Oleh: M. Sena Luphdika
-Demokrasi ekonomi sebagai prasyarat kesejahteraan yang lebih adil dan merata-
Menurut Anda, ekonomi yang ada saat ini
berpihak pada siapa? Hanya segelintir orang atau seluruh rakyat Indonesia?
Untuk membantu Anda menjawab pertanyaan
di atas, mangga cek film dokumenter
SEXY KILLERS dari watchdoc berikut
ini:
Kira-kira apa jawabannya? Coba
renungkan jawaban Anda sambil iseng mengetik kata-kata berikut di mbah Google:
- Kesenjangan ekonomi, rasio Gini
- Konflik agraria, konflik tambang, konflik sawit
- Kesejahteraan petani, regenerasi petani
- Sosialita mewah, garis kemiskinan
Rasa-rasanya condong ke segelintir ya.
Kenapa seperti itu? Apa penyebabnya?
Mari kita coba telaah dengan sudut pandang kata-kata pamungkas, Demokrasi.
Segelintir
vs Seluruh
Sistem ekonomi Indonesia seharusnya
bukan kapitalisme seperti yang ada saat ini. Kalau tidak percaya, mangga cek saja UUD 1945 Pasal 33 ayat yang mana pun.
Sesuai namanya, kapitalisme, kapital
menjadi hal yang utama dan pertama. Manusia tunduk pada kepentingan dan kemauan
dari manusia lain yang punya modal (terutama uang) lebih besar.
Dengan begitu tingginya posisi uang
dalam kapitalisme, maka tak heran bahwa pihak yang menikmati keuntungan dan
manfaat terbesar dari sistem ini adalah segelintir orang. Mereka adalah
orang-orang yang “terlanjur” punya uang, lalu melahirkan uang baru lagi dengan
cara-cara yang didukung penuh oleh sistem yang ada.
sumber: OXFAM America
Salah satu dasar utama kapitalisme
adalah 1 saham = 1 suara. Siapa yang punya modal besar maka dia yang paling
kuat. Kalau tidak punya modal bagaimana? Ya maaf-maaf saja, cuma bisa jadi
pekerja yang digaji rutin, dengan nilai yang pas-pasan sekadar untuk bertahan
hidup.
Dengan 1 saham = 1 suara tersebut,
segelintir orang memiliki hak dan kuasa yang lebih besar dari mayoritas orang.
Kekayaan dan keuntungan berkumpul kepada mereka-mereka saja, terpusat dan
semakin menggunung.
Tidakkah kita merasa aneh kenapa
segelintir orang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang begitu besar untuk
menentukan hidup orang banyak?
Padahal yang memiliki kepentingan dalam
suatu perusahaan bukan hanya pemegang sahamnya saja. Para pegawainya tentu juga
punya kepentingan. Tanpa para pegawai sang pemegang saham juga tidak akan dapat
apa-apa.
“Lucunya, pegawai baru dianggap penting
ketika mereka mogok kerja.”
Tentu tidak mengherankan kalau sistem
semacam ini melahirkan perilaku manusia yang individualis, serakah, kompetitif
ekstrim, dan egois. Demi profit dan keuntungan segalanya menjadi halal.
Lingkungan? Peduli amat.
Kesejahteraan pegawai? Seminimal mungkin yang penting bisa hidup. Kepentingan
bersama? Di bawah kepentingan pribadiku dong.
“Tidak percaya? Coba cek lagi film SEXY
KILLERS yang sudah ditonton sebelumnya. Tonton juga ASIMETRIS, tentang kelapa
sawit.”
Inikah sistem ekonomi terbaik yang
manusia bisa lahirkan?
Demokrasi
Politik vs Demokrasi Ekonomi
Bulan April ini kita melaksanakan “pesta
demokrasi”. Kita memilih pemimpin tertinggi Indonesia dan anggota-anggota
legislatifnya. Tapi perlu diingat bahwa “pesta” ini baru demokrasi dalam ranah
politik.
Tahukah
Anda bahwa demokrasi tidak hanya berlaku dalam politik, tetapi juga ekonomi?
Tahukah Anda bahwa kata-kata demokrasi
ekonomi tersebut ada di konstitusi kita secara gamblang?
“Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional — UUD 1945 Pasal 33
Ayat 4”
Demokrasi politik yang kita miliki
menurut saya sangat kurang, karena heboh hanya 5 tahun sekali dan ketika
demo-demo ke jalanan. Seakan-akan dalam kehidupan kita sehari-hari tidak ada
urusannya dengan demokrasi.
Sehari-hari kita mengonsumsi bermacam
barang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ekonomi lebih dekat dengan hidup kita,
kenapa tidak kita coba implementasi demokrasi di dalamnya?
Demokrasi Politik sudah berjalan, kalau Demokrasi Ekonomi kapan?
Apalagi pada dasarnya demokrasi politik
tidak akan berpengaruh banyak kalau ekonominya tidak demokratis. Ia hanya akan
melahirkan oligarki (sekelompok penguasa) yang rakus dan egois. Mengedepankan
keinginan dan kepentingan kelompok mereka tanpa memikirkan kepentingan orang
banyak.
Adakah contoh jahatnya? Banyak sebenarnya,
tapi kita coba saja dari hal yang paling mendasar bagi kehidupan kita
sehari-hari, sembako. Sembako itu banyak lintah-nya.
Merekalah yang menyebabkan sebuah
realita yang kontradiktif, yaitu:
Harga di masyarakat begitu tinggi, sedangkan harga di petani sangat murah.
“Masyarakat ingin harga murah, tapi
petani tentu ingin harga tinggi supaya mereka sejahtera. Apa solusinya?”
Sembako
dalam Demokrasi Ekonomi
Karena ini menyangkut hajat hidup orang
banyak, maka hal ini diurus oleh negara melalui Bulog. Tetapi kalau boleh
jujur, Bulog ini dampaknya tidak besar. Malah internal Bulog-nya sendiri seringkali korup.
Hasil search Google dengan kata kunci “Korupsi Bulog” |
Tapi apakah kita hanya bisa
berpangkutangan atas ketidakbecusan Bulog? Kenapa tidak kita coba koordinir
kebutuhan kita secara bersama-sama? Demi kepentingan kita bersama kok, urusan sembako,
gitu.
Kembali pada kontradiksi dagelan
di atas, bagaimana supaya harga sembako murah tapi petani juga sejahtera?
Jawabannya ada pada rantai pasok. Di petani harga mungkin murah, tapi di
pembeli harga sudah naik dengan margin yang tidak sedikit.
Tak heran kalau petani tidak sejahtera
dan orang pada malas jadi petani, karena orang yang mendapatkan keuntungan
utama dalam rantai pasok sembako adalah distributornya. Tengkulak dan
kawan-kawan yang ada di tengah-tengah justru kaya raya, sedangkan petaninya
miskin.
Solusi paling sederhana ya potong
rantai pasok. Hubungkan langsung antara pembeli dengan petani. Tetapi ini sulit
kalau dilakukan sendiri-sendiri, karena yang namanya panen itu jumlahnya besar.
Kalau kita beli secara individu, ya ga bakal mau petaninya. Panen 500 kg
masak dibeli cuma 5 ons per orang kan ya capek.
Tetap perlu ada pihak penengah yang
mengoordinir interaksi antara pembeli dengan petani, supaya kebutuhan pembeli
bisa diagregat sehingga jumlahnya besar dan harganya bisa lebih murah per
kilonya. Sedangkan di sisi petani mereka tidak sibuk mencari dan melayani
ratusan pembeli, cukup satu saja.
“Apa bedanya penengah ini dengan
tengkulak yang ada?”
Sederhana, penengah ini harus dimiliki
bersama oleh pembeli dan petaninya, sehingga penengah ini tidak akan
mengambil margin yang terlalu besar. Kalau pembeli dan petani adalah pemilik,
artinya si penengah bertanggungjawab kepada mereka, bukan pada investor atau
pemilik individu dari usaha penengah/distributor ini.
Karena pembeli dan petani adalah
pemilik yang setara, mereka bisa duduk bareng dan buka-bukaan data.
Petani: “Segini lho hargaku, karena
poin a, b, c.”
Pembeli: “Ah tapi segitu kemahalan, kan ada poin x, y, z.”
Pembeli: “Ah tapi segitu kemahalan, kan ada poin x, y, z.”
Dengan dialog, bisa didapatkan
kesepakatan yang memberikan hasil terbaik bagi pihak-pihak yang terlibat, tanpa
perlu campur tangan pihak luar.
Apa bentuk yang tepat dari penengah
ini? Tidak lain dan tidak bukan ya koperasi. Kalau bentuknya selain
koperasi, bisa terjadi tarik-ulur kepentingan dari pemilik usaha distribusi
yang nilai suaranya berbeda-beda sesuai besaran saham. Dalam koperasi, satu
anggota satu suara, sehingga tidak akan ada orang yang menguasai usaha
distribusi ini melalui saham yang paling besar.
Dengan format koperasi, kepentingan
setiap individu manusia memiliki bobot yang sama, sehingga mau tidak mau seluruh anggota tentu memikirkan kepentingan bersama. Pada
dasarnya sulit untuk egois dalam bentuk koperasi, kecuali kita bisa meyakinkan
kawan kita yang lain.
Hajat
Hidup orang Banyak
Utopis sekali ya, apakah hal ini bisa
dilakukan? Sudah ada contohnya kok di Jepang, namanya Seikatsu Club. Di Korea juga ada, namanya ICOOP.
Apakah hanya sembako yang bisa diatur
dalam format koperasi multipihak milik bersama ini? Oh tidak, tentu semuanya
bisa. Sebaiknya, ketika suatu hal terkait dengan hajat hidup orang banyak, dia
dikelola dalam format koperasi multipihak (Multi-Stakeholder Cooperative).
(Tautan artikel https://ccednet-rcdec.ca/en/toolbox/solidarity-business-model-multi-stakeholder-cooperatives )
Hajat hidup orang banyak itu contohnya
air, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan lain-lain. Kita bisa bangun koperasi untuk
masing-masing bidang tersebut yang isinya lengkap secara rantai nilai dari awal
hingga akhir. Dengan begitu, semua pihak yang terlibat di dalamnya bisa
menentukan keputusan dan kebijakan ekonomi secara bersama-sama.
Kesehatan
Kita perlu membangun jaringan fasilitas kesehatan (faskes) yang akan memberikan pelayanan terbaik meski pasien menggunakan asuransi BPJS. Jaringan ini juga harus memberikan penghidupan yang layak pada para dokter, perawat, dan tenaga medis yang bekerja di dalamnya. Jika perlu juga kita buat asuransi kesehatan milik kita bersama.
Kita perlu membangun jaringan fasilitas kesehatan (faskes) yang akan memberikan pelayanan terbaik meski pasien menggunakan asuransi BPJS. Jaringan ini juga harus memberikan penghidupan yang layak pada para dokter, perawat, dan tenaga medis yang bekerja di dalamnya. Jika perlu juga kita buat asuransi kesehatan milik kita bersama.
Pendidikan
Kita tentu paham seberapa bobroknya pendidikan di Indonesia. Rendahnya gaji guru, rendahnya tingkat kelulusan, buruknya kualitas lulusan, tingginya angka pengangguran, mereka adalah segelintir dari penanda bahwa sistem pendidikan kita remuk-redam.
Kita tentu paham seberapa bobroknya pendidikan di Indonesia. Rendahnya gaji guru, rendahnya tingkat kelulusan, buruknya kualitas lulusan, tingginya angka pengangguran, mereka adalah segelintir dari penanda bahwa sistem pendidikan kita remuk-redam.
Kalau memang kita sepakat bahwa
mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kepentingan bersama, mari kita buat
koperasi terkait pendidikan yang dimiliki bersama-sama. Murid, orang tua, guru,
dan profesi pendukung lain yang terkait erat dengan sekolah dan universitas
adalah pemiliknya. Kita duduk bareng dan buat sedemikian rupa sehingga
pendidikan yang terbaik bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat sebagai
hak asasi.
Karena sekali lagi, ekonomi itu untuk
segelintir saja atau untuk semua? Kalau kita semua ingin maju sebagai sebuah
bangsa, ya kita bergerak bersama untuk itu. Jangan menunggu dan menyerahkan
takdir kita pada sekelompok orang yang terlanjur menguasai kehidupan
kita.
Ambil dan kelola bersama-sama.
Kesenjangan ekonomi adalah masalah yang
buat saya paling pelik saat ini. Kemiskinan saja itu sudah masalah, apalagi
kemiskinan yang bersamaan dengan kekayaan yang begitu jauhnya. Kemiskinan
tersebut akan menekan mental, tidak hanya masalah material.
“Bayangkan saja bagaimana rasanya ketika
makan sehari-hari saja susah, tetapi di sisi lain kita tahu ada orang yang
mampu dan mau membeli baju mewah seharga biaya hidup kita selama 5 tahun?”
Solusinya jelas bukan bantuan-bantuan
langsung yang tidak bermartabat dan membuat masyarakat ketergantungan
itu.
Ekonomi seluruh lapisan masyarakat
harus mandiri. Mandiri bukan berarti sendiri-sendiri, tapi tidak bergantung
pada pihak-pihak lain yang tidak bisa dikendalikan dan hanya memikirkan
keuntungan mereka sendiri.
Koperasi sudah diletakkan sebagai dasar
demokrasi ekonomi di Indonesia dari zaman dahulu kala. Mari kita bangkitkan
kodratnya sebagai sistem ekonomi utama di tanah air kita ini.
Sudah saatnya kita bergerak secara
gotong-royong, kolektif, bersama-sama. Supaya kemajuan dan keuntungan ekonomi
bisa dinikmati oleh semua, tidak hanya mereka yang di atas sana.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini