EDITORIAL PRO:AKTIF ONLINE EDISI AGUSTUS 2017

Para pembaca budiman,

 Kembali kita berjumpa dalam Pro:aktif dan kali ini memasuki edisi Agustus 2017 dengan membawa tema “Berjejaring dalam Keberagaman di Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Bulan Agustus bagi bangsa Indonesia selalu menjadi bulan penting karena peringatan hari kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus dan selalu mengumandangkan refleksi perjalanan untuk merengkuh kemerdekaan tersebut dengan susah payah. Refleksi kemerdekaan kali ini kiranya perlu membawa kita semua untuk mengingat bahwa bangsa ini dibentuk dari keberagaman dan telah menjadi identitasnya sejak semula. Menilik perkembangan dinamika di masyarakat akhir-akhir ini yang seolah menjadikan keberagaman sebagai sumber pertentangan, tentu mengundang keprihatinan tersendiri, bagaimana kita dapat mewariskan nilai luhur yang arif dalam menyikapi keberagaman?

Pro:aktif edisi Agustus telah mengumpulkan berbagai tulisan yang kiranya dapat menginspirasi anak-anak bangsa ini untuk merayakan keberagaman sebagai nikmat dan karunia Yang Mahakuasa. Di samping itu, yang paling utama adalah ajakan untuk berjejaring dalam keberagaman yang kiranya akan selalu bisa memantik ide-ide brilian memajukan negeri ini.

Kita akan mengawali edisi kali ini dengan rubrik MASALAH KITA yang diisi oleh Dhitta Puti Sarasvati yang menunjukkan kepada kita perihal dinamika yang dihadapi oleh para aktivis saat berinteraksi dengan sesama aktivis. Selain perbedaan karakter, perbedaan paradigma berpikir dan pandangan politik tidak jarang menyulut perdebatan. Situasi demikian tidak harus membuat kita menjadi tersingkir dari pergaulan dengan sesama aktivis atau bahkan hidup ini menjadi terasa begitu menyesakkan. Perbedaan dalam hidup aktivis tak ubahnya dengan realitas kehidupan lainnya, sehingga cara menghadapinya akan sangat penting untuk membuat hidup yang beragam ini memiliki kekayaannya.

Memasuki rubrik PIKIR dengan penulis Sylvania Hutagalung akan membawa kita pada permenungan menyoal arah masa depan peradaban manusia ke depannya. Memakai kacamata arsitektur, namun tidak terbatas pada dunia kearsitekturan itu sendiri, dimana dimensi pembangunan tidak lagi sebatas pada bangunan fisik semata. Perluasan dimensi pembangunan yang perlu dirambah oleh penggiat arsitektur sudah memasuki aspek sosial kemasyarakatan yang semata menyesuaikan kepada kebutuhan zaman. Keterlibatan komunitas dalam pembangunan tidak lagi sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai subjek yang menuangkan ide di dalamnya. Membawa laporan Biennale tahun 2016 di Venesia sembari mengangkat kondisi dunia arsitektur Indonesia.

Umbu Justin dalam rubrik OPINI mengantarkan para pembaca untuk mengingat kembali jejak sejarah, bagaimana bangsa Indonesia memang sejak semula dibangun oleh keberagaman dan sudah menjadi identitas warga bangsa ini untuk beragam. Walau berbagai tantangan jaman menerpa, terutama dinamika dunia politik yang menjerumuskan bangsa ini pada pertentangan identitas di akar rumput, selayaknya ada yang harus mengingatkan kembali kepada jejak perjuangan merengkuh kemerdekaan agar bangsa ini tetap menjaga keutuhannya. Kebhinnekaan dalam kemerdekaan perlu dikumandangkan lagi agar segenap bangsa Indonesia ini kembali nyaman dalam keberagaman.

Sementara rubrik TIPS mengajak kita untuk merefleksikan manfaat olahraga dalam melebarkan jejaring sosial, sehingga tidak hanya manfaat kesehatan fisik yang didapat. Kukuh Samudra menegaskan kembali bahwa berolahraga tidak hanya memperhatikan aspek fisik semata, namun juga perlu memperhatikan aspek sosialnya dengan melakukannya bersama-sama dalam sebuah komunitas ataupun dalam jejaring pergaulan yang tidak sebatas pada satu jenis olahraga saja.

PROFIL kali ini, Navita Kristi Astuti bercerita tentang organisasi Peace Generation yang secara konsisten berupaya menyebarkan nilai-nilai universal perdamaian seluas-luasnya, terutama melalui pendidikan di sekolah. Organisasi yang berbasis di Bandung ini, didirikan oleh dua insan dari latar kebangsaan yang berbeda, berupaya membuat dunia menjadi lebih damai dengan memunculkan para agen-agen perdamaian di tingkat lokal. Perkenalan ini sekaligus juga memberikan ajakan terbuka untuk berpartisipasi di dalamnya.

Sejenak JALAN-JALAN ke Gedung Indonesia Menggugat yang sarat sejarah perjuangan bangsa Indonesia, karena di gedung ini, salah satu ide kebangsaan dari Bapak Proklamator yakni Ir. Soekarno berkumandang dalam pledoinya, yakni “Indonesia Menggugat”. Reina Ayulia Rosadiana akan menjadi pemandu bagi para pembaca menjelajah ke sudut-sudut ruangan yang ada di sana. Selain itu, para pembaca juga bisa merasakan suasana di dalam Gedung Indonesia Menggugat yang jauh dari gugatan-gugatan kebangsaan karena telah bertransformasi menjadi ruang publik yang menjadi titik temu ide-ide segar dari generasi muda Indonesia.

Fransiska Damarratri menghadirkan film Tabula Rasa dalam rubrik MEDIA kali ini, yang tidak saja menggugah selera makan, melainkan juga menggugah kesadaran kita tentang jalinan keberagaman antar tokoh yang sebetulnya representasi singkat akan identitas hidup ini serta bangsa Indonesia. Keberagaman identitas – baik budaya, logat, bahasa, serta cara berpikir – sebagaimana masakan Minang dalam film tersebut laksana sebuah syarat agar hidup ini semakin nikmat. Analogi perbedaan dalam bumbu-bumbu dan bahan makanan yang diracik sedemikian rupa hingga menghadirkan sensasi kenikmatan di lidah, maka demikian pula kiranya keberagaman dalam hidup.

Pemandu RUMAH KAIL kali ini adalah Any Sulistyowati yang akan mengajak pembaca melihat kebun KAIL yang menerapkan prinsip permakultur. Prinsip ini menekankan keragaman jenis, tidak hanya tanaman namun peran dari makhluk yang ada di dalam kebun agar bisa menjaga kualitas alam di sekitarnya. Tidak hanya soal teknis menanam, melainkan ada isu pemanfaatan ruang agar kebun bisa menjadi tempat bermain, dimana anak-anak sendiri berkenalan dengan kegiatan berkebun pula.
Akhir kata, terbersit harapan agar para pembaca turut menyerap semangat keberagaman yang telah menjadi nafas hidup bangsa ini selama kurang lebih 72 tahun kemerdekaannya.

Salam Bhinneka. Merdeka!

David Ardes Setiady
(Editor)

[PROFIL] PEACE GENERATION : MENYEBARKAN NILAI-NILAI PERDAMAIAN DI DALAM KEBERAGAMAN

Oleh : Navita Kristi Astuti

Sebuah negara berdiri atas keputusan bulat warganya menyatukan diri dan aspirasi di dalam satu kesatuan bangsa, bahasa dan tanah air. Namun, layaknya sebuah keluarga, para anggota saling berbeda sifat dan selera, hal yang sama dihadapi oleh setiap bentuk kesatuan yang menyatakan diri sebagai negara. Negara terdiri dari bermacam-macam sifat dan karakter warganya.

Sifat dan selera yang saling berbeda dari setiap warga dapat menimbulkan gesekan maupun perselisihan apabila tidak dikelola dengan baik. Kita dapat belajar dari pengalaman konflik yang terjadi di Ambon, Poso, Papua, Kalimantan (konflik Dayak-Madura), Aceh maupun Timor Leste. Perbedaan yang ada, baik dari aspek suku, agama, adat istiadat tidak disadari sebagai kekuatan, melainkan telah menjadi bumerang bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Ketika sebuah bangsa dapat menyadari kekuatan dari perbedaan yang ada di antara mereka, maka perbedaan tersebut justru dapat menciptakan energi positif untuk kemajuan negara.

Salah satu dari segelintir komunitas yang memiliki kesadaran untuk merawat dan mempromosikan nilai-nilai perdamaian di dalam keberagaman negara Indonesia adalah Peace Generation (selanjutnya disebut PeaceGen). Didirikan oleh dua orang dengan latar belakang berbeda, Irfan Amalee yang merupakan warga Indonesia dan Eric Lincoln yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, PeaceGen berdiri pada tahun 2007. Kegiatan PeaceGen sehari-hari beralamat di Jalan Suling no. 17, Turangga, Bandung, Jawa Barat.


Pendiri Peace Generation : Irfan Amalee dan Eric Lincoln
Sumber foto : www.peace-generation.org


Fokus Utama : Pendidikan Perdamaian
Sesuai dengan tagline mereka yang tercantum di alamat website www.peace-generation.org , yang berbunyi : To reach peace. Teach Peace. Promoting peace education throughout the globe, PeaceGen menyebarkan nilai-nilai perdamaian di dalam keberagaman melalui pendidikan. Irfan Amalee dan Eric Lincoln memulai misinya dengan membuat modul pendidikan perdamaian. Ide besarnya muncul dari mereka berdua, yang kemudian dikembangkan secara bersama-sama di dalam tim PeaceGen. Urat nadi utama dari modul tersebut adalah pendidikan tentang 12 nilai dasar perdamaian, yaitu : Menerima Diri, Prasangka, Sukuisme, Perbedaan Agama, Perbedaan Jenis Kelamin, Perbedaan Status Ekonomi, Perbedaan Kelompok atau Geng, Memahami Keragaman, Memahami Konflik, Menolak Kekerasan, Mengakui Kesalahan dan Memberi Maaf.

[PIKIR] MASA DEPAN ADA DI KOMUNITAS

Oleh: Sylvania Hutagalung

Menarik atau tidaknya hidup berbanding lurus dengan menarik atau tidaknya pertanyaanmu

Tahun 2016 menjadi tahun istimewa dalam dunia arsitektur, dimana seorang Alejandro Aravena, berturut-turut, tampil dalam dua panggung prestisius arsitektur dunia, yaitu dengan menjadi kurator Venice Architecture Biennale 2016 dan menerima penghargaan Pritzker dalam waktu yang berdekatan. Hal ini cukup mengejutkan karena baru kali ini seorang arsitek yang mempunyai pandangan sosialis mendapat kepercayaan setinggi itu. Apalagi di tengah konteks praktik berarsitektur yang masih didominasi pengaruh neoliberalisme. Dunia arsitektur global seperti mendapat kegairahan baru dengan pertanyaan-pertanyaan kritis Araven yang mencoba “menggoyang” karakter praktik arsitektur hari ini, yang steril dan elit. Tema kuratorialnya pun cukup mengigit dengan mengambil judul, “Reporting from the front.”

Poster utama dari Arsitektur Biennale di Venesia 2016 menceritakan tentang tantangan global praktik arsitektur yang semakin kompleks dan dorongan untuk berkolaborasi lintas batas.

Poster diunduh dari www.labiennale.org/en/architecture/exhibition/
Reporting from the front, atau memberitakan dari garis depan, mempunyai makna bahwa arsitektur, di tengah globalisasi dan keterhubungan nir batas, harus mampu menjadi ‘alat’ yang merekam dan memberitakan kondisi-kondisi nyata yang ada di sekitarnya. Dengan mengambil analogi jurnalistik, arsitek dan kegiatan berarsitekturnya didorong untuk punya keberanian memberitakan, ketajaman dalam mengkritik, juga integritas dalam mengungkapkan fakta dan data. Analogi jurnalistik juga mengandung arti penting, yaitu arsitek menjadi “agen” yang kemudian harus berjejaring untuk bisa melakukan produksi pengetahuan bersama. Hal ini menjadi kunci karena tanpa produksi pengetahuan bersama, kegiatan berjejaring tidak akan memberikan terobosan apapun. Tema kuratorial yang digagas Araven memang banyak dikritik sebagai usaha melebarkan batas arsitektur konvensional. Ilmu arsitektur masih dianggap berada di domain ilmu keteknikan, bukan ilmu sosial atau ilmu budaya. Dengan mendorongnya ke arah ilmu sosial, banyak ahli yang khawatir arsitektur akan kehilangan “giginya”. Aravena juga dicap terlalu ambisius dengan berusaha menjawab tantangan global melalui arsitektur. Seakan arsitektur bisa menjadi pahlawan. Namun, terlepas dari semua pro dan kontra, kita harus mengakui bahwa, inilah, untuk pertama kalinya, perbincangan lintas batas terjadi di atas panggung arsitektur sekelas Venice Biennale.

[MASALAH KITA] MENGHADAPI KEBERAGAMAN SESAMA AKTIVIS

Oleh: Dhitta Puti Sarasvati

Tasya sangat tertarik dengan isu perempuan. Ketertarikannya ini membuatnya bekerja di sebuah LSM yang fokus pada pemberdayaan perempuan, khususnya dalam bidang ekonomi. Sehari-hari Tasya menghabiskan waktunya untuk melatih sekelompok ibu di sebuah kampung untuk menghasilkan produk yang bisa dijual seperti keset dari kain bekas, agenda yang dibuat dari kertas daur ulang, dan sebagainya. Kebetulan, Tasya memperoleh dukungan dari sebuah supermarket retail. Tasya boleh menitipkan karya-karya ibu-ibu di supermarket tersebut. Tasya berasumsi bahwa dengan mendukung ibu-ibu agar memiliki penghasilan sendiri, maka ibu-ibu tersebut akan lebih berdaya.

Suatu hari ada sebuah forum di mana aktivis-aktivis isu perempuan berkumpul. Tasya berkenalan dengan Juwita. Dengan semangatnya Tasya menceritakan apa yang dikerjakannya bersama ibu-ibu di kampung.

Juwita pun menanggapi, “Punya penghasilan tambahan tidak serta merta membuat perempuan berdaya. Saya pernah menemukan kasus di mana perempuan menghasilkan uang lebih banyak dari suaminya. Uangnya diambil, lalu digunakan untuk mabuk-mabukan. Perempuan tetap menderita. Lagi pula, dengan menitipkan produk itu di supermarket, yang diuntungkan adalah supermarket-supermarket itu. Mereka dapat produk dengan biaya murah, lalu dijual dengan harga yang cenderung tinggi. Yang untung? Pemilik modal. Perempuan perlu dibekali pengetahuan yang memungkinkannya melawan sistem patriarkisme dan kapitalisme yang mengekang mereka.” Ilustrasi di atas menggambarkan contoh dua orang aktivis yang merasa bergerak di isu yang sama, tapi sebenarnya berbeda. Walau keduanya sama-sama peduli pada isu pemberdayaan wanita, namun berbeda pandangan mengenai cara untuk membuat mereka lebih berdaya. Hal yang sama bisa terjadi di bidang lain. Ada aktivis pendidikan yang sangat peduli pada pengajaran nilai moral. Baginya, anak harus dibekali dengan kisah-kisah yang mencontohkan kebaikan. Di sisi lain, ada aktivis pendidikan yang merasa anak boleh dibekali dengan bacaan apa saja, yang penting anak diajak berpikir kritis sehingga bisa mengkritisi apapun yang bisa dibaca. Ada aktivis lingkungan yang tidak keberatan memperoleh pendanaan dari lembaga-lembaga internasional untuk kampanye menyelamatkan lingkungan. Di sisi lain, ada aktivis lingkungan yang lebih percaya untuk membangun kekuatan lokal dengan mengajak masyarakat hidup dari apapun yang dimilikinya, meskipun tanpa ‘bantuan luar’.

Dulu, ketika awal menjadi aktivis, dengan lugunya saya pikir semua aktivis sama saja. Yang membedakan hanya ‘fokus isu yang diperjuangkan’. Ada aktivis pendidikan, lingkungan, perempuan, kesehatan, dan banyak lagi. Tujuan yang mau dicapai sama saja. Semua ingin menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik.

Belakangan, saya baru sadar bahwa ‘dunia yang lebih baik’ bagi satu orang bisa sangat berbeda dari ‘dunia yang lebih baik’ menurut orang lain. Ada juga aktivis-aktivis yang punya gambaran serupa tentang ‘dunia yang lebih baik’. Tujuan yang mau dicapai serupa tetapi pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sangat berbeda. Misalnya, ada yang percaya pada peran negara. Sebaliknya, ada yang cenderung mengabaikan peran negara.


Suasana pertemuan peningkatan kapasitas LSM-LSM di Sumba, bulan Mei 2015, yang difasilitasi oleh KAIL bekerjasama dengan HIVOS. Beragam jenis aktivis, beragam tujuan dan cara masing-masing dalam memperjuangkan keberpihakan mereka. Sumber foto : KAIL

Menghadapi aktivis-aktivis yang berbeda tujuan, ideologi ataupun cara, bukanlah hal yang mudah. Sebagai contoh, dari dulu saya tidak bisa menerima penggusuran paksa. Ini berpengaruh pada pilihan politik saya ketika pilkada belakangan ini. Saya tidak setuju dengan calon pemimpin yang melakukan penggusuran paksa tetapi juga tidak percaya dengan calon lainnya. Saya memilih menjadi golput. Beberapa teman aktivis menuduh saya tidak berpihak pada rakyat karena tidak memilih pemimpin yang dianggap bisa membuat Jakarta lebih baik. Terlepas benar atau tidaknya, pilihan politik saya dilakukan dengan sadar. Tapi, mungkin tidak semua orang bisa mengerti.

[OPINI] KE-BHINNEKA-AN DI DALAM BINGKAI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Umbu Justin


"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan."


Pembukaan UUD 1945 menegaskan kemerdekaan sebagai dasar terpenting bagi terbangunnya Bangsa Indonesia. Kata 'kemerdekaan' adalah titik berat dalam setiap paragraf, terus menerus diingatkan dan ditulis berulang agar menjadi catatan bagi seluruh pergerakan kita menuju sebuah negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Gagasan kemerdekaan ini kemudian dimeterai dengan dasar negara, Pancasila, yang pada dasarnya mengandung kedalaman filosofi tentang kemanusiaan universal suatu bangsa Indonesia yang merdeka.

Kemanusiaan yang universal. Sumber foto : KAIL

Menggali Makna Kemanusiaan Universal di Dalam Indonesia Merdeka

Lantas apakah itu suatu kemanusiaan universal yang akan ditumbuhkan dalam Indonesia yang merdeka?

Para Bapak Bangsa, pejuang kemerdekaan dan kaum pergerakan sejak RM Tirto Adhi Soerjo, dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Soetomo dan kawan-kawan dari Boedi Oetomo, sampai kepada para penyusun Pembukaan UUD 1945 adalah para perenung kemanusiaan universal tersebut. Sebelum negara Indonesia lahir melalui proklamasi, sejarah negeri kepulauan ini senantiasa menghujani benak para perintis tersebut dengan riwayat kemanusiaan yang tertindas oleh kolonialisme, intimidasi, intrik kekuasaan, politik kotor adu domba, kerja paksa, dan berbagai cerita yang memberi beban berat bagi bangsa kita. Dari situ tumbuh cita-cita untuk mengubah arah sang sejarah, dari perbudakan menuju kemerdekaan; Para Bapak Bangsa mulai menuliskan masa depan, suatu doa dan pengharapan akan kemanusiaan universal Indonesia yang merdeka.

Kemanusiaan universal Indonesia bukan sekedar definisi atau ketetapan seperti sebuah nama yang tercantum di KTP maupun akta kelahiran, melainkan merupakan pengalaman nyata manusia-manusia yang hidup, bernapas dan berjuang di bumi Indonesia. Kemanusiaan yang demikian lahir dari sejarah yang kaya akan pengalaman dan perenungan, otentik dan berdenyut bersama jatuh bangunnya para pelakon. Itulah rakyat yang sebenarnya, Marhaen, kata Bung Karno, menunjuk pada seorang petani muda berpeluh di tanah Jawa, “Saidjah dan Adinda”, karya Multatuli, “Minke” atau “Kartini” dalam karya Pramoedya, semua yang ditindas oleh permainan politik kaum oportunis, satu rakyat yang disatukan bukan atas dasar apa pun selain penderitaan.

[OPINI] DEWASA DALAM MENYIKAPI INFORMASI

Oleh : Canggih Hawari

Keresahan menjalari indera
Ketika sengketa di mana-mana
Lupa akan kebersamaan
Seakan mengubur rekam historis

Mungkin, persatuan kita
Ada di penghujung tanduk.

Tidak bisa dipungkiri kalau akhir-akhir ini memang kerap terjadi gesekan-gesekan di sekeliling kita, ketika hidup berjejaring dalam satu kesatuan. Indonesia. Padahal usia Negara ini sudah tidak dapat dikatakan muda lagi, tahun ini Negara kita berusia 72 tahun. Tapi bukannya persatuan yang dirasa, melainkan konflik ini dan itu yang dialami. 

Nyatanya memang hal-hal tersebut pasti terjadi, mengingat perbedaan akan selalu ada diantara kita. Kemudian, kemudahan penyebaran informasi dengan adanya media sosial dan keyakinan bahwa haknya untuk berbicara dilindungi oleh undang-undang, yang tidak diikuti dengan kedewasaan kita dalam menggunakannya menyulut berbagai konflik di antara kita.

Pertanyaannya adalah apakah memang perseteruan ini tidak dapat dihindari ? dengan memandang persatuan dan rekam historis bangsa ini, maka hal-hal seperti ini seharusnya dapat dihindari. Kebebasan untuk menyatakan pendapat di sini harus diikuti dengan secara bertanggung jawab. Dan bertanggung jawab di sini berkaitan erat dengan kedewasaan. Sehingga gesekan-gesekan yang terjadi di sekitar kita seharusnya dapat dihindari, karena memang perbedaan akan selalu ada. 

Masyarakat dan informasi. Sumber foto : www.pastiguna.com

Ketidakdewasaan kita dalam berinteraksi dan bermasyarakat yang menurutku menyebabkan gesekan-gesekan seperti ini sangat mungkin terjadi. Kemudahan untuk menekan tombol share di media sosial tanpa menelisik lebih dalam, apakah informasi tersebut benar adanya atau tidak, serta ketidakmampuan kita dalam menempatkan diri ketika melihat informasi tertentu, dan keengganan kita untuk belajar memahami menjadi beberapa penyebab dari keadaan yang ada saat ini. Sekali lagi aku tekankan, ketidakdewasaan kita.

[TIPS] BEROLAHRAGA : MENJAGA KEBUGARAN DAN MEMAHAMI KEBERAGAMAN

Oleh : Kukuh Samudra




Kita telah sepakat bahwa olahraga bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran. Dari tubuh yang sehat, lantas berpengaruh terhadap jiwa yang sehat. Seperti adagium Yunani yang terkenal, “Mens sana in corpore sano” yang artinya, “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”.

Manfaat lain dari olahraga yang tidak banyak orang sadari adalah olahraga dapat memperluas pergaulan. Dengan semakin luas pergaulan, semakin banyak orang yang kita temui dan semakin besar peluang kita bertemu dengan bermacam jenis orang. Dari interaksi dengan beragam jenis manusia itulah yang mendorong kita untuk memahami keberagaman. Bagi teman-teman yang hendak atau baru memulai berolahraga, di bawah ini beberapa tips agar kita mendapatkan manfaat optimal dari olahraga. Baik yang berkaitan dengan kebugaran jasmani, maupun yang berkaitan dengan sosial.

1. Pilih olahraga yang sesuai dengan minatmu

Saat ini berbagai macam olahraga beserta fasilitas telah tersedia. Olahraga tersebut ada yang bersifat individu, kelompok, permainan, atau yang bersifat non-permainan. Beberapa orang lebih gemar olahraga kelompok seperti futsal, tetapi beberapa lebih enjoy melakukan olahraga individu seperti bersepeda atau lari. Olahraga permainan biasanya lebih asyik dilakukan, tetapi kita perlu mencari teman atau lawan tanding yang terkadang susah-susah gampang. Contohnya adalah tenis. Sementara ada juga olahraga yang sifatnya bukan permainan seperti lari atau yoga.

Foto 1 - Lari pagi di GOR Saparua, Bandung (dokumen pribadi)
Kegiatan lari (jogging) dapat dilakukan sendiri maupun berkelompok. Dengan berkelompok, kegiatan lari menjadi sarana mengenal keberagaman serta meningkatkan motivasi untuk menyehatkan raga.

[MEDIA] MENGURAI BERAGAM RASA DI TABULA RASA

Oleh: Fransiska Damarratri

Tahun            : 2014
Durasi           : 107 menit
Sutradara      : Adriyanto Dewo
Produksi       : Lifelike Pictures
            Pemeran        : Dewi Irawan, Jimmy Kobagau,
Yayu Unru, Ozzol Ramdan

“Bawangnya bawang impor. Dia murah tapi hambar. Ah, kalau ini bawang lokal, rasanya tajam. Cium! Hasil dari tanah kita sendiri. Kamu bingung kenapa bawang impor itu lebih murah daripada bawang lokal? Mak juga bingung."

Itulah sepenggal percakapan Mak dan Hans ketika subuh-subuh berbelanja di sebuah pasar kota Jakarta. Hans, berkulit legam dan berambut keriting, sedang memakai kaos berpola celup-ikat warna-warni, yang baru dibeli dari uang saku Mak. Selanjutnya mereka pulang membawa beragam barang. Hans memikul beras di pundaknya. Ia bersikeras tidak mau memanggil becak. “Ah tidak usah Mak! Kita harus hemat,” serunya sembari menyeberang jembatan.

Gambar 2 Hans tergeletak semalaman di atas jembatan penyeberangan kereta. Sumber: tabularasafilm.com

Jembatan seakan menjadi perumpaan visual yang kerap muncul di film Tabula Rasa (2014) besutan Adriyanto Dewo. Jembatan menjadi jalur para karakter menuju pengalaman-pengalaman baru. Hans, yang dimainkan dengan menyentuh dan jenaka oleh aktor dari Wamena, Jimmy Kobogau, beberapa kali beradegan di atas jembatan. Pertama kali, kita menjumpai Hans memanjat pagar jembatan dan hendak melompat menjelang serangkaian kereta commuter yang sedang melaju. Kedua, Hans ternyata terjatuh ke belakang dari percobaan bunuh diri tersebut dan terlelap hingga pagi. Di situ lah Mak dan Uda Natsir menemukannya.

[JALAN-JALAN] GEDUNG INDONESIA MENGGUGAT : RUMAH BAGI SEMUA

Oleh : Reina Ayulia

Berkunjung ke Kota Bandung tak lengkap rasanya apabila tidak beromantisria dengan bangunan bersejarah dan berbagai peristiwa penting di dalamnya yang dapat menumbuhkan kecintaan kita terhadap Indonesia. Banyak sekali peristiwa yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan yang begitu inspiratif dan dapat diaktualisasi ke kehidupan kita dewasa ini. Kota Bandung selalu mengingatkan kita kepada seorang proklamator kemerdekaan Indonesia yang tumbuh dan berkembang di tatar Priangan ini, siapa lagi jika bukan Presiden RI yang pertama, Soekarno.

Pada tahun 1930 terjadi sebuah peristiwa penting yang menjadi nafas baru pergerakan kemerdekaan Indonesia. Empat anak muda Indonesia bernama Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen, dan Soepriadinata diadili di muka pengadilan Landraad di Bandung atas tuduhan yang serius yakni makar, sebuah upaya merobohkan kolonialisme Hindia Belanda yang berkuasa pada masa itu. Soekarno membuat sebuah naskah pledoi yang menggambarkan situasi politik internasional dan akibatnya pada masyarakat Indonesia di bawah penjajahan kolonialisme. Naskah tersebut diberi judul ‘Indonesia Menggugat’, naskah pledoi yang luar biasa hebat dalam analisisnya. Umurnya waktu itu tidak lebih dari 29 tahun, ia tulis dalam sempitnya dinding penjara Banceuy, Bandung untuk ia bacakan di depan para pengadil Belanda.

Gedung ini telah ada sejak tahun 1907 yang berfungsi sebagai tempat tinggal (Hartono, 2006). Pada tahun 1917 atas instruksi pemerintah kolonial Hindia-Belanda rumah tinggal ini beralih fungsi menjadi pengadilan (landraad) hingga Jepang merebut Bandung dari Belanda. Pada masa Kemerdekaan Indonesia gedung ini sempat digunakan dengan berbagai fungsi seperti kantor Palang Merah Indonesia (1947-1949), kantor KPP Pusat (1949-1955), Bagian Keuangan Kantor Pelayanan dan Kas Otonom, Sekretariat Provinsi Jawa Barat (1955-1970) dan Bidang Metrologi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat (1970-2003). Setelah kosong satu tahun kemudian di tahun 2004 dilakukan pemugaran dan selesai tahun 2005 (Hartono, 2006).

Gedung ini berstatus sebagai aset Pemprov Jabar dan merupakan Bangunan Cagar Budaya Kota Bandung yang pengelolaannya di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat (Disbudpar). Atas inisiatif dari sekelompok masyarakat, gedung ini diajukan untuk bisa diaktivasi oleh publik sebagai monumen bersejarah, museum dan ruang publik. Di tahun 2005 ini juga menandai pemberian nama Gedung Indonesia Menggugat (GIM), pemberian nama ini nampaknya untuk tetap menjaga bara semangat perjuangan dan perlawanan atas kesewenang-wenangan.

GIM sendiri terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5, letak gedung yang agak menjorok ke dalam terkadang bisa mengecoh siapapun yang hendak datang namun tak awas pada plang yang terdapat di muka gerbang masuk. Di GIM ada sebuah ruangan yang tata ruangnya disesuaikan dengan saat Soekarno membacakan pledoi, kemudian agak masuk ke dalam ada sebuah ruang mirip aula besar yang sering digunakan untuk diskusi dan berbagai kegiatan lainnya. Sebenarnya jika sedang tidak terburu-buru mengejar agenda diskusi, di kiri-kanan menuju aula ada petikan-petikan pledoi Soekarno, lalu apabila sedikit cermat dalam membaca pledoi kita akan menemukan Soekarno muda gemar baca buku kiri. Sedang di sebelah kanan bangunan terdapat kafetaria kecil untuk sekedar mengisi perut jika jumud dengan diskusi formal di aula atau sekedar ngopi murmer ala sachetan yang bisa menjadi penghangat tukar wacana bersama kawan.

[RUMAH KAIL] KERAGAMAN DI KEBUN KAIL

Oleh : Any Sulistyowati

Sejak tahun lalu KAIL telah mengembangkan halamannya menjadi sebuah kebun. Kebun tersebut berisi beraneka ragam tanaman. Ada tanaman sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, bunga-bungaan dan berbagai pohon kayu. Kebun tersebut dirancang dengan menggunakan prinsip-prinsip Permakultur.

Beragam tanaman di kebun KAIL. Sumber foto : KAIL


Mengapa Permakultur?

Menurut wikipedia, https://en.wikipedia.org/wiki/Permaculture, permakultur adalah sebuah sistem pertanian yang memanfaatkan pola-pola dan bentuk-bentuk yang ada di alam. Pola-pola dan bentuk-bentuk ini kemudian diadaptasi untuk perancangan berbagai sistem yang dibutuhkan manusia, seperti pertanian, pembuatan bangunan, dan bahkan sistem ekonomi. Hasil akhir yang diharapkan dalam jangka panjang adalah sebuah sistem pertanian yang kompleks dengan produksi pangan dan materi yang tinggi tetapi dengan input yang minimal.

Sistem ini mula-mula dikembangkan oleh David Holmgren dan Bill Molisson sejak tahun 1978. Pada awalnya istilah permakultur mengacu pada permanen agrikultur (pertanian permanen), tetapi kemudian berkembang dan meluas menjadi permanen kultur, yang mencakup pula aspek sosial dan ekonomi.
Dalam permakultur digunakan pendekatan cara berpikir sistem yang menyeluruh (https://permacultureprinciples.com/). Pendekatan ini tidak hanya memperhatikan elemen-elemen, tetapi juga sangat menekankan pada hubungan antar elemen. Dengan pendekatan ini diharapkan akan dihasilkan sinergi, yaitu hasil keseluruhannya lebih besar daripada penjumlahan masing-masing bagian-bagian. 
Sistem permakultur dikembangkan dengan menggunakan tiga prinsip utama, yaitu (1) peduli pada bumi/alam, (2) peduli pada sesama manusia, (3) pembagian keuntungan yang adil. Tiga prinsip utama ini kemudian diturunkan menjadi prinsip-prinsip perancangan permakultur yang lebih praktis, dalam bentuk strategi perancangan dan pengelolaan lahan. Strategi-strategi yang digunakan di dalam permakultur sangat bervariasi sesuai dengan kondisi alam dan budaya masing-masing. (https://permacultureprinciples.com/).

Zonasi di kebun KAIL

Salah satu keunikan permakultur adalah adanya sistem zonasi. Sistem zonasi dibuat untuk memaksimalkan hasil dengan minimum upaya pengelolaan. Zonasi dibuat dengan nomor 0 sampai 5, yang didasarkan pada intensitas pengelolaan dan jaraknya dari rumah sebagai pusat pengelolaan permakultur. Semakin jauh dari rumah, semakin besar nomor zonasinya.