Pendahuluan
Sekarang, saya tidak perlu lagi khawatir soal kekurangan makanan di
malam hari. Cukup pilih beragam menu di aplikasi gawai pintar saya, dan dalam
15-30 menit, seseorang akan mengetuk rumah saya membawa sebungkus makanan.
Tidak perlu keluar uang tunai, karena semua pembayaran sudah dilakukan di
aplikasi pintar saya. Saya juga tidak perlu khawatir saat berkelana seorang
diri ke daerah antah berantah. Tanyakan saja pada Google Maps, dan dia akan
memberitahukan beragam alternatif jalan untuk ditempuh, termasuk jalan-jalan
tikus, beserta estimasi waktu tempuhnya.
Ini jelas belum seberapa. Petani di AS, Australia atau Eropa sana
bekerja laiknya manajer kantor, mengendalikan semua aspek pertanian dari
komputer pintarnya di ruang kantornya yang sempit. Sensor mendeteksi kadar air
tanah dan kelembaban udara, misalnya, dan menginstruksikan sprinkler untuk menyemprot air secara otomatis apabila dianggap
terlalu kering. Pestisida dan herbisida sudah tidak diperlukan lagi, karena
setiap hama dan gulma dapat dideteksi oleh sensor dan ditembak menggunakan
laser. Di peternakan, setiap ekor domba
yang digencarkan di lahan memiliki tag
geospasial di telinganya yang sinyalnya ditangkap oleh satelit, sehingga
perilaku domba yang sedikit berbeda saja dari gerombolannya dapat dianggap
sebagai kelainan. Pesawat tanpa awak kemudian akan melihat lebih jelas apa yang
terjadi dan melaporkan temuan lapangan melalui foto atau video ke sang manajer.
Tersadar untuk bergerak, sang manajer memasukkan koordinat si domba ke motor
ATV-nya, dan motor tersebut akan membawa petani untuk mengunjungi ternak
tersebut dan memberi perlakuan[1].
Menyongsong revolusi
industri 4.0
Yang kita saksikan saat ini adalah apa yang disebut revolusi industri
4.0, era yang (katanya) ditandai dengan perubahan di berbagai sektor kehidupan,
dimana teknologi komputasi, sistem informasi, robotik, bioteknologi, dan
nanoteknologi berjalin erat dalam keseharian kita. Kita menghadapi era yang
(katanya lagi) akan mengubah cara kita berpikir, merasakan, bergerak dan hidup.
Kita menyambut revolusi industri 4.0 layaknya rakyat jelata bersorak menyambut
pahlawan perang. Ini adalah solusi bagi semua permasalahan dunia, katanya.
Bayangkan saja, di saat diskursus tentang revolusi hijau, kerusakan lingkungan,
deforestasi, atau pangan beresiko turunan GMO berkumandang, teknologi dalam industri
4.0 menawarkan narasi alternatif: Bertani bisa lebih ramah lingkungan tanpa
pestisida dan pupuk sintetis berlebih apabila kita menerapkan smart atau precision farming, sistem monitoring
pintar berbasis satelit bisa dipakai untuk mengidentifikasi titik-titik api dan
mencegah kebakaran hutan, kita bisa hidup lebih sehat tanpa obat-obatan kimia
apabila kita bisa memonitor denyut jantung, kadar gula atau kolesterol secara
terotomasi, atau bahkan memetakan setiap gen di DNA kita untuk memastikan kalau
kita tidak punya penyakit turunan berbahaya. Semuanya jadi lebih sehat, alami,
dan ramah lingkungan; semuanya, tentunya, kecuali teknologi itu sendiri.
Era industri 4.0 |
Tapi, apa sih revolusi industri 4.0 itu? Dan ke mana perginya revolusi industri yang lain? Kejutannya,
tidak ada yang benar-benar bisa menjawab dengan pasti. Adalah Angela Merkel,
Konselor Jerman, yang di tahun 2011 dihadapkan pada tantangan pembangunan
industri di Eropa, dan Jerman memiliki dana besar untuk memfasilitasi itu.
Beberapa pemikir menawarkan gimmick
yang menarik: revolusi industri 4.0 adalah the
next big thing di industri, dalih mereka. Mereka membandingkannya dengan
tahap revolusi industri pertama yang bertumpu pada mesin uap dan batubara,
revolusi industri kedua yang dicirikan oleh assembly
line gaya pabrik mobil Ford (yang selanjutnya dikenal dengan Fordism) untuk
produksi massal, revolusi industri ketiga pada sistem otomasi di pabrik-pabrik
besar, menggantikan buruh pabrik dengan mesin-mesin industri, dan revolusi
industri 4.0 dengan semua yang berhubungan dengan komputasi, internet, big data, dan (sekali lagi) internet! Dana
besar pun digulirkan ke universitas-universitas dan lembaga penelitian untuk
semua bentuk penelitian yang berhubungan dengan “komputer dan internet”, atau
bahasa kekiniannya, Internet of Things
(IoT). Amerika Serikat, walau berjalan di atas langkah yang sedikit berbeda
(karena Silicon Valley dan sektor swasta lebih dulu merajai industri 4.0), pun
bermuara ke sungai yang sama.
Hanya dalam waktu kurang dari satu dasawarsa, kita sudah bisa
menyaksikan gaung industri 4.0 di hampir seluruh penjuru dunia, termasuk
Indonesia, yang dengan tegapnya menjadi pasar bagi ratusan platform startup digital yang mencakup sektor-sektor penting: perdagangan,
pertanian, kehutanan, pendidikan, kesehatan, tata kota, pariwisata dan
lingkungan hidup. A.T. Kearney, Lembaga riset ekonomi internasional,
menunjukkan bahwa di tahun 2017, pertumbuhan investasi startup digital meningkat hingga 68 kali lipat dalam waktu lima
tahun, dengan total investasi senilai 3 milyar US Dollar di lebih dari 2000 startup digital di Indonesia saja.
Hal ini sejalan dengan pertumbuhan pengguna internet yang mencapai 143 juta
orang lebih (JakartaGlobe, Februari 2018). Di kampus saya saja, setiap program
studi diminta untuk bisa menyisipkan kata kunci seperti Big Data dan Artifical
Intelligence di dalam kurikulumnya. Jadi kini kami punya jargon-jargon seperti smart farming, smart city, smart classroom,
smart politics, smart architecture, dan berbagai smart lainnya.
Sebuah ilusi?
Nyatanya, seperti diprediksi, revolusi industri 4.0 memang mengubah
banyak aspek dalam kehidupan kita. Saya jadi lebih peka terhadap kesehatan
saya; saya gelisah kalau hari ini belum berjalan 10.000 langkah dalam catatan
fitbit saya. Hubungan saya dengan teman-teman berubah karena tetiba orang yang saya
pikir saya kenal bersuara tentang hal yang sama sekali asing di akun
Facebooknya. Saya sekarang lebih mementingkan berapa likes yang saya terima hari ini ketimbang berapa banyak pekerjaan
yang saya selesaikan. Di tengah realitas revolusi industri 4.0 sekarang ini,
kita juga perlu sadar bahwa ada lebih banyak lagi hal yang tersembunyi di balik
semua hal yang berbau digital dan internet. Revolusi industri 4.0, saya boleh
bilang, adalah realita dan juga ilusi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ilusi (n) sebagai “pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan”.
Cambridge Dictionary menawarkan dua pengertian, “an idea or belief that is not true” atau “something that is not really what it seems to be”. Pada ilusi, apa
yang kita tangkap di indera kita belum tentu apa yang sebenarnya. Hal ini
berarti bahwa ada sesuatu yang lebih besar lagi dari apa yang kita pahami
tentang satu realita tersebut. Ilusi berakar pada ketidaksadaran kita pada
realita. Kita mempersepsikan bahwa ilusi adalah realita itu sendiri. Erich
Fromm, seorang sosiolog/psikolog asal Jerman, di dalam bukunya Beyond the Chains of Illusion,
memaparkan bahwa saat kita menangkap ilusi sebagai realita, kita akan cenderung
terjerat dalam ilusi tersebut. Bayangkan film the Matrix, di mana para penghuninya menikmati hidup layaknya itu
sebuah realita – sampai akhirnya mereka memilih pil merah!
Film Matrix |
Lalu, apa hubungan
ilusi dengan revolusi industri 4.0? Saya coba bahas setidaknya tiga hal yang
mungkin bisa membongkar ilusi industri 4.0:
Pertama, kita berbicara tentang ekologi. Industri 4.0 dicirikan oleh sistem
komputasi dan internet nirkabel. Kita seringkali menganggap sepele hal ini.
Tapi di balik kenirkabelan 4.0, terdapat infrastruktur fisik yang jauh lebih
kompleks. Untuk setiap titik geografis di mana Anda bisa menikmati sajian 4G,
terdapat infrastruktur besar seperti menara BTS, ruang penyimpanan data (server),
dan jutaan pekerja yang menghasilkan handheld
device Anda. Studi yang dilakukan oleh Costenaro dan Duer (2012) melaporkan
bahwa di dalam setiap megabyte data
yang dikirimkan, terdapat megawatts energi yang dikeluarkan. Katanya, untuk
setiap GB data, dibutuhkan sekitar 5 kWh energi listrik. Sekarang kita lakukan
sedikit perhitungan. Data A.T Kearney (2017) menyebutkan bahwa di Indonesia,
terdapat sekira 150 juta orang yang terhubung dengan internet melalui gawainya.
Dengan mengasumsikan saja bahwa setiap orang menggunakan 5 GB data per bulan,
hal ini berarti bahwa setiap bulannya kita sudah menghabiskan sebesar lebih
dari Rp. 5 triliun untuk menyelami dunia digital. Masalahnya, 62% dari energi (dan biaya) yang
dikeluarkan ditanggung bukan oleh pengguna komputer atau gawai, tapi oleh pusat
data dan saluran distribusi. Artinya, kita menemui kondisi seperti ‘tragedy of the common’, dimana karena
terdapat lebih dari Rp. 3 triliun/bulan beban biaya energi yang tidak
ditanggung oleh pemakai (eksternalitas), porsi ini menjadi common property yang terboroskan.
Sejalan dengan paparan energi di atas, perubahan gaya hidup akibat
industri 4.0 tidak sepenuhnya mengurangi dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Sebut saja begini: sebelum e-commerce
berkembang, saya harus berpikir dua kali untuk belanja. Ini tidak hanya karena
saya mempertimbangkan pengeluaran saya bulan ini, tapi juga karena upaya yang
dibutuhkan untuk berbelanja (keluar rumah, naik kendaraan, mengantre di kassa
pembayaran) cukup menjadi penghambat gairah belanja saya. Kini, ketika
teknologi membuat semuanya lebih efisien, kita tidak lagi memiliki mental barrier tersebut. Dalam konteks ini,
efisiensi mendorong lebih tingginya perilaku konsumerisme. Tapi, apakah beban
lingkungan aktivitas-aktivitas ini menjadi berkurang? Pada kenyataannya, arus
pengiriman barang (melalui jasa kurir) malah semakin tinggi. Ojek online berkontribusi terhadap kemacetan
jalan raya. Apabila kita hanya menghitung biaya yang tampak, jelas
kesimpulannya adalah sistem 4.0 ini lebih efisien. Tapi kalau kita
menginternalisasi semua eksternalitas lingkungan, saya curiga beban biaya
industri 4.0 akan jadi lebih tinggi.
Kedua, kita berbicara tentang masyarakat. Saya kembali merujuk satu serial TV
berjudul Persons of Interest, yang
bercerita tentang sebuah program di supercomputer yang memiliki algoritma
kompleks berdasarkan data pribadi setiap orang (profil media sosial, data jaminan
sosial, rekening Bank, catatan kesehatan) dan memprediksi apakah seseorang
berpotensi menjadi ancaman bagi negara. Terlalu dramatis dan berlebihan memang,
tapi tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita sedikit banyak bergerak ke
arah itu. Baru-baru ini, misalnya, diberitakan AI yang bisa memodelkan dan memprediksi kapan
seseorang akan meninggal dunia. Big data
menjadikan manusia sebagai angka dan pola yang digunakan untuk kepentingan
pemilik modal (atau juga pemerintah).
Gilles Deleuze, seorang filsuf ternama dari Perancis, menamakan
masyarakat kita saat ini sebagai society
of control, yang diatur, diawasi dan dikendalikan oleh kekuatan yang
tersebar di masyarakat itu sendiri. Sebuah ramalan jitu dari tulisan yang
disusunnya di tahun 1991, Deleuze memprediksi bahwa kekuatan untuk
mendisiplinkan masyarakat tidak lagi terletak di tangan pemerintah. Menurut
Deleuze, semua orang mengawasi orang lain, dan nantinya kita semua diawasi oleh
perusahaan yang memiliki akses terhadap Big Data tersebut (sebut saja:
Facebook). Hal yang mengikuti adalah bahwa informasi menjadi begitu banyak dan
mudah diakses, tantangan masyarakat saat ini bukan lagi mencari informasi di
ruang kosong, tapi mencari informasi yang tepat di antara milyaran data yang
tidak relevan. Karena kita selalu ditawari dengan informasi (berharga dan
tidak) di layar gawai kita, cara yang paling efektif untuk menyampaikan
informasi adalah dengan membuat kita mau menoleh. Era ini yang kemudian dikenal
dengan era ekonomi perhatian (attention
economy). Masyarakat tidak butuh berita yang benar atau akurat, tapi berita
yang bisa menangkap perhatian mereka. Konspirasi di balik peristiwa 911, kisah
dramatis orangutan yang ditembaki dengan senapan, plastik yang terperangkap di
perut bangkai paus yang terdampar di pantai – semua lebih cepat menarik
perhatian kita dibandingkan pengetahuan yang mendasari itu (bioakumulasi,
deforestasi, atau konflik). Tidak salah mungkin, apabila kita bisa mengemas
pesan yang baik dengan catchphrase
yang unik. Tapi yang saya khawatirkan adalah sebaliknya; ambil saja Presiden
Amerika Serikat Donald Trump yang mengeluarkan beratus cuitan di Twitter, tak
peduli apa isinya, lalu dengan santainya menjawab, “I got your attention, didn’t I?”
Penutup
Terakhir, hal yang paling menjadi ilusi di Industri 4.0 adalah, bahwa
sebagian besar masyarakat dunia, mereka yang tidak memiliki akses terhadap
semua infrastruktur canggih ini, pada kenyataannya menjalani business as usual. Studi yang kami
lakukan tentang dampak digitalisasi pertanian terhadap petani gurem sejauh ini menunjukkan bahwa industri 4.0
tidak sekuat itu memberi pengaruh positif. Banyak petani tidak memiliki atau
bisa mengoperasikan gawai pintar, dan kalaupun punya, untuk apa? Ekonomi yang beredar mengelilingi mereka
adalah ekonomi klasik yang melibatkan elite desa, bandar, tengkulak, rentenir
dan ijon. Masuknya anak-anak muda untuk terlibat membantu para petani, bagi
beberapa, tidak memberikan solusi, tapi justru menambah masalah baru. Rantai
pasok bertambah panjang. Peran ijon digantikan oleh para startup ini. Kata sebagian, ijon mungkin masih lebih baik, karena
toh mereka adalah juga warga lokal yang memiliki kedekatan psikologis, yang
selalu bisa dimintai pinjaman untuk anak petani yang sakit atau akan menikah.
Sama halnya di kota, dimana masyarakat miskin akan menjadi orang-orang terakhir
yang belanja di pasar dan menaiki angkot menyusuri kota, kali ini dengan
kepadatan lalulintas yang lebih dahsyat.
Saya bukan anti-pembangunan dan anti-teknologi. Menurut saya, peradaban
akan selalu berkembang dalam laju yang kita tidak pernah bisa kita perkirakan (lagipula, siapa sangka
teknologi yang diimpikan di Back to the
Future bisa terwujud juga di
masa kini?). Meskipun demikian, kita harus sadar bahwa ilusi itu ada, dan
menjadi panggilan kita untuk lepas (dan melepaskan yang lain) dari jeratan
ilusi itu. Hanya dengan begitu maka kita akan bisa melihat segala kemajuan
zaman ini dengan lebih bijak. Pada akhirnya, penting untuk diingat bahwa
teknologi hanyalah perantara – yang bisa memecahkan masalah kemanusiaan
bukanlah teknologi, tapi manusia itu sendiri.
Rujukan:
Costenaro, D., & Duer, A. (2012, August).
The megawatts behind your megabytes: going from data-center to desktop.
In ACEEE Summer Study on Energy Efficiency in Buildings.
Deleuze, G. (1995). Postscript on control
societies. Negotiations: 1972–1990, 177-82.
Fromm, E. (2001). Beyond the chains of
illusion: My encounter with Marx and Freud (Vol. 780). A&C Black.
Rujukan film:
The
Matrix Trilogy (film layar lebar)
Persons
of Interest (serial TV)
Back
to the Future: Trilogy (film layar lebar)
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini