Editorial Pro:aktif Online - edisi Desember 2016

Tak terasa putaran waktu kini beranjak ke penghujung tahun 2016.
Pada akhir tahun ini, Pro:aktif Online kembali hadir dengan tema “Budaya Membaca Buku”

Membaca adalah sebuah kegiatan penting dan utama di dalam kehidupan manusia. Dengan membaca, seseorang mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Membaca merupakan jendela menuju dunia dan wawasan yang luas. Demikian pentingnya membaca sehingga mampu mendongkrak kualitas hidup manusia dan kesejahteraan suatu masyarakat.

Dalam edisi kali ini, budaya membaca telah dipotret dari berbagai sudut pandang oleh para kontributor penulis Pro:aktif Online, dimulai dari rubrik Pikir yang dibawakan oleh Sofie Dewayani. Artikel yang dibawakannya mengajak pembaca untuk menyelami dan memahami perilaku dan pilihan-pilihan generasi masa kini yang melek teknologi digital. Dengan pemahaman baru tersebut, pembaca diajak untuk menyikapi secara bijak perkembangan teknologi yang ada, serta mencari cara yang strategis agar kebiasaan membaca tidak tergerus oleh perkembangan teknologi tersebut.

Rubrik Opini disajikan oleh Umbu, yang dengan indahnya memaparkan dunia yang membaca. Alam semesta terdiri dari peristiwa membaca yang tak pernah usai, dimulai dari pembacaan semesta terhadap awal mula dunia kepada insting ‘membaca’ pada manusia purba hingga terciptanya simbol-simbol yang kini digunakan oleh masyarakat modern dalam membaca. Secara menarik, Umbu mengajak pembaca untuk meninjau kembali budaya membaca dalam hubungannya dengan pola berpikir kritis. Ia menyandingkan membaca yang dilakukan Alice dalam kisah “Alice in Wonderland” dengan membaca yang dilakukan Pinocchio, sang boneka kayu yang akhirnya menjadi manusia.

Rubrik Masalah Kita dibawakan oleh Kukuh Samudera. Ia memaparkan tentang kebiasaan membaca buku di kalangan aktivis. Kukuh mengantarkan pembaca kepada pengalaman para aktivis dalam mengakses buku, yang dikaitkan dengan kiprah mereka di tempat karya masing-masing.

Rubrik Jalan-Jalan dibawakan oleh Yosepin Sri Ningsih, mengisahkan tentang Perahu Pustaka Pattingaloang, sebuah perpustakaan yang dibangun di atas sebuah perahu layar dengan misi menjangkau wilayah-wilayah terpencil untuk meningkatkan minat membaca masyarakat, terutama masyarakat di Indonesia bagian timur.

Rubrik Media ditulis oleh Tabrani Yunis, direktur Center for Community Development and Education (CCDE) di Aceh, menuturkan tentang majalah POTRET yang merupakan majalah bagi aktivis dan kaum perempuan di Aceh.

Rubrik Profil diisi dengan dua artikel, pertama, tentang Perpustakaan Jalanan yang ditulis sendiri oleh pendirinya, Senartogok, yang mengisahkan jatuh bangun perjuangan mereka menyuarakan gema literasi di jalanan. Artikel kedua adalah profil tentang seorang penulis bacaan anak, Eugenia Rakhma, yang mengisahkan pengalaman dalam menulis bacaan yang mampu memikat hati anak-anak yang membacanya.

Rubrik Tips dibawakan oleh Any Sulistyowati yang menuliskan kiat-kiat meningkatkan budaya membaca buku di kalangan aktivis dan tips untuk mengakses buku yang sesuai dengan bidang minat masing-masing.

Akhir kata, semoga dengan penerbitan edisi “Budaya Membaca Buku” ini dapat bermanfaat bagi peningkatan minat baca di kalangan aktivis. Mari kita refleksikan kembali makna membaca bagi diri kita masing-masing.

Selamat membaca dengan penuh makna!

[PROFIL] Perpustakaan Jalanan

Penulis: Senartogok


Masa mudaku berkisar pada perpindahan kata jalanan. Selepas dari Rumah Belajar Sahabat Anak Jalanan, aku terdampar di sepetak omong kosong lain bernama Perpustakaan Jalanan. Enam tahun silam, tak ada yang bisa diharapkan dari sekelompok orang menongkrong yang mengatasnamakan literasi dalam kegiatannya ini. Lagipula keikutsertaanku pada mereka berawal dari bergabungnya aku sebagai vokalis dalam band mereka yang juga angin-anginan. Ya, kelompok ini hanyalah personil dari grup punk rock setengah hati yang namanya juga buruk: Masturbasi Distorsi. Band yang lebih banyak menebar bualan dalam setiap terbitan tak berkalanya ketimbang membuat musik, mengisi panggung, atau promosi rilisan fisik yang sampai saat ini belum ada albumnya, kecuali demo versi lagu berkualitas murahan yang banyak disebar.

Sial? Tak sepenuhnya kurasa, sebab dari sekawanan kecil pemuda, jauh lebih banyak faedah ketika hal tersebut merupakan representasi sebuah upaya dan daya atas kemarahan, kebanggaan, kegenitan, kegelisahan, yang menjadi kehendak mereka. Saat itu, kami terpukau dengan kelompok Baader Meinhoff alias RAF yang bututnya juga kami telan mentah-mentah dari tayangan layar lebar. Meskipun tak radikal, kami menganggap diri kami dapat mengubah keadaan; sesuatu yang banyak beredar di dada kaum muda ketika menginjak usia 23 tahunan mereka. Tak banyak yang kami lakukan. Hanya gerilya kecil, kekanak-kanakan, dan bersifat sesaat, dan paling lembutnya sekedar menghamparkan buku di pinggiran kota.

[PROFIL] Menjadi Penulis Buku Anak? Senangnya!

Oleh : Eugenia Rakhma 

Sekarang ini, buku bacaan untuk anak-anak sangat mudah ditemukan. Jenisnya pun beragam. Dari mulai buku bergambar (pictorial book), buku berilustrasi (illustrated book), sampai novel anak.

Menulis buku anak, terutama bagi pembaca usia dini (2-5 tahun) merupakan hal yang mudah sekaligus sulit. Mudah karena alur ceritanya sederhana, teksnya tidak terlalu panjang, dan tokohnya pun hanya sedikit. Anda cukup terlibat dengan dunia anak-anak, mengetahui ketertarikan mereka, lalu menuangkannya ke dalam sebuah cerita.

Sebelum fokus terjun ke dunia menulis, saya merupakan guru taman kanak-kanak. Maka cukup mudah bagi saya untuk menuliskan buku seri pertama saya yang berjudul Benji. Berpegang pada pengalaman sehari-hari bersama anak-anak, mengetahui jangkauan tema tiap usia, dan target belajar mereka, saya pun menyusun buku pertama saya.




Gambar buku Benji

[PIKIR] Membaca di Era Digital

Penulis: Sofie Dewayani
sumber-teorikomputer.com

Selamat datang di dunia Gen Z, dunianya generasi muda yang melek teknologi. Survei Nielsen di Indonesia pada Oktober 2016 memperkuat ungkapan ini. Survey ini menemukan bahwa anak (usia 10-14 tahun) dan remaja Indonesia (umur 15-19) lebih gemar mengakses internet ketimbang membaca buku. Survey ini lebih jauh menyebutkan bahwa persentase anak yang membaca buku hanya 11 %, dan remaja hanya 10 %. Sementara itu, hanya 4 % orang dewasa membaca buku. Anak-anak dan remaja mengakses internet untuk mencari informasi (8 % untuk anak-anak dan 17 % untuk remaja) ketimbang bermain (hanya sekitar 6 % pada kedua kelompok ini. Fakta bahwa media teknologi lebih banyak diakses ketimbang media cetak tak dapat dielakkan lagi.

Perkembangan teknologi digital sering dianggap sebagai kambing hitam bagi kegemaran membaca. Orang khawatir bahwa ketika internet semakin mudah diakses, buku cetak tidak lagi menarik minat pembaca. Di Indonesia terutama, kekhawatiran ini muncul karena minat membaca belum tumbuh. Kekhawatiran yang sama mengemuka di dunia Barat di awal kemunculan teknologi visual, yaitu televisi dan film. Namun kekhawatiran ini tidak terbukti. Buku-buku cetak tetap digemari saat itu, karena diproduksi dengan memenuhi tantangan teknologi visual. Buku-buku dibuat dengan kaya warna, ilustrasi dan desain yang menarik. Inovasi terjadi dalam dunia komik, novel grafis, dan buku bergambar, yang digarap dengan kualitas konten, warna, dan desain yang lebih baik. Televisi sempat mencuri perhatian sesaat, namun orang tetap kembali kepada buku cetak. Hal ini membuktikan bahwa teknologi visual bahkan memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia membaca. Budaya membaca untuk kesenangan (reading for pleasure) semakin tumbuh karena dipupuk dan dimanjakan oleh buku-buku yang baik. Perkembangan budaya membaca untuk kesenangan tumbuh seiring dengan inovasi dalam teknologi visual.
sumber-wawanindrairawan.wordpress.com

Inovasi dalam produksi buku telah tampak di Indonesia dengan kemunculan buku-buku bergambar yang memperhatikan aspek desain, penataan, dan ilustrasi secara lebih serius. Penulis-penulis buku anak, misalnya, berpartisipasi dalam ajang kompetisi tingkat Asia dan internasional dan perhatian konsumen buku mulai diarahkan kepada buku-buku yang mendapatkan pernghargaan pada kompetisi ini. Sayangnya, buku-buku berkualitas hanya dapat diakses oleh kelas atas dan menengah di daerah perkotaan di Pulau Jawa. Rendahnya daya beli dan mahalnya ongkos ekspedisi serta distribusi menyebabkan buku-buku berkualitas ini tak dapat diakses oleh sebagian besar pembaca, terutama mereka yang tinggal di pedesaan, luar Jawa, dan daerah-daerah terluar di Indonesia. Karenanya kita memaklumi, apabila perpustakaan-perpustakaan SD masih menyimpan buku-buku Inpres atau DAK (Dana Alokasi Khusus) yang miskin kualitas serta cerita rakyat yang tak sesuai dengan daya nalar dan pemahaman mereka. Inovasi dalam peningkatan kualitas dan distribusi buku anak terbukti kalah cepat dengan perkembangan teknologi internet dan gawai elektronik yang telah menyebar ke segala penjuru Indonesia. Informasi digital saat ini telah menjadi materi bacaan yang diakses secara masif. Kegiatan membaca digital mempengaruhi cara seseorang mencerna informasi, perilaku membaca, dan cara memahami bacaan. Karena itu, upaya menumbuhkan minat baca membutuhkan strategi khusus dan perlu memperhatikan perilaku dan preferensi membaca di era digital ini.

[MASALAH KITA] Aktivis Membaca


Membaca belum menjadi kebiasaan dan kebudayaan bangsa kita. Anies Baswedan mengatakan, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia merupakan pembaca aktif. Pernyataan ini disampaikan ketika Anies memberikan sebuah sambutan di acara final Gramedia Reading Community Competition 2016 di Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta, Sabtu (27/8/2016). Saat itu Anies masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan[1].

Menurut data yang dilansir oleh UNESCO, sesungguhnya angka buta huruf di Indonesia tergolong rendah. Di tahun 2015, 92.6 persen warga Indonesia berusia di atas 15 tahun telah mampu membaca aksara[2]. Namun, sayang kemampuan dasar membaca di sini tidak diimbangi dengan minat membaca masyarakat. Survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2012 menunjukkan hanya 17,3 persen penduduk Indonesia yang membaca (baik buku, majalah, maupun koran) dalam rentang waktu satu minggu[3].

Hal ini bukan sebuah tren yang baik. Saat ini memang informasi dapat diperoleh dari mana saja. Namun, kedalaman informasi adalah sesuatu yang berbeda. Saat menonton televisi, kita akan memperoleh informasi dan gambar bergerak. Otak kita cenderung reseptif. Sementara jika kita membaca buku, otak kita dituntut mengolah informasi secara lebih aktif.

[OPINI] Membaca dan Berpikir Kritis

Penulis : Umbu


Membaca demi memanusia



Segala sesuatu membaca. Membaca adalah pusat keberadaan segala sesuatu, masing-masingnya dan totalitasnya. Berhenti membaca, berhenti menjadi sesuatu; berhenti mengada, hilang begitu saja …

Salah satu syair kuno Yunani tentang penciptaan bertutur bahwa Sang Pencipta itu, yakni Dia yang mula-mula adalah Kata. Kata adalah bacaan.

Semesta adalah peristiwa membaca yang tak pernah usai. Berhenti membaca, semesta pun berakhir. Daya-daya purba semesta membaca kepadatan gravitasi tak berhingga, membaca dengan suara ledakan keras, dentuman purba, big-bang, lepas memancar, meluas membangun ruang tak bertepi hingga kini. Semesta, cerita tentang pembaca setia, membaca pesan intrinsik dalam dirinya dan membacakan lahirnya kejadian-kejadian baru, semesta-semesta baru, daya-daya baru, pusaran-pusaran cakram galaksi baru; berada, melenyap dan berpendar mengada lagi, semesta yang terus lahir, menjadi remaja, dewasa, menua dan mati dengan letusan cemerlang menjadi hembusan kabut gas warna-warni dan kepingan-kepingan mineral, emas, perak, besi, tembaga dan air raksa sebelum melapuk hanyut dalam lautan luas ruang tak berbatas atau berlanjut ditarik ke dalam pusaran-pusaran galaksi baru.

[TIPS] Membangun Kebiasaan Membaca Aktivis

Penulis: Any Sulistyowati

Adakah waktu yang rutin anda luangkan untuk membaca? Apakah bacaan tersebut berkontribusi pada peningkatan efektivitas kerja-kerja yang anda lakukan? Jika anda menjawab ya untuk kedua pertanyaan di atas, maka saya mengucapkan “SELAMAT” karena berarti anda telah memiliki kebiasaan membaca yang bermanfaat untuk peningkatan efektivitas kerja-kerja aktivis anda. Jika anda menjawab belum, maka tulisan ini mungkin bermanfaat untuk anda dalam membangun kebiasaan membaca.

Hambatan-hambatan dalam membangun kebiasaan membaca

Ada banyak hambatan yang dihadapi banyak orang dalam membangun kebiasaan membaca. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya adalah: kemauan , waktu, ketersediaan bacaan, ketersediaan sumberdaya untuk mengakses bacaan, berbagai hambatan teknis terkait ketrampilan membaca, masalah fisik dan tidak ada teman. Dalam tulisan ini, akan diulas masing-masing hambatan dan beberapa alternatif penyelesaiannya satu per satu.

[MEDIA] POTRET, 14 Tahun Membangun Budaya Baca Di Kalangan Perempuan

Oleh Tabrani Yunis 
Pemimpin Redaksi Majalah POTRET, Media Perempuan Kritis dan Cerdas


Alhamdulilah, pada tanggal 11 Januari 2017 ini, majalah POTRET, Media perempuan kritis dan cerdas ini genap berusia 14 tahun. Sebuah usia yang sudah lumayan lama untuk sebuah media, namun bila dianalogikan dengan usia manusia, ini adalah usia yang masih belia, bahkan masih di bawah umur. Namun, bila menelusuri lorong-lorong sejarah lahirnya, orientasinya dan bahkan cita-citanya, serta secara geografis, usia 14 tahun bagi majalah POTRET, termasuk usia yang lumayan lama. Ini menjadi masa yang seharusnya berada pada masa yang matang. Dikatakan demikian, karena latar belakang ( background) lahirnya majalah POTRET tidak sama dengan majalah-majalah yang terbit di ibu kota, dengan template dan patron yang bisa dikatakan business oriented. Ya, berbeda orientasinya dengan majalah-majalah yang terbit di pusat kota Jakarta. Majalah POTRET lahir dari sebuah keprihatinan terhadap nasib kaum perempuan yang menderita, terutama perempuan akar rumput yang ada di wilayah perdesaan.

Majalah POTRET yang mulai terbit pada tanggal 11 Januari 2003, sebelum bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh itu, terbit dilatarbelakangi dari keprihatinan akan nasib kaum perempuan di Aceh yang hidup terbelenggu kemiskinan. Secara kasat mata, kemiskinan yang dialami perempuan adalah kemiskinan harta benda atau kemiskinan material. Namun, bila kita telusuri lebih dalam, kemiskinan yang menghimpit perempuan adalah kemiskinan intelektual dan spiritual, yang wujudnya, miskin ilmu pengetahuan, miskin keterampilan dan miskin sikap atau spirit untuk maju. Kemiskinan ini semakin memperkecil akses dan kontrol kaum perempuan, terutama perempuan akar rumput (grassroots) yang hidup di perdesaan di Aceh, terhadap pembangunan, akses terhadap pendidikan. Kondisi ini membuat perempuan tidak punya kemampuan membaca, tidak punya minat membaca dan bahkan sama sekali kehilangan semangat untuk maju dan keluar dari belenggu kemiskinan tersebut.

Nah, berangkat dari keprihatinan tersebut, maka Center for Community Development and Education (CCDE), Banda Aceh, sebagai sebuah organisasi nirlaba (nonprofit), atau LSM yang peduli dan bekerja untuk perempuan, melakukan berbagai kegiatan pendidikan alternatif bagi kaum perempuan di Aceh. Kegiatan-kegiatan itu mulai dari kegiatan pertemuan membangun konsolidasi, membangun kesadaran dan hingga pada kegiatan pelatihan dan lain sebagainya yang bisa membuka mata perempuan, serta mendorong perempuan untuk secara aktif berkarya di tengah-tengah masyarakat, agar bisa keluar dari belenggu kemiskinan dalam berbagai bentuk dan jenisnya.

[JALAN-JALAN] Membangun Mimpi lewat Membaca

Penulis: Yosepin Sri 

Indonesia dan membaca, adalah tema dasar dari tulisan ini. Indonesia terdiri dari gugusan kepulauan yang membentang di garis khatulistiwa diapit oleh dua benua dan samudra luas, menjadikan negara ini begitu cantik dan menarik akan bentang alam serta keanekaragaman sukunya. Lalu bagaimana dengan masyarakatnya yang tinggal tersebar di pulau-pulau tersebut? Apakah mereka semua suka membaca?

Buku merupakan sumber informasi dari hasil pemikiran penulisnya, baik itu buku yang berisi kumpulan cerita pendek, dongeng-dongeng, maupun buku yang berisi pengalaman langsung sang penulis, semuanya sama-sama membutuhkan usaha yang tidak mudah untuk menerbitkannya sebagai sebuah buku. Melalui buku, pembaca dapat mengembangkan imajinasinya serta membuka pintu-pintu di kepalanya akan pengetahuan baru yang telah ada di belahan dunia lain. Melalui buku, kita juga dapat mengetahui bagaimana cerita Indonesia bisa merdeka, usaha dari para tokoh di daerah yang bersatu melawan penjajah, hingga usaha dari berbagai ilmuwan untuk menciptakan peralatan yang ada sekarang ini seperti pesawat terbang, lampu, jam tangan, kamera, televisi hingga teknologi informasi seperti internet. Sehingga melalui buku, seorang anak akan bisa membangun mimpinya.

Editorial Pro:aktif Online Edisi Agustus 2016

71 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Merdeka atau Boneka? 

17 Agustus 1945 dapat digambarkan sebagai momentum berakhirnya catatan tragis sebuah bangsa yang menjadi budak atas tanahnya sendiri. Raungan ”Merdeka atau Mati” dari para pejuang, pemuda, rakyat, pos-pos pertahanan terdengar di tiap pelosok negeri ini, hingga akhirnya kemerdekaan itu dapat direbut, benarkah bangsa ini sudah betul merdeka?

20 Tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 bangsa ini mengalami periode keterbukaan politik yang diakhiri dengan perebutan kekuasaan oleh Soeharto pada 1965. Terulang lagi sebuah luka akibat jatuh dalam periode kediktatoran selama 33 tahun lamanya, hingga muncul gerakan bak bulir-bulir didih dari bawah menuju permukaan dan bersatu menjadi pergolakan hebat akibat api yang ditebar sendiri oleh orde tersebut.

Proaktif kali ini akan mengulas 71 tahun setelah hari kemerdekaan Bangsa Indonesia, benarkah kita sudah merdeka? Untuk itu dalam rubrik Pikir, penulis memaparkan catatan sejarah yang telah lalu hingga saat ini dan merefleksikan makna dari kemerdekaan itu sendiri. Dalam rubrik Masalah Kita, penulis menghadirkan sudut pandang beberapa aktivis tentang sejauh mana Indonesia telah merdeka dalam berbagai bidang, ancaman yang sedang dihadapi serta cara mengatasi ancaman-ancaman tersebut.

Lalu apa saja kegiatan-kegiatan aktivis dalam memaknai kemerdekaan dan apa peran aktivis sebagai pelaku gerakan sosial? Hal tersebut akan dipaparkan dalam rubrik Opini. Rubrik Profil Pro:aktif Online kali ini mengangkat profil Hendra Gunawan, seorang matematikawan dan inisiator Anak Bertanya.com. Hasil wawancara penulis dengan Pak Hendra dirangkum menjadi sebuah tulisan menarik tentang pentingnya kemerdekaan dalam peningkatan kualitas dan membangun budaya bernalar agar siap menghadapi tantangan zaman.

Pembahasan kemerdekaan pun dibahas dari sisi terdekat dalam kehidupan kita sehari-hari, bagaimana kita dapat merdeka dari penjajahan waktu dan penggunaan gadget, rubrik Tips akan memberikan kiat-kiat terbebas dari penjajahan waktu dan belenggu pemakaian gadget.

Rubrik-rubrik lain yang melengkapi sajian Pro:aktif Online Agustus ini adalah rubrik Media yang mengangkat tentang narasi dalam buku yang merekam perjalanan lahirnya sebuah bangsa dan bagaimana buku tersebut pula yang dapat membuat sebuah bangsa bertahan. Rubrik Jalan-jalan yang menceritakan tentang ruang publik yang dapat memerdekakan kegiatan-kegiatan para aktivis. Semoga setiap rubrik yang kami sajikan dalam edisi ini dapat menginsipirasi sehingga bersama kita dapat terus memaknai kemerdekaan. Merdeka!

[PROFIL] Mengikatkan Diri untuk Memerdekakan Masa Depan

Oleh: Deta Ratna Kristanti 

Prof. Hendra Gunawan
Jika kita berbicara tentang kemerdekaan, biasanya kita mengaitkannya dengan kebebasan. Kebebasan berpikir, berbicara, bertindak merupakan tiga hal yang sering digadang-gadang sebagai indikator kemerdekaan. Kemerdekaan juga digambarkan sebagai situasi di mana orang tidak terbelenggu oleh tekanan atau tuntutan dari pihak lain terhadap dirinya.

Kemerdekaan seringkali diidentikkan dengan situasi tanpa keterikatan, karena keterikatan seringkali diartikan sebagai belenggu yang membatasi kebebasan. Apakah orang yang mengikatkan diri berarti menanggalkan kemerdekaannya? Bagi seorang Hendra Gunawan, seorang matematikawan dan inisiator anakbertanya.com, kesediaannya mengikatkan diri pada tujuannya justru menjadi kunci keberhasilan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.

Anak-Anak yang Merdeka: Siap Menghadapi Tantangan Zaman dengan Budaya Bernalar 

Apa mimpi Pak Hendra? Salah satu mimpi Pak Hendra adalah mewujudkan anak-anak yang siap menghadapi tantangan pada zamannya, sekitar 30 tahun ke depan. “Tiap anak itu punya potensi untuk memecahkan masalah, mereka punya potensi untuk mencipta. 30 tahun ke depan, anak-anak ini berada di puncak karier, dan mereka yang akan menjadi pemimpin. Yang kita lakukan itu bertujuan menggugah anak-anak untuk mau membekali diri mereka dengan kemampuan bernalar dan mencipta. Dan apa yang diciptakan anak-anak itu bisa baru, orisinil dari mereka” tutur Pak Hendra. Bagi Pak Hendra, kemerdekaan berarti bebas dari kungkungan pihak lain/ aturan yang dibuat turun temurun baik yang tertulis maupun tidak, leluasa melakukan apa yang ingin dilakukan, termasuk yang selama ini ia perjuangkan bersama teman-temannya: kemerdekaan berpikir, bertanya, dan mendefinisikan sesuatu yang baru.

[PIKIR] Terus Memaknai Kemerdekaan

Oleh: P. Krismastono Soediro 


Mahatma Gandi - Menginspirasi
gerakan tanpa kekerasan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 merupakan bagian dari arus sejarah besar dunia abad ke-20 seiring dengan kehendak bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia untuk melepaskan diri dari kolonialisme. Waktu itu habislah sudah kesabaran bangsa-bangsa itu sesudah hidup sebagai koloni dalam belenggu kekuasaan bangsa lain yang melakukan kontrol politik-ekonomi-sosial-budaya.

Kolonisasi dan Dekolonisasi

Praktik kolonisasi sudah terjadi sejak zaman kuno, seperti oleh bangsa Mesir, bangsa Funisia, bangsa Yunani, dan bangsa Romawi. Kolonialisme modern dimulai setelah orang-orang Portugis dan Spanyol menjelajahi wilayah-wilayah di lepas pantai mereka. Berbagai penemuan dan revolusi perdagangan mendorong bangsa-bangsa lain Eropa mengikuti jejak Portugis dan Spanyol, menguasai wilayah-wilayah lain, dan saling berebut kekuasaan atas wilayah-wilayah tertentu.

[MASALAH KITA] Refleksi 71 tahun HUT RI : Sudahkah Indonesia Merdeka?

Oleh: Any Sulistyowati


Latar Belakang 

Untuk menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-71, Proaktif Online melakukan survey online untuk menggali Refleksi mengenai Kemerdekaan Indonesia. Dua puluh lima orang mengisi survey tersebut. Mereka adalah para aktivis dari berbagai bidang dengan komposisi sebagai berikut: Alam dan Lingkungan (13 orang), Pendidikan (sembilan orang), Seni, Sastra dan Budaya (delapan orang), Teknologi (empat orang), Pertanian dan Pangan (tiga orang), Hukum dan HAM (dua orang), Ekonomi (dua orang), dan bidang lainnya (empat orang). Satu orang responden dapat mengisi lebih dari satu bidang garap.


Pertanyaan-pertanyaan refleksi dalam survey ini terdiri atas beberapa bagian utama, yaitu: sejauh mana Indonesia telah merdeka di berbagai bidang, ancaman yang dihadapi serta bagaimana cara mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Survey ditutup dengan pertanyaan apa yang ingin disampaikan para aktivis seputar kemerdekaan Indonesia.

Rangkuman Persepsi Responden tentang Tingkat Kemerdekaan Indonesia 


[OPINI] Aktivis Sebagai Pelaku Gerakan Sosial

Oleh: Dadan Ramdan

Merdeka atau mati adalah jargon bersama yang menyemangati, disuarakan, ditulis di tembok-tembok rumah, kantor pemerintahan, pagar dan kain bekas yang usang oleh kaum muda yang belum mengenal istilah aktivis atau aktivisme. Mereka bergerak dan berjuang atas kesadaran pada keadaan penindasan penjajahan pemerintah Hindia Belanda di tanah Nusantara.

Kaum muda tanpa membedakan status sosial terus berjuang tanpa pamrih dengan visi, keterampilan, tenaga, keringat, darah, penjara hingga nyawa demi sebuah kehormatan “terbebas” dari penindasan sistem sosial, ekonomi dan politik kolonial Belanda masa itu. Hingga akhirnya, kemerdekaan politik dapat diraih dengan pembacaan naskah proklamasi oleh Sukarno-Hatta tahun 1945.

Kemerdekaan politik memang diraih, terbebas dari kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, negara dan bangsa Indonesia terbentuk, sistem pemerintahan dibangun dengan fondasi konstitusi negara Republik Indonesia. Namun, hingga usia kemerdekaan Indonesia menginjak 71 tahun, kemerdekaan sejati sebenarnya belum diperoleh sepenuhnya. Bangsa Indonesia sejatinya belum merdeka sejak kemerdekaan itu sendiri diproklamasikan.

Belum Merdeka

Merekam sejarah dan fakta yang ada, dari tahun 1945 hingga sekarang, bangsa ini masih terjajah, bangsa ini tetap menjadi budak di tanahnya sendiri, menjadi boneka dari kekuasaan modal dan sistem sosial dan politik pemerintahan yang tidak adil. Sistem modern yang tidak memerdekaan bangsanya. Sistem ekonomi politik yang menghamba pada kekuasaan modal global dari imperialis modern yang melestarikan sistem oligarki kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang.

[OPINI] Kegiatan-kegiatan Pengisi Kemerdekaan

Oleh: Any Sulistyowati

Pada tanggal 17 Agustus tahun 2016 ini, Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke 71. Jika melihat realitas Indonesia saat ini, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan oleh bangsa ini untuk mengisi kemerdekaan. Banyak hal yang masih perlu dibenahi agar kemerdekaan sejati dapat sungguh-sungguh dirasakan oleh setiap warga negara Indonesia. Berikut ini adalah beberapa pilihan kegiatan yang dilakukan oleh para responden Pro:aktif Online, mengapa kegiatan-kegiatan tersebut mereka pilih untuk mengisi kemerdekaan serta tantangan-tantangan yang mereka hadapi dalam mengisi kemerdekaan tersebut.

Kegiatan-kegiatan untuk Mengisi Kemerdekaan 

Fransiska Damarratri (Siska) dari ASF-ID, arsitek lulusan UGM memilih mengambil jalan yang mungkin berbeda dari arus utama kebanyakan arsitek. Ketimbang bekerja di Biro Arsitek yang melayani kepentingan pemilik modal, ia memilih bekerja dan merintis sebuah NGO di bidang Arsitektur. Ia merasa ada yang tidak pas/baik di pendidikan dan praktek profesi arsitektur, yang terkait dengan semua sistem. Ia berpendapat bahwa perubahan bisa dimulai dari aksi dan pendidikan.

Kukuh Samudra (Kukuh) dari Unit Tenis ITB merasa bahwa sejauh ini belum ada yang dapat ia banggakan dalam mengisi kemerdekaan. Tetapi kalau secara subyektif mungkin satu hal yang dapat ia banggakan sebagai mahasiswa adalah bahwa ia sudah mulai berusaha sendiri dalam bentuk menjual buku, meskipun modal masih dari orang tua.

[TIPS] Merdeka Dari Waktu

Oleh: Navita Kristi Astuti

Setiap orang mendambakan kemerdekaan atau kebebasan. Bebas dari segala hal yang mengekang tingkah laku, pendapat, maupun ekspresi diri sebagai manusia. Namun, ada beberapa hal dalam kehidupan sehari-hari yang seringkali dianggap sepele, namun tanpa disadari, ia mampu mengekang kebebasan manusia. Salah satu faktor yang mampu mengekang kebebasan manusia tanpa disadari tersebut adalah : waktu.

Bagaimana mungkin manusia bisa terjajah oleh waktu? Mari kita simak cuplikan cerita berikut ini :

Suatu hari, Wendy mendapat tugas dari dosen untuk mengerjakan sebuah karya tulis sebanyak 50 halaman. Waktu pengerjaan karya tulis tersebut selama satu bulan. Dalam satu bulan itu, dosen mengizinkan setiap mahasiswa untuk menggali ide penulisan dengan cara wawancara lapangan maupun studi literatur untuk memperkaya isi karya tulis tersebut.

[TIPS] Merdeka dari Belenggu Gadget

Oleh: Agustein Okamita

Gadget sering didefinisikan sebagai sebuah perangkat elektronik berukuran kecil yang memiliki kepintaran/kecanggihan tertentu. Saat ini, kata gadget diasosiasikan dengan smartphone, tablet, ipod, atau komputer berukuran kecil yang dapat dibawa ke mana-mana (mobile).

Abad ini dinamakan abad teknologi informasi dan komunikasi, karena semua teknologi yang berhubungan dengan informasi dan komunikasi sedang berkembang dengan sangat pesat. Setiap detik bisa saja muncul gadget baru dengan fitur yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Di abad ini, pemanfaatan gadget juga semakin luas. Jika dulu gadget berupa telepon genggam hanya digunakan untuk komunikasi dan permainan sederhana, sekarang kegunaan gadget sudah sangat bervariasi. Selain sebagai alat komunikasi, gadget juga berguna untuk membantu dalam pekerjaan, mencari informasi, hiburan, dan permainan. Jika sepuluh tahun yang lalu penggunanya terbatas pada orang-orang di perkantoran dan kota besar, dengan perkembangan teknologi penyedia jasa jaringan, saat ini semua kalangan di seluruh dunia dapat menggunakannya. Rentang usia pengguna juga semakin lebar, mulai dari anak-anak hingga orang tua.

[MEDIA] 71 Tahun Indonesia Merdeka: Narasi dalam Buku

Oleh: Kukuh Samudra 

Kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para pahlawan terdahulu. Mereka berjuang tidak hanya dengan senjata di tangan. Senjata mereka bukanlah tipe yang sekali tusuk musuh mati seketika, atau sekali tembak puluhan peluru berdesir. Waktu tidak membuat senjata ini berkarat. Senjata tersebut tidak lain adalah buku.

Indonesia Menggugat

Seorang insinyur lulusan anyar yang mendapatkan kemewahan pendidikan tinggi diliputi kegelisahan atas nasib bangsanya. Setelah menamatkan studinya di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB), dia bersama kawan-kawannya mendirikan kelompok diskusi yang dinamakan Algamenee Studieklub. Pemuda tersebut tidak lain adalah Sukarno.

Diskusi rutin mereka adakan dengan tema-tema seputar politik dan kebangsaan. Belanda tidak senang, lantas menangkap mereka dengan dalih mengancam ketertiban dan ketentraman.

Sukarno, yang kelak dikenal sebagai Proklamator kemerdekaan Indonesia bersama tiga orang kawannya yang lain: Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929. Dalam rentang dua bulan, Sukarno harus menulis sendiri pembelaannya. Sang istri, Inggit Ganarsih, berperan besar dalam upaya pembuatan pembelaan tersebut dengan menyuplai bahan bacaan dan alat tulis. Buku dan alat tulis disembunyikan oleh Inggit di balik kebayanya. Sukarno paham betul, latar belakang mereka ditangkap adalah alasan politik. Dasar penangkapan mereka adalah UU pasal 169 tentang penyebaran kebencian terhadap penguasa. Pasal yang sering dijuluki sebagai “pasal karet” karena memiliki ruang penafsiran yang begitu luas sehingga sering digunakan penguasa untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sukarno menuliskan dalam pleidoinya : Tak usah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses politik; iya, oleh karenanya di dalam pemeriksaannya, tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik yang menjadi sifat dan azas pergerakan kami, dan jang menjadi nyawanya fikiran-fikiran dan tindakan-tindakan kami . Sukarno ditangkap pihak Belanda karena ditengarai hendak merencanakan kudeta bersenjata. Selain Sukarno terdapat 40 aktivis lain yang ditangkap oleh Belanda. Padahal saat terjadi penangkapan, jelas mereka tidak memiliki senjata barang golok maupun pistol.

[JALAN-JALAN] HOMESCHOOLING DAY Bandung di Gedung Indonesia Menggugat

Oleh: Agustein Okamita


Pada tanggal 13 Agustus 2016 yang lalu, di Gedung Indonesia Menggugat diadakan acara Homeschooling Day. Event ini diselenggarakan secara swadaya oleh keluarga-keluarga homeschooler di Bandung. 

Homeschooling atau yang juga dikenal dengan pendidikan anak berbasis keluarga adalah pendidikan anak-anak di dalam keluarga. Home education/ homeschooling adalah salah satu gerakan yang muncul ketika para orang tua mulai memikirkan bahwa tanggung jawab untuk mendidik anak-anak ada di pundak orang tua. Dengan berbagai alasan dan resiko yang dipertimbangkan dengan matang, akhirnya mereka memutuskan untuk mendidik anak-anak mereka sendiri di dalam keluarga, ketimbang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah formal, sampai anak dapat memutuskan sendiri apakah mereka akan bersekolah secara formal atau tetap homeschooling. Keputusan ini merupakan salah satu pilihan merdeka bagi orang tua, maupun bagi anak ketika mereka sudah bisa memutuskan sendiri mengenai pendidikan mereka.

Pemilihan tempat untuk acara Homeschooling Day di Gedung Indonesia Menggugat juga bukan merupakan kebetulan. Gedung Indonesia Menggugat dipilih karena sesuai dengan tema Homeschooling Day kali ini, yaitu: Lejitkan Potensi dengan Berkarya dan Berekspresi untuk Mengisi Kemerdekaan. Gedung ini merupakan tempat di mana Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, pernah ditahan. Di gedung ini juga beliau membacakan pledoi yang diberi judul “Indonesia Menggugat”, di hadapan Pengadilan Landraad Bandung. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tahun 1930, kurang lebih 86 tahun yang silam. Hingga saat ini Gedung Indonesia Menggugat ini tetap menjadi pusat kegiatan berkebangsaan bagi semua lapisan masyarakat. Selain sesuai dengan tema Homeschooling Day, semangat kebangsaan dan kemerdekaan yang didengungkan oleh Bapak Proklamator ini selaras dengan semangat keluarga pelaku homeschooling, yang meyakini dan mengamini bahwa kemerdekaan memperoleh pendidikan adalah hak dari seluruh rakyat Indonesia.

[RUMAH KAIL] Merdeka dari Uang di Rumah KAIL

Oleh: Melly Amalia - Koordinator Rumah KAIL

Sejak berdiri sampai sekarang, KAIL banyak berinteraksi dengan para aktivis. Banyak dari para aktivis ini memiliki berbagai tujuan hidup yang mulia, yaitu membuat perubahan dunia ke arah yang lebih baik di berbagai bidang. Masalahnya, kerja-kerja yang mereka lakukan seringkali tidak menghasilkan banyak uang. Jangankan banyak, batas cukup pun seringkali tidak terpenuhi. Kerja-kerja untuk membuat perubahan yang dibutuhkan seringkali merupakan kerja-kerja inisiatif baru yang belum dikenal orang, belum dianggap penting dan bahkan belum diketahui keberadaannya sebagai profesi. Jangankan mendapatkan dukungan finansial, kerja-kerja untuk membangun kesadaran akan pentingnya yang dilakukan itupun sudah membutuhkan energi tersendiri. Uang seringkali menjadi batu sandungan terbesar dari para aktivis untuk mempertahankan idealismenya.

Permakultur
Sebagai kelompok pendukung para aktivis, KAIL mencoba menerapkan berbagai inisiatif untuk melepaskan diri sebanyak mungkin dari ketergantungan akan uang. Meskipun belum banyak hasil yang bisa dilihat, setidak-tidaknya ada beberapa prinsip yang sudah diterapkan di berbagai aspek organisasi KAIL. Berikut ini adalah beberapa di antaranya.

Sistem Barter untuk Mengikuti Kegiatan-kegiatan KAIL

Di dunia modern ini, untuk mengikuti berbagai kegiatan, khususnya berbagai kegiatan pengembangan diri, kita perlu membayar dengan uang. Dengan demikian akses ke ilmu pengetahuan pun berbanding lurus dengan kemampuan membayar. Sebaliknya, kepemilikan ilmu pengetahuan akan meningkatkan peluang untuk menghasilkan uang. Di dalam sistem semacam ini, terjadilah lingkaran yang terus memperkuat, yang punya uang tambah pintar, yang pintar tambah kaya, yang kaya bisa membayar untuk menjadi lebih pintar dan seterusnya. Terjadilah jurang yang makin besar antara mereka yang kaya dan yang miskin.

Hari Belajar Anak

Editorial Proaktif Online Edisi April 2016

Pada Pro:aktif Online edisi Desember 2015, KAIL mengangkat topik tentang kesehatan mental. Salah satu cara membangun dan menjaga kesehatan mental kita adalah dengan mengurangi stres. Berbagai tulisan di internet mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengurangi stres adalah melakukan hobi atau aktivitas yang menyenangkan sesuai minat. Penelitian berjudul Real-Time Associations Between Engaging in Leisure and Daily Health and Well-Being yang dilakukan Zawadzki, dkk. (2015), menunjukkan hasil bahwa subjek penelitian yang secara rutin melakukan aktivitas rekreasi menyatakan bahwa mereka memiliki mood yang lebih baik, semangat yang lebih tinggi, dan tingkat stres yang lebih rendah. Aktivitas rekreasi dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai aktivitas khusus yang dipilih sendiri (self-selected) dan memberikan kepuasan sendiri (self-rewarding) yang dilakukan di luar jam kerja.

Pro:aktif Online edisi April 2016 mengangkat tema Hobi dari sudut pandang aktivisme. Disandingkan dengan pekerjaan aktivis yang biasanya merupakan kerja-kerja panjang yang membutuhkan pemikiran dan kerja keras dan membuat perubahan, maka hobi bisa dianggap sebagai kegiatan mengisi kembali baterai energi. Karena itu, pemilihan hobi yang sesuai perlu dipertimbangkan. Di Rubrik Tips, penulis menyampaikan beberapa tips pertimbangan memilih hobi yang sesuai dengan diri kita.

Ketika telah memiliki hobi yang sesuai dengan diri kita pun, ternyata masih ada kendala ketika menjalankan hobi. Rubrik Masalah Kita mencoba mengulas kendala-kendala yang dihadapi aktivis berkaitan dengan kegiatan menjalankan hobi mereka serta bagaimana cara para aktivis menyiasati kendala-kendala yang mereka hadapi.

Sementara itu, penulis di Rubrik Opini mengajak kita menempatkan hobi sebagai kegiatan yang membebaskan sehingga dapat menjadi nutrisi bagi jiwa raga. Jangan sampai kegiatan hobi yang seharusnya melegakan berubah menjadi seperti beban.

Dalam Rubrik Pikir, penulis mengajak pembaca untuk melihat hobi lebih jauh dari sekadar kegiatan pengisi waktu luang dan rekreatif. Kegiatan-kegiatan aktivisme yang dilakukan dengan semangat hobi bisa jadi lebih berdaya mendorong perubahan. Hal ini sejalan dengan aktivitas gerakan yang dilakukan sosok Profil kita kali ini, di mana aktivitas hobi dalam hidupnya menjadi jembatan untuk berbagi dan bergerak menggiatkan terjadinya perubahan.

Bagi para pembaca yang membutuhkan informasi tentang tempat mengeksplorasi, menyalurkan dan mengembangkan hobi di Bandung, silahkan membaca ulasan di Rubrik Jalan-Jalan. Demikian juga jika Anda tertarik untuk mencari hobi baru dan mengembangkan hobi Anda, silahkan menengok Rubrik Media, yang menyajikan informasi tentang laman-laman hobi di dunia maya.

Mulai edisi April 2016 ini, ada rubrik baru di majalah Pro:Aktif Online, yaitu Rubrik tentang Rumah KAIL. Rubrik Rumah KAIL akan berbagi tentang berbagai hal yang diterapkan di Rumah KAIL sebagai upaya mendukung hidup berkelanjutan. Pada edisi kali ini, Koordinator Rumah KAIL berbagi tentang sistem penanganan sampah yang dijalankan di Rumah KAIL.

Selamat membaca. Semoga hobi membuat Anda lebih banyak berkarya.

[PROFIL] Merawat Hobi, Merawat Hidup

Oleh: Deta Ratna Kristanti 

Apa aktivitas yang Anda bayangkan akan Anda lakukan saat Anda mencapai usia 60 tahun? Atau saat Anda sudah pensiun dari pekerjaan Anda saat ini?

Foto Ibu Susen - dengan talas raksasa di Tahura
Sambil membayangkan, penulis mengajak Anda menemui sosok seorang ibu berusia 61 tahun yang masih aktif berkegiatan di berbagai tempat. Ibu Susann Suryanto, biasa dipanggil Ibu Susen, dulu berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran hingga pensiun 8 tahun yang lalu. Ibu Susen juga merupakan pendiri Perhimpunan Insan Kreatif dan Pecinta Lingkungan (PIKPL) Semanggi, sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Saat ini, ibu Susen aktif sebagai penasehat di Perkumpulan Pecinta Tanaman di Kotamadya Bandung, Ketua 1 di Ikatan Perangkai Bunga cabang Jawa Barat serta beberapa kegiatan lainnya. Aktivitas lain yang sedang dikerjakan Ibu Susen saat ini adalah menyusun Buku 101 Pesona Pohon di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda Bandung, berdasarkan penelusuran/ identifikasi terhadap 112 tanaman di Tahura yang dilakukannya pada tahun 2013. Ibu yang selalu antusias bercerita ini juga memproduksi beberapa makanan tanpa monosodium glutamat (MSG), pengawet, pemanis dan perasa buatan. Ibu Susen memproduksi makanan sehat setelah di’curhat’i beberapa kawannya yang kesulitan menemukan makanan sehat saat makan di luar rumah. Ibu Susen lalu berkesimpulan bahwa kalau ingin aman makan makanan sehat berarti makanannya perlu diproduksi sendiri. Maka kemudian Ibu Susen memutuskan untuk membuat makanan sehat.

[PIKIR] Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Oleh: Tarlen Handayani 

Memasak: salah satu jenis hobi
Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.

Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.

Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan, membuang waktu, tenaga, uang dan tidak ada gunanya, karena pekerjaan jauh lebih penting dari kegiatan di waktu luang. Tapi banyak pula yang kemudian justru ketika menekuni hobi, pekerjaan menjadi tidak lagi menarik bahkan seringkali hobi menggantikan pekerjaan. Sebenarnya, tidak harus seekstrem itu. Banyak juga yang kemudian bisa menemukan keseimbangan dari pekerjaan dan hobi di waktu luang. Hobi menjadi penyeimbang, ketika hidup tidak hanya melulu soal pekerjaan.

[MASALAH KITA] Aktivis dan Hobi : Menjawab Panggilan Tubuh dan Jiwa

Oleh: Navita K. Astuti

Membaca - salah satu jenis hobi
Hobi didefinisikan sebagai aktivitas menyenangkan yang dijalani pada waktu senggang. Meski tak sedikit juga yang justru menekuni hobi sebagai profesi utama. Hobi dijalani untuk menjawab suatu panggilan tertentu yang berasal dari jiwa atau tubuh seseorang. Panggilan tersebut dapat kita terjemahkan sebagai kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk merasa rileks, gembira, nyaman dan bebas. Kebutuhan seseorang untuk menjalani hobi layaknya manusia yang membutuhkan asupan oksigen dari udara untuk menyambung hidup mereka. Namun, sifatnya tentu berbeda antara kebutuhan untuk melakukan hobi dengan kebutuhan akan oksigen atau asupan gizi tertentu bagi tubuh. Ketika pada suatu kurun waktu tertentu manusia tidak menjalani hobi, ia tetap hidup dan mampu beraktivitas seperti biasa. Namun, hidup yang dijalani tanpa diwarnai dengan aktivitas hobi sama sekali, terasa kurang lengkap.

Hidup lengkap dan utuh adalah hidup yang seimbang antara pemenuhan hak dan kewajiban. Diri yang rileks, gembira, nyaman adalah kebutuhan tubuh dan jiwa sekaligus hak setiap orang yang dapat dipenuhi dengan kegiatan hobi. Bagaimana upaya pemenuhan kebutuhan tubuh dan jiwa yang dituangkan dalam aktivitas hobi ini ditanggapi dan diperhatikan?

Artikel ini akan menguraikan bagaimana para aktivis menjawab kebutuhan akan hobi. Kiranya apa yang dialami oleh aktivis yang menjadi narasumber dalam artikel ini ketika menjalani hobi dapat menjadi inspirasi bagi diri pembaca dalam menjawab kebutuhan diri masing-masing akan hobi.

[OPINI]: Hobi yang Membebaskan

Oleh: Caroline Najoan

“Hobi kamu apa?”, “Kamu sekarang sedang senang ngapain?”, “Waktu luang kamu pilih diisi dengan apa?” adalah pertanyaan yang sering kita dengar atau lontarkan pada teman yang baru kita kenal. Bisa jadi sekadar lontaran basa-basi, mencari topik pembicaraan netral sebagai pembuka interaksi sosial, atau benar-benar ingin tahu. Pertanyaan yang sama juga kita lontarkan pada diri kita dari waktu ke waktu. Jawabannya pun akan bervariasi, mulai dari melamun hingga mengoleksi mobil mewah. Tak jarang jawabannya adalah “Tidak tahu.” atau “Masih bingung.” Hobi memang selalu asyik untuk ditelaah. Setiap orang senang menekuninya, kadang lebih tekun berhobi daripada bekerja. Beruntunglah mereka yang hobinya juga merupakan pekerjaannya. Uniknya, manusia adalah satu-satunya mahluk yang memilih untuk mempunyai hobi tertentu.

Jadi sebenarnya apa sih hobi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “hobi” adalah kegemaran, kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Wikipedia mengatakan bahwa hobi adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan pada waktu luang untuk menenangkan pikiran seseorang. Rekreasi secara harafiah berarti membuat ulang adalah kegiatan yang dilakukan untuk penyegaran kembali jasmani dan rohani seseorang. Kegiatan ini dilakukan dengan sengaja.

Bila kita berangkat dari kedua definisi ini, maka bisa kita pastikan bahwa hobi adalah kegiatan yang menyenangkan dan mendatangkan manfaat bagi diri kita. Setiap orang akan memilih hobi berdasarkan minat, selera, dan kesenangan masing-masing. Bisa saja seseorang memilih hobi di dalam ruangan atau di alam bebas, hobi yang berkaitan dengan seni atau olah pikir, hobi yang dilakukan sendiri atau bersama kelompok. Hobi bisa dilakukan dengan alat atau tanpa alat. Melukis memerlukan kertas, cat, dan kuas. Ada temanku yang hobinya menyimak pembicaraan penumpang angkot bila ia dalam perjalanan pulang dari tempat kerja. Tingkat ekstrimnya suatu hobi juga bisa menjadi diskusi yang menarik. Hobi mengumpulkan kartu pos tentu tidak seekstrim hobi balap mobil.

[TIPS] Tips Memilih Hobi untuk Aktivis

Oleh: Any Sulistyowati

Kesukaan berkebun bisa dibangun sejak anak-anak
Menurut Wikipedia, hobi adalah kegiatan yang dilakukan secara rutin untuk memberikan kesenangan di waktu luang. Yang termasuk di dalam hobi antara lain adalah mengumpulkan benda-benda koleksi, terlibat dalam kegiatan kreatif, seni, olah raga atau melakukan kesenangan lainnya. Setelah melakukan hobi, seseorang akan mencapai keterampilan terkait dengan hobi tersebut. Banyak orang sudah memiliki hobi sejak masa kanak-kanak. Hobi ini dapat terus berlanjut, berubah seiring dengan semakin variatifnya jenis kegiatan yang diketahui seseorang, atau justru terhenti karena semakin sedikit waktu luang yang dimiliki.

Biasanya memang, makin bertambah usia, semakin sedikit waktu luang yang dimiliki seseorang. Hal ini terus berlanjut sampai pensiun. Ketika itu terjadi, waktu luang menjadi tiba-tiba begitu banyak, sementara mungkin kawan-kawan kita mulai sedikit karena mungkin sudah punya kesibukan sendiri, tinggal di tempat yang jauh atau bahkan sudah meninggal dunia. Pilihan hobi yang dapat dipilih juga makin terbatas, sementara kemampuan kita untuk mempelajari sesuatu yang baru juga sudah mulai berkurang.

[MEDIA] Mengembangkan Hobi dengan Memanfaatkan Media Internet

Oleh: Agustein Okamita 

Para aktivis adalah orang-orang yang sangat sibuk. Kadang kala, karena kesibukannya, banyak di antara mereka lebih memfokuskan diri pada kegiatan aktivismenya ketimbang dirinya sendiri. Padahal, Steven Covey dalam bukunya “Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif” atau “Seven Habits of Highly Effective People”, mengatakan bahwa salah satu kebiasaan manusia yang efektif adalah ‘mengasah gergaji (sharpen the saw)’. Mengasah gergaji artinya menjaga/memelihara dan meningkatkan aset terbesar yang dimiliki – yaitu diri sendiri. Ini berarti memiliki program yang seimbang untuk memperbarui empat area di dalam diri: fisik, sosial/emosional, mental, dan spiritual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Melakukan kegiatan yang menjadi hobi merupakan salah satu cara yang disarankan untuk ‘mengasah gergaji’. Ketika mengerjakan hobi, biasanya kita akan menjadi lebih santai dan gembira. Kondisi santai dan gembira mengurangi rasa stres dan beban di dalam pikiran, yang membantu memperbaiki kondisi mental dan meningkatkan kesehatan emosional kita. Karena itu, sangat baik bagi para aktivis untuk terus mengembangkan hobi dan passion masing-masing. Beberapa hal yang disarankan kepada para aktivis untuk tetap sehat secara emosi dengan cara melakukan hobi antara lain:
  1. Sediakan waktu khusus untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan hobi secara teratur,
  2. Tingkatkan kemampuan atau keterampilan yang berhubungan dengan hobi dengan mempelajarinya lebih dalam, 
  3. Carilah teman-teman yang memiliki hobi yang sama atau bergabunglah dalam sebuah komunitas hobi tersebut, agar Anda lebih terpacu dan bersemangat untuk mengembangkan hobi, 
  4. Manfaatkan media, khususnya internet dan media sosial untuk meningkatkan kemampuan dan saling berbagi dalam kegiatan yang berhubungan dengan hobi tersebut.
Memanfaatkan Media Internet

Djaman sekarang ini, media internet merupakan salah satu alat bantu yang sangat efektif dalam mengembangkan hobi. Jika dulu kita bergantung pada buku-buku yang ada di toko buku atau perpustakaan, atau perlu mengikuti kursus jika ingin menguasai suatu hobi tertentu, sekarang kita bisa mendapatkan banyak informasi dengan memanfaatkan internet.

[JALAN-JALAN] Mengintip Toko Buku Kecil di Kota Bandung

Oleh: Debby Josephine

Rubrik jalan-jalan edisi kali ini akan mengajak kita untuk menemui salah satu toko buku indie di Kota Bandung yang dapat menjadi pilihan destinasi saat hendak menyalurkan hobi, yaitu Tobucil & Klabs. Berdiri sejak 2001, Tobucil hadir dengan tagline: “buku, hobi dan komunitas” Jika kita tarik mundur ke belakang tepatnya pada masa munculnya budaya kreatif di Kota Bandung tahun 90’an, maka kita akan melihat wajah pergerakan independen yang ramai bermunculan. Terlebih pada krisis ekonomi 1998 yang mendorong munculnya pergerakan dan wirausaha kreatif di Kota Bandung, dan ya! embrio Tobucil mulai terbentuk pada masa itu.

Tobucil saat ini
Lahirnya Tobucil pada tahun 2001 merupakan jejak awal munculnya toko buku alternatif di Kota Bandung. Tidak hanya menawarkan buku, Tobucil pun dapat menjadi wadah pergerakan komunitas dengan memberikan ruang-ruang pengembangan diri aktivis sehingga tak heran jika klab-klab tobucil terdengar di mana-mana.

Buku-buku yang ditawarkan oleh Tobucil cukup beragam meskipun kebanyakan buku yang hadir adalah buku-buku tentang seni dan budaya. Apalagi ketika tahun-tahun awal berdiri menurut beberapa sumber banyak ditemukan buku-buku ke-”kiri”-an. Jelas, cukup sulit untuk bertahan dengan idealisme pada masa itu. Masa di mana pergerakan paham “kiri” mendapat “perhatian” lebih dari pemerintah, dan Tobucil merupakan salah satu toko buku yang cukup lestari karena dapat bertahan hingga sekarang.

[RUMAH KAIL] Ayo Minimalkan Sampah! - Belajar dari Cara Penanganan Sampah di Rumah KAIL-

Oleh : Melly Amalia – Koordinator Rumah KAIL

Sampah akan jadi menjijikan dan merusak keindahan bila tidak ditangani secara tepat. Biasanya ini disebabkan karena wadah pembuangannya tercampur antara material organik dan non organik atau tidak disimpan di tempat yang benar. Dalam hierarki penanganan sampah, biasanya kita mengenal istilah 3R (reduce, reuse, recycle). Banyak orang yang masih salah kaprah menerapkan konsep 3R ini dengan‘lompat’ langsung ke tahapan daur ulang (recycle). Padahal, sebaiknya konsep 3R ini dilakukan sesuai urutan prioritas, yaitu :
  1. Reduce - Kurangi sampah dari awal atau dari sumbernya, 
  2. Reuse - Bila terpaksa menghasilkan sampah, gunakan kembali barang tersebut sesuai dengan kebutuhan, dan 
  3. Recycle – Daur ulang sampah, yaitu mengubah sampah yang dihasilkan menjadi barang baru yang dapat dipergunakan lagi.Jadi perlu diingat bahwa recycle merupakan tahap terakhir dalam menangani sampah.
Dalam setiap kegiatan KAIL, Rumah KAIL berusaha memutar aliran material atau meminimalkan material yang dihasilkan. Mulai dari proses pembelian bahan baku, penyajian/kemasannya sampai ke pengolahannya. Meskipun KAIL bukanlah lembaga yang khusus bergerak di bidang lingkungan hidup, penanganan sampah merupakan bentuk kepedulian KAIL untuk berkontribusi dalam usaha pengurangan sampah di bumi serta kampanye hidup berkelanjutan.

Dari hasil identifikasi, sumber sampah dari Rumah KAIL berasal dari aktivitas dapur sehari-hari, konsumsi rapat, serta konsumsi kegiatan Program KAIL. KAIL mencoba menerapkan prinsip penanganan sampah yang pertama yaitu reduce untuk meminimalkan sampah yang dihasilkan.

Sebagai contoh, hal-hal yang biasanya kami lakukan adalah: kami mengingatkan sesama staf KAIL serta menyampaikan kepada peserta kegiatan dan tamu yang datang ke Rumah KAIL untuk tidak membawa makanan/minuman yang menghasilkan sampah. Bila membeli barang atau makanan untuk kegiatan KAIL, kami membawa wadah sendiri (seperti misting, rantang, botol minum) dan tas kain. Saat memesan makanan di warung, wadah makanan/ rantang kami titipkan pada penjual makanan di warung beberapa waktu sebelumnya, sehingga makanan yang dipesan tidak dibungkus menggunakan bungkus kertas,plastik atau kresek. Ketika membeli makanan, kami memilih membeli makanan yang tidak berkemasan, kecuali jika berkemasan daun.

Dalam penyajian konsumsi di Rumah KAIL, anda tidak akan menemukan air minum dalam kemasan gelas atau botol plastik. Kami menyajikan minuman yang kami masak dari air segar pegunungan dengan gelas/ cangkir.

Penyajian makanan dan minuman pada setiap kegiatan di Rumah KAIL
- Mengurangi pemakaian alat dan bahan yang menghasilkan sampah
Bila dengan terpaksa tetap ada sampah yang dihasilkan, maka barang/sampah tersebut tidak langsung kami buang ke tempat sampah, tetapi akan disimpan dan digunakan kembali (reuse) bila sewaktu-waktu diperlukan. Tentu tujuannya untuk memperpanjang umur barang tersebut. Atau kami kumpulkan dan pisahkan material yang masih berfungsi atau bernilai ekonomi, misalnya tas kresek, dus kertas bekas makanan dan kemasan gula kiloan, untuk kemudian diberikan kepada pemulung.