umumnya dan Amerika Serikat khususnya. Selain itu Siska juga membahas bagaimana praktik-praktik di belakang sistem ini berdampak secara negatif terhadap ekonomi serta kehidupan kita sehari-hari.

Pada Rubrik JALAN-JALAN kali ini, kita akan dibawa oleh Sally Anom melalui pengalamannya untuk berkunjung ke Suku Baduy Dalam. Dalam perenungannya yang mendalam ini mengenai cara hidup masyarakat Baduy Dalam, Sally memberikan kita perspektif yang segar mengenai cara hidup masyarakat tersebut dalam melakukan praktik ekonomi. Di sana Sally menceritakan bagaimana kegiatan ekonomi dari suku Baduy dalam yang bertumpu kepada azas hidup secukupnya serta  menjaga kelestarian alam sehingga dalam kegiatan transaksi mereka jarang sekali untuk menggunakan uang. Salah satu perspektif yang segar yang dapat membantu kita untuk merenungi bagaimana praktik ekonomi alternatif yang mungkin bagi sistem yang berjalan sekarang ini.

Sebagai penutup, pada Rubrik RUMAH KAIL kali ini Any Sulistyowati akan membagikan bagaimana pengalaman KAIL dalam membangun kemandirian ekonomi melalui kegiatan berkebun di program Hari Belajar Anak atau disingkat HBA. Melalui kegiatan berkebun di HBA, KAIL berusaha untuk membangun kemandirian ekonomi yang dimulai dengan memupuk kesadaran bahwa berkebun dan mengolah pangan dari hasil kebun memampukan mereka untuk membuat makanan sendiri dan tidak bergantung dari makanan yang dibeli dari luar. Kemandirian dari sisi pangan ini diharapkan menjadi awal dari kemandirian ekonomi. Kegiatan ini diperkenalkan kepada anak-anak, dimana harapannya sehingga ketika mereka dewasa mereka akan mulai bisa memulai mempraktekkan kemandirian tersebut di rumah tangga masing-masing.

----

Akhir kata, keseluruhan artikel dalam edisi ini diharapkan dapat menginspirasi kita semua terutama dalam hal (1) memahami bagaimana sesungguhnya roda ekonomi yang ditunjang oleh perkembangan teknologi digital informasi dan komunikasi ini bekerja, manfaat, peluang, serta tantangannya (2) mengimajinasikan kemungkinan-kemungkinan dari bentuk-bentuk praktik ekonomi yang lain; serta yang terakhir (3) mengambil tindakan-tindakan nyata yang dapat membuat praktik kehidupan yang ditunjang oleh bentuk-bentuk ekonomi baru tersebut ke arah kesejahteraan masyarakat secara lebih luas dan selaras alam.

Semoga dengan diterbitkan Pto:aktif edisi baru ini kita bersama dapat lebih memahami lagi perubahan besar apa yang sesungguhnya tengah terjadi di antara kita semua yang diakibatkan oleh teknologi digital dan dapat mengambil tindakan nyata sehingga kehidupan manusia ke depannya tidak berjalan menuju ke arah yang lebih buruk melainkan berjalan ke arah yang lebih selaras dengan manusia dan alam.

Tim Editor:
Kukuh Samudra
Okie Fauzi Rachman
Navita Kristi Astuti

[PIKIR] ILUSI INDUSTRI 4.0: SEBUAH TELAAH KRITIS ATAS TEKNOLOGI ZAMAN NOW

Oleh: Angga Dwiartama


Pendahuluan
Sekarang, saya tidak perlu lagi khawatir soal kekurangan makanan di malam hari. Cukup pilih beragam menu di aplikasi gawai pintar saya, dan dalam 15-30 menit, seseorang akan mengetuk rumah saya membawa sebungkus makanan. Tidak perlu keluar uang tunai, karena semua pembayaran sudah dilakukan di aplikasi pintar saya. Saya juga tidak perlu khawatir saat berkelana seorang diri ke daerah antah berantah. Tanyakan saja pada Google Maps, dan dia akan memberitahukan beragam alternatif jalan untuk ditempuh, termasuk jalan-jalan tikus, beserta estimasi waktu tempuhnya.

Ini jelas belum seberapa. Petani di AS, Australia atau Eropa sana bekerja laiknya manajer kantor, mengendalikan semua aspek pertanian dari komputer pintarnya di ruang kantornya yang sempit. Sensor mendeteksi kadar air tanah dan kelembaban udara, misalnya, dan menginstruksikan sprinkler untuk menyemprot air secara otomatis apabila dianggap terlalu kering. Pestisida dan herbisida sudah tidak diperlukan lagi, karena setiap hama dan gulma dapat dideteksi oleh sensor dan ditembak menggunakan laser.  Di peternakan, setiap ekor domba yang digencarkan di lahan memiliki tag geospasial di telinganya yang sinyalnya ditangkap oleh satelit, sehingga perilaku domba yang sedikit berbeda saja dari gerombolannya dapat dianggap sebagai kelainan. Pesawat tanpa awak kemudian akan melihat lebih jelas apa yang terjadi dan melaporkan temuan lapangan melalui foto atau video ke sang manajer. Tersadar untuk bergerak, sang manajer memasukkan koordinat si domba ke motor ATV-nya, dan motor tersebut akan membawa petani untuk mengunjungi ternak tersebut dan memberi perlakuan[1].

[MASALAH KITA] FENOMENA GIG ECONOMY DAN DAMPAKNYA PADA KAUM PEKERJA: KERJA BEBAS ATAU KERJA (DI)TEBAS?

Oleh: Achmad Asiffa Januar


Pada dasarnya kerja terbatas pada batas geografis karena terikat dengan letak tempat usaha atau kerja. Seperti yang dikemukakan oleh Harvey (1989;19) kaum pekerja sulit sekali untuk menghindari kerja berbasis lokasi, karena tenaga pekerja musti diistirahatkan di rumah setiap malam.  Namun, semenjak teknologi internet muncul, kerja yang tadinya terbentur pada batas geografis mulai runtuh perlahan. Klien, bos, pekerja, dan konsumen produk akhir dapat saling terkoneksi dalam satu teknologi walau terpencar di lokasi berbeda di muka bumi. Dengan dunia yang semakin terkoneksi, maka permintaan pekerja digital yang dapat mengerjakan kerja-kerja remot (seperti penerjemahan, desain visual, marketing, dll) semakin tinggi. Kenaikan angka pekerja digital ini dipicu oleh dua tren. Yang pertama, rendahnya serapan tenaga kerja pada sektor riil di beberapa negara, hal ini kini menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan, orang yang memiliki pekerjaan, dan orang yang mencari pekerjaan. Yang kedua, dunia semakin terkoneksi dengan adanya internet. Kita beranjak dari dunia yang 10 tahun lalu, dimana 15 persen penduduk bumi terkoneksi dengan internet, ke titik dimana 40 persen penduduk bumi saling terkoneksi dengan internet.

Jika kita lihat dalam laporan Statista, pengguna internet di Indonesia pada bulan Januari 2019 telah mencapai 150 juta orang, atau lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah terkoneksi dengan internet[1]. Semakin terkoneksinya penduduk Indonesia ke teknologi internet, juga memberikan peluang kepada kerja-kerja freelance semakin berkembang. Tercatat, dari 127 juta penduduk Indonesia yang bekerja, sekitar 30 juta penduduk Indonesia bekerja kurang dari 35 jam per minggunya[2]. Anggap saja 30 juta penduduk tersebut diasumsikan bekerja secara freelance, jika dikaitkan dengan laporan Boston Consulting Group (BCG) menunjukkan 33% pekerja freelance menggantungkan gig platform sebagai salah satu sumber pendapatan dan 12% pekerja freelance menggantungkan gig platform sebagi satu-satunya sumber pendapatan[3]. Angka tersebut dapat terus bertambah seiring naiknya angkatan kerja di Indonesia.

[OPINI] EKONOMI ITU DARI, OLEH, DAN UNTUK SEGELINTIR SAJA, ATAU UNTUK SEMUA?


Oleh: M. Sena Luphdika

-Demokrasi ekonomi sebagai prasyarat kesejahteraan yang lebih adil dan merata-

Menurut Anda, ekonomi yang ada saat ini berpihak pada siapa? Hanya segelintir orang atau seluruh rakyat Indonesia?
Untuk membantu Anda menjawab pertanyaan di atas, mangga cek film dokumenter SEXY KILLERS dari watchdoc berikut ini:


 
Kira-kira apa jawabannya? Coba renungkan jawaban Anda sambil iseng mengetik kata-kata berikut di mbah Google:
  • Kesenjangan ekonomi, rasio Gini
  • Konflik agraria, konflik tambang, konflik sawit
  • Kesejahteraan petani, regenerasi petani
  • Sosialita mewah, garis kemiskinan
Rasa-rasanya condong ke segelintir ya.
Kenapa seperti itu? Apa penyebabnya? Mari kita coba telaah dengan sudut pandang kata-kata pamungkas, Demokrasi.

Segelintir vs Seluruh
Sistem ekonomi Indonesia seharusnya bukan kapitalisme seperti yang ada saat ini. Kalau tidak percaya, mangga cek saja UUD 1945 Pasal 33 ayat yang mana pun.
Sesuai namanya, kapitalisme, kapital menjadi hal yang utama dan pertama. Manusia tunduk pada kepentingan dan kemauan dari manusia lain yang punya modal (terutama uang) lebih besar.
Dengan begitu tingginya posisi uang dalam kapitalisme, maka tak heran bahwa pihak yang menikmati keuntungan dan manfaat terbesar dari sistem ini adalah segelintir orang. Mereka adalah orang-orang yang “terlanjur” punya uang, lalu melahirkan uang baru lagi dengan cara-cara yang didukung penuh oleh sistem yang ada.

Salah satu dasar utama kapitalisme adalah 1 saham = 1 suara. Siapa yang punya modal besar maka dia yang paling kuat. Kalau tidak punya modal bagaimana? Ya maaf-maaf saja, cuma bisa jadi pekerja yang digaji rutin, dengan nilai yang pas-pasan sekadar untuk bertahan hidup.

Dengan 1 saham = 1 suara tersebut, segelintir orang memiliki hak dan kuasa yang lebih besar dari mayoritas orang. Kekayaan dan keuntungan berkumpul kepada mereka-mereka saja, terpusat dan semakin menggunung.

Tidakkah kita merasa aneh kenapa segelintir orang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang begitu besar untuk menentukan hidup orang banyak? 

Padahal yang memiliki kepentingan dalam suatu perusahaan bukan hanya pemegang sahamnya saja. Para pegawainya tentu juga punya kepentingan. Tanpa para pegawai sang pemegang saham juga tidak akan dapat apa-apa.

Lucunya, pegawai baru dianggap penting ketika mereka mogok kerja.
Tentu tidak mengherankan kalau sistem semacam ini melahirkan perilaku manusia yang individualis, serakah, kompetitif ekstrim, dan egois. Demi profit dan keuntungan segalanya menjadi halal. 
Lingkungan? Peduli amat.
 
Kesejahteraan pegawai? Seminimal mungkin yang penting bisa hidup. Kepentingan bersama? Di bawah kepentingan pribadiku dong.

Tidak percaya? Coba cek lagi film SEXY KILLERS yang sudah ditonton sebelumnya. Tonton juga ASIMETRIS, tentang kelapa sawit.
Inikah sistem ekonomi terbaik yang manusia bisa lahirkan?

Demokrasi Politik vs Demokrasi Ekonomi

Bulan April ini kita melaksanakan “pesta demokrasi”. Kita memilih pemimpin tertinggi Indonesia dan anggota-anggota legislatifnya. Tapi perlu diingat bahwa “pesta” ini baru demokrasi dalam ranah politik.

Tahukah Anda bahwa demokrasi tidak hanya berlaku dalam politik, tetapi juga ekonomi? Tahukah Anda bahwa kata-kata demokrasi ekonomi tersebut ada di konstitusi kita secara gamblang?

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional — UUD 1945 Pasal 33 Ayat 4
Demokrasi politik yang kita miliki menurut saya sangat kurang, karena heboh hanya 5 tahun sekali dan ketika demo-demo ke jalanan. Seakan-akan dalam kehidupan kita sehari-hari tidak ada urusannya dengan demokrasi.

Sehari-hari kita mengonsumsi bermacam barang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ekonomi lebih dekat dengan hidup kita, kenapa tidak kita coba implementasi demokrasi di dalamnya?

Demokrasi Politik sudah berjalan, kalau Demokrasi Ekonomi kapan?

Go to the profile of M Sena Luphdika



Apalagi pada dasarnya demokrasi politik tidak akan berpengaruh banyak kalau ekonominya tidak demokratis. Ia hanya akan melahirkan oligarki (sekelompok penguasa) yang rakus dan egois. Mengedepankan keinginan dan kepentingan kelompok mereka tanpa memikirkan kepentingan orang banyak.

Adakah contoh jahatnya? Banyak sebenarnya, tapi kita coba saja dari hal yang paling mendasar bagi kehidupan kita sehari-hari, sembako. Sembako itu banyak lintah-nya. 
Merekalah yang menyebabkan sebuah realita yang kontradiktif, yaitu: 
Harga di masyarakat begitu tinggi, sedangkan harga di petani sangat murah.

Masyarakat ingin harga murah, tapi petani tentu ingin harga tinggi supaya mereka sejahtera. Apa solusinya?
Sembako dalam Demokrasi Ekonomi
Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, maka hal ini diurus oleh negara melalui Bulog. Tetapi kalau boleh jujur, Bulog ini dampaknya tidak besar. Malah internal Bulog-nya sendiri seringkali korup.
Hasil search Google dengan kata kunci “Korupsi Bulog”

Tapi apakah kita hanya bisa berpangkutangan atas ketidakbecusan Bulog? Kenapa tidak kita coba koordinir kebutuhan kita secara bersama-sama? Demi kepentingan kita bersama kok, urusan sembako, gitu.
 
Kembali pada kontradiksi dagelan di atas, bagaimana supaya harga sembako murah tapi petani juga sejahtera? Jawabannya ada pada rantai pasok. Di petani harga mungkin murah, tapi di pembeli harga sudah naik dengan margin yang tidak sedikit.

Tak heran kalau petani tidak sejahtera dan orang pada malas jadi petani, karena orang yang mendapatkan keuntungan utama dalam rantai pasok sembako adalah distributornya. Tengkulak dan kawan-kawan yang ada di tengah-tengah justru kaya raya, sedangkan petaninya miskin.
Solusi paling sederhana ya potong rantai pasok. Hubungkan langsung antara pembeli dengan petani. Tetapi ini sulit kalau dilakukan sendiri-sendiri, karena yang namanya panen itu jumlahnya besar. Kalau kita beli secara individu, ya ga bakal mau petaninya. Panen 500 kg masak dibeli cuma 5 ons per orang kan ya capek.

Tetap perlu ada pihak penengah yang mengoordinir interaksi antara pembeli dengan petani, supaya kebutuhan pembeli bisa diagregat sehingga jumlahnya besar dan harganya bisa lebih murah per kilonya. Sedangkan di sisi petani mereka tidak sibuk mencari dan melayani ratusan pembeli, cukup satu saja.
Apa bedanya penengah ini dengan tengkulak yang ada?
Sederhana, penengah ini harus dimiliki bersama oleh pembeli dan petaninya, sehingga penengah ini tidak akan mengambil margin yang terlalu besar. Kalau pembeli dan petani adalah pemilik, artinya si penengah bertanggungjawab kepada mereka, bukan pada investor atau pemilik individu dari usaha penengah/distributor ini.
Karena pembeli dan petani adalah pemilik yang setara, mereka bisa duduk bareng dan buka-bukaan data. 
Petani: “Segini lho hargaku, karena poin a, b, c.”
Pembeli: “Ah tapi segitu kemahalan, kan ada poin x, y, z.”
Dengan dialog, bisa didapatkan kesepakatan yang memberikan hasil terbaik bagi pihak-pihak yang terlibat, tanpa perlu campur tangan pihak luar.

Apa bentuk yang tepat dari penengah ini? Tidak lain dan tidak bukan ya koperasi. Kalau bentuknya selain koperasi, bisa terjadi tarik-ulur kepentingan dari pemilik usaha distribusi yang nilai suaranya berbeda-beda sesuai besaran saham. Dalam koperasi, satu anggota satu suara, sehingga tidak akan ada orang yang menguasai usaha distribusi ini melalui saham yang paling besar.

Dengan format koperasi, kepentingan setiap individu manusia memiliki bobot yang sama, sehingga mau tidak mau seluruh anggota tentu memikirkan kepentingan bersama. Pada dasarnya sulit untuk egois dalam bentuk koperasi, kecuali kita bisa meyakinkan kawan kita yang lain.

Hajat Hidup orang Banyak

Utopis sekali ya, apakah hal ini bisa dilakukan? Sudah ada contohnya kok di Jepang, namanya Seikatsu Club. Di Korea juga ada, namanya ICOOP.
Apakah hanya sembako yang bisa diatur dalam format koperasi multipihak milik bersama ini? Oh tidak, tentu semuanya bisa. Sebaiknya, ketika suatu hal terkait dengan hajat hidup orang banyak, dia dikelola dalam format koperasi multipihak (Multi-Stakeholder Cooperative).

Hajat hidup orang banyak itu contohnya air, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan lain-lain. Kita bisa bangun koperasi untuk masing-masing bidang tersebut yang isinya lengkap secara rantai nilai dari awal hingga akhir. Dengan begitu, semua pihak yang terlibat di dalamnya bisa menentukan keputusan dan kebijakan ekonomi secara bersama-sama.

Kesehatan
Kita perlu membangun jaringan fasilitas kesehatan (faskes) yang akan memberikan pelayanan terbaik meski pasien menggunakan asuransi BPJS. Jaringan ini juga harus memberikan penghidupan yang layak pada para dokter, perawat, dan tenaga medis yang bekerja di dalamnya. Jika perlu juga kita buat asuransi kesehatan milik kita bersama.

Pendidikan
Kita tentu paham seberapa bobroknya pendidikan di Indonesia. Rendahnya gaji guru, rendahnya tingkat kelulusan, buruknya kualitas lulusan, tingginya angka pengangguran, mereka adalah segelintir dari penanda bahwa sistem pendidikan kita remuk-redam. 
Kalau memang kita sepakat bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kepentingan bersama, mari kita buat koperasi terkait pendidikan yang dimiliki bersama-sama. Murid, orang tua, guru, dan profesi pendukung lain yang terkait erat dengan sekolah dan universitas adalah pemiliknya. Kita duduk bareng dan buat sedemikian rupa sehingga pendidikan yang terbaik bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat sebagai hak asasi.
Karena sekali lagi, ekonomi itu untuk segelintir saja atau untuk semua? Kalau kita semua ingin maju sebagai sebuah bangsa, ya kita bergerak bersama untuk itu. Jangan menunggu dan menyerahkan takdir kita pada sekelompok orang yang terlanjur menguasai kehidupan kita. 
Ambil dan kelola bersama-sama.

Kesenjangan ekonomi adalah masalah yang buat saya paling pelik saat ini. Kemiskinan saja itu sudah masalah, apalagi kemiskinan yang bersamaan dengan kekayaan yang begitu jauhnya. Kemiskinan tersebut akan menekan mental, tidak hanya masalah material.

Bayangkan saja bagaimana rasanya ketika makan sehari-hari saja susah, tetapi di sisi lain kita tahu ada orang yang mampu dan mau membeli baju mewah seharga biaya hidup kita selama 5 tahun?

Solusinya jelas bukan bantuan-bantuan langsung yang tidak bermartabat dan membuat masyarakat ketergantungan itu. 

Ekonomi seluruh lapisan masyarakat harus mandiri. Mandiri bukan berarti sendiri-sendiri, tapi tidak bergantung pada pihak-pihak lain yang tidak bisa dikendalikan dan hanya memikirkan keuntungan mereka sendiri.

Koperasi sudah diletakkan sebagai dasar demokrasi ekonomi di Indonesia dari zaman dahulu kala. Mari kita bangkitkan kodratnya sebagai sistem ekonomi utama di tanah air kita ini.
Sudah saatnya kita bergerak secara gotong-royong, kolektif, bersama-sama. Supaya kemajuan dan keuntungan ekonomi bisa dinikmati oleh semua, tidak hanya mereka yang di atas sana.