Durasi :
107 menit
Sutradara :
Adriyanto Dewo
Produksi : Lifelike Pictures
Pemeran : Dewi Irawan, Jimmy Kobagau,
Yayu Unru, Ozzol
Ramdan
“Bawangnya
bawang impor. Dia murah tapi hambar. Ah, kalau ini bawang lokal, rasanya tajam.
Cium! Hasil dari tanah kita sendiri. Kamu bingung kenapa bawang impor itu lebih
murah daripada bawang lokal? Mak juga bingung."
Itulah sepenggal percakapan Mak dan Hans ketika subuh-subuh berbelanja di
sebuah pasar kota Jakarta. Hans, berkulit legam dan berambut keriting,
sedang memakai kaos berpola celup-ikat warna-warni, yang baru dibeli dari uang
saku Mak. Selanjutnya mereka pulang membawa beragam barang. Hans memikul beras
di pundaknya. Ia bersikeras tidak mau memanggil becak. “Ah tidak usah Mak! Kita
harus hemat,” serunya sembari menyeberang jembatan.
Gambar 2 Hans tergeletak semalaman di atas jembatan penyeberangan kereta. Sumber: tabularasafilm.com |
Jembatan seakan menjadi perumpaan
visual yang kerap muncul di film Tabula Rasa (2014) besutan Adriyanto Dewo.
Jembatan menjadi jalur para karakter menuju pengalaman-pengalaman baru. Hans,
yang dimainkan dengan menyentuh dan jenaka oleh aktor dari Wamena, Jimmy
Kobogau, beberapa kali beradegan di atas jembatan. Pertama kali, kita menjumpai
Hans memanjat pagar jembatan dan hendak melompat menjelang serangkaian kereta commuter yang sedang melaju. Kedua, Hans
ternyata terjatuh ke belakang dari percobaan bunuh diri tersebut dan terlelap
hingga pagi. Di situ lah Mak dan Uda Natsir menemukannya.
Dengan kepala terluka, Hans
dibawa oleh Mak (Dewi Irawan) ke Takana
Juo, rumah makan masakan Padang miliknya. Di sana Mak bekerja sama dengan
Uda Natsir (Ozzol Ramdan) dan Uda Parmanto (Yayu Unru). Ketiganya mengungsikan
diri dari tanah Minang ke Jakarta pada 2009. Gempa meluluhlantakkan desa
mereka. Hanya berbekal ‘delapan tulang’ mereka merintis Takana Juo. Parmanto menjadi juru masak pengeksekusi resep-resep
Mak. Natsir membantu mengurus operasional.
Hans sendiri adalah seorang putra
daerah Serui, Papua, yang mahir bermain sepakbola. Dahulu di panti asuhan
tempatnya tinggal, dialah sang pemimpin doa makan untuk 14 saudara
angkatnya. Namun dia memilih merantau ke
Jakarta setelah seorang agen nasional memuji kepiawaiannya. “Kenapa tidak ke Persipura atau Perssidafon saja?”
tanya mama angkat Hans suatu malam. Hans pun menukas, “Di Jakarta nanti, saya
akan jadi orang hebat.”
Namun nasib tidak baik bagi Hans,
kariernya kandas. Ia menjadi gelandangan yang bertahan hidup dengan memunguti
beras di lantai gudang saudagar. Saat berlari mengejar truk, Hans kalah oleh
anak-anak muda. Kakinya sekarang terseok-seok.
Suatu malam, Hans membuka kotak
sepatu sepakbola di tempat bernaungnya, sebuah kolong berdinding dengan kardus.
Setelahnya kita diajak melihat sebuah memori permainan sepakbola antara Hans
dan rekan-rekannya dari Papua. Mereka bermain di antara tumpukan kontainer yang
identik dengan area pelabuhan. Kaki Hans pun telanjang tanpa alas kaki.
“Gol!!!” teriak mereka. Hans pun pulang dengan senyuman. Sembari mengeringkan
keringat, kita melihat rosario bersalib tergantung di lehernya.
Gambar 3 Hans membantu Mak berbelanja ke pasar setiap harinya.
Sumber: tabularasafilm.com
|
Pasar, kereta, gudang, jalanan,
dan truk. Itulah latar cerita film ini. Jakarta ditampilkan apa adanya, tempat di mana banyak orang dari berbagai
penjuru datang mencari peruntungan. Mak menunjukkan rantai produksi ibukota
dengan berbelanja ke pasar setiap subuh lalu naik becak pulang. Rumah makan mereka sederhana di
pinggiran kota, membumi dengan tungku kayu, gilingan cabai, alat pemarut dan
pemeras santan dari kayu.
Gambar 4 Dapur Takana Juo yang sangat sederhana dan penuh dengan sensasi sensori menjadi ruang interaksi.
Sumber: tabularasafilm.com
|
Serangkaian konflik muncul
setelah mereka semua berinteraksi. Perbedaan
logat dan bahasa tidak membantu. Sepanjang film, tiga karakter Minang
menampilkan dialog bahasa daerahnya yang kental. Akan tetapi intonasi
dan gerak tubuh sering memberi isyarat tentang apa yang sedang dibicarakan.
Gambar 5 Gulai kepala ikan.
(Sumber: erieknjuragan.com: Tabula rasa, makanan adalah itikad baik untuk bertemu.)
|
Di antara
konflik-konflik itulah masakan khas seperti ayam balado, rendang, dendeng
batokok lado hijau, papeda, ikan kuah kuning, gulai kepala ikan berhasil
mengurai rasa dan pikiran para karakter. Momen-momen kebebasan muncul dari aksi
bersama berbagi ataupun meramu masakan. Seringkali penguraian rasa hati muncul
dari proses mengurai rasa di lidah. Adegan penyadaran muncul setelah sesuap-dua
suap tersantap. Proses meracik bahan dan bumbu pun menjadi papan komunikasi
antar tradisi dan pengalaman. Magisnya, semua seakan terjadi karena idealisme
Mak memilih bahan-bahan alami Indonesia.
Gambar 6 Hans dan Mak menikmati ikan kuah kuning dan papeda
buatan Hans.
|
Tidak ada plot cerita yang
berliku-liku. Terkadang ada flashback
yang diberikan. Namun, sedikit sekali yang disajikan tentang latar belakang
Serui dan Papua. Sedangkan gambaran tentang tanah asal Mak dan kawan-kawannya
hanya muncul dari bingkai foto maupun lukisan. Yang kita tahu, daerah tersebut
dilanda gempa tahun 2009. Apabila merujuk kejadian nyata, maka bisa jadi Mak
dan kawan-kawan berasal dari kota Padang atau sekitarnya.
Film ini fokus bercerita tentang
hal-hal aktual dan dekat. Selain cerita latar yang minim, kita lebih banyak
diberikan visual-visual Jakarta sehari-hari yang jauh dari hingar-bingar. Rutinitas kota dimunculkan dari kereta commuter yang rutin lewat saat hari
gelap. “Jam berapa kereta yang paling akhir lewat?” tanya Mak ketika
khawatir terhadap Hans. Setiap kali Takana
Juo tutup, rutinitas bersih-bersih dimulai. Neon temaram berpendar
menerangi ruangan.
Mungkin itulah latar yang sesuai,
tanpa bumbu-bumbu kepalang rumit. Interaksi mereka pun kadang canggung,
layaknya orang-orang yang berbeda namun saling ingin berbagi. Kita sepertinya
diperbolehkan menebak-nebak sesuai dengan rasa hati kita. Yang jelas, mereka
menjadi dekat benar-benar karena mengalami pengalaman berbagi. Meski perbedaan
dan prasangka menjadi ganjalan di awal, pengalaman-pengalaman itu membantu
mereka mengurai rasa yang mereka miliki.
Di akhir cerita kita melihat Hans memakai kaos
biru polos. Kontras dengan bajunya di awal cerita: merah dan compang-camping.
Ia menyusuri jalanan melawan arus motor, mobil, dan truk kota Jakarta.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini