Editorial Edisi 4

Kehidupan seorang aktivis selalu menjadi topik yang menarik untuk didiskusikan, baik dalam hal kehidupan pribadinya, kehidupan aktivitasnya, kehidupan sosialnya, maupun dalam hal kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya. Dalam Pro:aktif kali ini kami secara khusus mengangkat tema seputar aktivis dan kebutuhan-kebutuhan dasarnya.

Tulisan-tulisan yang dapat dinikmati dalam edisi kali ini antara lain Bagaimana Melakukan Proses Daur Ulang untuk Penggunaan Popok Sekali Pakai, dapat Anda nikmati dalam rubrik Tips; rubrik MEDIA kali ini menyajikan dua buah film dokumenter. Pertama, sebuah resensi film bertajuk Membunuh Hari (Killing the Days) yakni sebuah film yang menggambarkan dinamika persoalan penggusuran yang dialami oleh warga Teluk Gong di Jakarta. Kedua, anda dapat menikmati sebuah film dokumenter berjudul Roda Rakyat (People’s Wheels) sebuah film yang menggambarkan kerasnya perjuangan kehidupan seorang tukang becak. Sementara dalam rubrik PIKIR kali ini menyajikan Neoliberalisme: Ketika Uang Makin Digdaya dan untuk rubrik masalah kita, dibagikan refleksi hidup seorang aktivis, berjudul Tulang rusuk yang hilang? Rubrik Profil kali ini mengangkat Munawiyah: kisah perjuangan seorang petani perempuan yang mengalami berbagai macam bentuk penindasan, dan itu pula yang kemudian menggerakkannya untuk menjadi salah satu dari sekian aktivis perempuan yang secara konsisten menentang berbagai bentuk penindasan.

[PROFIL] Munawiyah: Sosok Petani Perempuan

Pada pertemuan La Via Campesina (perkumpulan petani) Asia di Padang, 7 Mei 2004, Kail berkesempatan menghadirinya. Dari para tokoh petani se-Asia yang hadir di sana, adalah para mitra dari Indonesia. Satu diantaranya, dan satu-satunya perempuan adalah Munawiyah, seorang perempuan petani dari Pidie, Aceh. Ia adalah seorang petani perempuan yang sekaligus adalah aktivis. Saat ini ia dipercaya menjadi ketua PERMATA (Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh).

Sosok dari profil kita kali ini menarik untuk disimak bagaimana perjalanan hidupnya dari seorang petani yang menjadi korban, kemudian malah menjadi aktivis petani dan perempuan. Perjuangan ini tidak mudah karena harus berhadapan budaya, kekuasaan negara dan kapital.
Bahkan nyawa sering kali jadi taruhannya. Bagaimana ia mampu bertahan dalam visi misinya ini? Bagaimana sebagai aktivis ia bertahan hidup dalam kesehariannya? Dalam diri Munawiyah, kita bisa menemukan sebuah semangat radikalisme yang bergabung dengan kesederhanaan.

Berikut adalah cuplikan wawancara kami (H) dengan Munawiyah (M).
H : Sekarang profesi Muna apa?
M : Karena saya sudah sering di lapangan mengorganisir masyarakat, turun ke petani-petani yang korban, tidak mesti petani ya, masyarakat yang menjadi korban, yang menjauh di kita, ya…kita mendampingi mereka sejauh kemampuan saya.

[PIKIR] Neoliberalisme Ketika uang makin digdaya …

“… neo-liberalisme tidaklah alamiah ... bisnis dan pasar memang punya tempat, tetapi tempat itu tidak bisa menjajah seluruh ruang hidup keberadaan manusia…”
—Susan George, dalam A Short History of Neoliberalism
pada Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Maret, 1999
Alkisah seorang perempuan karir bernama Yuni, asal Bandung, 29 tahun. Karena ingin selalu menjaga penampilannya, ia menuruti apapun kata iklan agar senantiasa tampil cantik, dengan membeli krim kulit yang mengandung vitamin E sebagai anti-ageing atau anti-penuaan karena sifatnya yang anti-oksidan sehingga kulit tetap halus dan shampoo yang juga diperkaya dengan vitamin E agar rambut makin subur. Sepanjang hari dan malam ia oleskan krim itu. Ia juga rajin keramas. Sebulan lebih, kulitnya tetap keriput di sini-sana, tak juga bertambah halus, dan rambutnya tetap kering serta tak subur. Ia pun ke dokter dan terpana mendengar jawaban jujur sang dokter itu: vitamin E, atau d-alfa tokoferol, hanya bisa diserap tubuh lewat pencernaan, bukan kulit, kulit kepala, apalagi rambut[1].
Kasihan Yuni. Demikian juga dengan ribuan atau jutaan Yuni yang lain di muka bumi ini.

[MASALAH KITA] Tulang rusuk yang hilang? Refleksi hidup bersama seorang aktivis

Kami, tidak pernah bercita-cita jadi aktivis, tapi melihat kondisi yang ada di sini, kami terpanggil untuk itu. Pada akhirnya, teman-teman jugalah yang menyandangkan gelar aktivis itu ke bahu kami”.
(Seorang aktivis mahasiswa, Bandung, 1999)
Kami baru menikah bulan Februari yang lalu, pada saat dunia merayakan hari kasih sayang. Sebuah perhelatan sederhana namun meriah di halaman rumah orangtua saya menandai mulainya status saya sebagai seorang istri. Namun tak hanya itu. Istri dari seorang aktivis. Usai hingar-bingar perhelatan, mulailah kami menapaki hidup. Kami tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota Solo yang uang mukanya saja (bukan kreditnya) dicicil 13 kali oleh suami saya. Maklum, namanya juga aktivis, walau sudah lulus S1 sejak 1994, mana bisa membayar uang muka sekian belas juta sekaligus. Rumah ini, ketika Bapak saya berkunjung, diberi sebutan mewah-mabur, artinya, mepet sawah, madhep kuburan (dekat sawah dan menghadap kuburan). Geli juga, tapi itu sebutan yang tepat.

[MEDIA] Sinopsis Film: RODA RAKYAT


Pimpinan Produksi: J.Sudrijanta
Cameraperson/Editor: Adeline M.T.
Editing operator: Hendra
Produksi: Minima, 2003
Media: Mini DV, VCD, DVD
Bahasa : Indonesia dengan subjudul dalam bahasa Inggris.
Durasi: 43 menit




Sebuah film dokumenter mengenai mantan pengemudi becak dan usahanya untuk bertahan hidup di Jakarta. Film ini mengambil lokasi di ‘Teater Kecil’ Taman Ismail Marzuki oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Cinema Society dan dalam beberapa event/kejadian lainnya.

Untuk Mamat, becak adalah lebih dari sekedar alat untuk bekerja. Ia jatuh ke dalam lembah kemiskinan yang makin mendalam sejak satu-satunya harta yang dimilikinya disita oleh Pemerintah DKI Jakarta. Bersama dengan rekan-rekannya para pengemudi becak, mereka menuntut dan memperjuangkan hak mereka untuk tetap bekerja. Becak juga lebih dari sekedar alat transportasi. Becak merupakan sebuah harapan tentang masa depan kota yang bebas polusi. Sebagaimana roda terus berputar, mereka terus berjuang. Disatukan oleh harapan dan semangat yang sama: Rakyat harus menang!

[MEDIA] Resensi Film: Membunuh Hari


Judul : Membunuh Hari (Killing the Days)
Tahun : 2002
Produksi : Institut Sosial Jakarta & Minima, 2002
Durasi : 31’26”
Direktur/Produser : J.Sudrijanta
Cameraperson : Adeline M.T.
Editor : Adeline M.T., Hendar Putranto
Editing operator : Hendra
Media : MiniDV, VCD, DVD
Film dokumenter yang dipersembahkan oleh Institut Sosial Jakarta ini mengajak kita untuk melihat secara langsung dan turut merasakan apa saja yang dialami oleh sebagian korban penggusuran di Teluk Gong, Jakarta.

Cerita diawali dengan kisah yang membawa mereka hingga tinggal di daerah tersebut. Sesungguhnya tinggal di bantaran sungai bukanlah pilihan yang menarik. Pekerjaan yang tidak tetap dan pendapatan yang begitu minim membuat mereka tidak memiliki pilihan yang lebih baik. Banyak dari mereka yang sudah tinggal di wilayah itu selama puluhan tahun.

[TIPS] Daur Ulang Popok Sekali Pakai: Usaha Menghindari Kebangrutan dan Lebih Ramah Lingkungan

Bagi para orang tua yang mamiliki bayi, tentu menyadari bahwa popok sekali pakai, yang dikenal dengan berbagai merek dagang, seperti pampers, huggies dsb, adalah salah satu pengeluaran yang dapat membuat orang tua bangkrut. Bayangkan, sehelai popok sekali pakai rata-rata dijual dengan harga antara Rp. 1500,- sampai Rp. 2500,-. Menurut iklan salah satu merek terkemuka, popok mereka dapat menyerap sampai 6 kali pipis, tetapi tentu saja hanya untuk satu kali buang air besar.

Artinya, untuk bayi yang baru lahir, yang pipis berkali-kali dan buang air besar berkali-kali akan dibutuhkan setidaknya 3-4 popok sekali pakai dalam sehari. Artinya orang tua harus mengeluarkan uang (ambillah harga termurah, Rp. 1500,-) sebesar Rp. 1500,- X 3 sampai 4 popok perhari X 30 hari per bulan, atau Rp. 135.000,- sampai Rp. 180.000,- per bulan. Bayangkan seorang aktivis LSM yang bergaji Rp. 1 juta sebulan (inipun sudah merupakan penghasilan yang besar untuk kebanyakan aktivis LSM di Indonesia) harus mengeluarkan 18% gajinya hanya untuk popok anaknya! Belum makanan, belum susu, belum biaya ke dokter anak yang tarifnya selangit kalau kebetulan anak kita sakit!

Editorial Edisi 3

Akhir-akhir ini istilah pendidikan partisipatif mulai marak digunakan baik untuk pendidikan informal gaya LSM maupun pendidikan formal di bangku sekolah. Karena itulah Pro:aktif kali mengangkat tema Pendidikan Partisipatif: Sebuah Proses Demokratisasi.

Tulisan-tulisan yang disajikan antara lain pengalaman jalan-jalan seorang aktivis KaIl dalam memberikan Pendidikan Partisipatif untuk Para Pemilih Perempuan di berbagai kota di Indonesia; sebuah tulisan berjudul Demokrasi berawal dari rumah menghiasi rubrik gaya hidup; rubrik pikir kali ini menyajikan sebuah artikel berjudul Pendidikan untuk Orang Dewasa:

[PROFIL] Lusia Ping: Sang Penyambung Generasi Dayung


Menyusuri Sungai Mendalam di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kita akan menemui masyarakat Daya’ subsuku Kayaan yang mendiami kampung-kampung di sepanjang sungai. Secara garis besar, mereka memiliki 2 budaya besar, yaitu budaya ngayau dan budaya dayung [1] . Rupanya budaya yang lebih berkembang kemudian di masyarakat Kayaan Mendalam adalah budaya dayung.
Istilah dayung, pada mulanya memiliki tiga arti. Pertama, sebagai sebuah bentuk doa yang dilantunkan dengan irama tertentu dan berbentuk syair dengan sajak yang berpola. Kedua adalah orang yang melakukan dan memimpin segala ritus keagamaan dalam upacara adat mereka dengan melantunkan dayung, yaitu mereka yang berperan sebagai imam; disebut dayung juga. Hampir semua dayung dalam sepanjang sejarah Kayaan, adalah perempuan. Ketiga, istilah dayung ini pada jaman dahulu dikenakan juga pada mereka yang memiliki kemampuan untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit. Dayung mengobati ini kebanyakan juga perempuan.

[PIKIR] PENDIDIKAN BAGI ORANG DEWASA: PELATIHAN PARTISIPATIF VS SEMINAR

Pelatihan partisipatif adalah istilah yang sedang marak digunakan saat ini. Banyak orang menggunakan metode tersebut untuk kepentingan pengenalan pendidikan secara partisipatif baik bagi mahasiswanya, bagi karyawannya, maupun bagi relasi kerjanya. Namun demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap istilah yang sedang nge-trend ini, banyak orang menyebut diri sedang melaksanakan pelatihan partisipatif, tetapi ternyata tidak lebih dari sekadar seminar. Tulisan ini ingin memberikan pemahaman baru mengenai definisi dan hal-hal mendasar yang kiranya perlu diperhatikan dalam sebuah pelatihan partisipatif.

PENDIDIKAN PARTISIPATIF
Pendidikan partisipatif merupakan sebuah metode pendidikan yang menitikberatkan pada partisipasi aktif para peserta. Berangkat dari hal itulah maka penggunaan istilah-istilah terhadap peran-peran yang ada dalam sebuah pelatihan pun mengalami pergeseran. Dulu kita lebih mengenal istilah instruktur atau trainer dan pesertanya disebut dengan trainee. Dalam pelatihan ala tempo dulu, para instruktur adalah satu-satunya sumber pengetahuan dan peserta tinggal menerima. Sejalan dengan perkembangan jaman, pelatihan-pelatihan tidak lagi harus dengan model top-down seperti di atas, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif peserta. Istilah untuk peran-peran dalam pelatihan pun mengalami perubahan. Saat ini kita lebih mengenal istilah fasilitator dan bukan trainer, serta istilah trainee berubah menjadi partisipan.

[MASALAH KITA] BEKERJA DENGAN KEYAKINAN

Motivasi orang untuk bekerja tentu beragam. Ada yang bekerja untuk sesuap nasi, ada yang untuk segenggam berlian, ada yang untuk idealisme ('panggilan' entah kemanusiaan entah religius). Kita sendiri mungkin bekerja untuk dan dengan alasan yang merupakan kombinasi dari berbagai faktor. Semua sungguh sah-sah saja.

Siang tadi beberapa teman ngobrol-ngobrol tentang kerja, profesionalisme, idealisme dan realita. Perdebatannya, kalau kita bekerja profesional untuk tujuan sosial (baca: untuk NGO) apa oke saja kalau tidak dihargai dan tidak dibayar (diberi thank you pun tidak!)? atas nama sosial dan 'panggilan', apakah oke sebuah LSM besar tidak menggaji layak (jauh dibawah UMR) staf atau volunteernya? Apalagi banyak LSM yang berteriak-teriak soal HAM, hak buruh, hak sosial ekonomi di luar tapi terhadap staf atau orang-orang yang membantu mati-matian malah memberi janji bukan bukti. (Contoh nyata banyak! Ini sdh pendapat umum di publik non LSM).

[MEDIA] Resensi Film: MONA LISA SMILE


Judul : Mona Lisa Smile
Tahun : 2004
Produksi : Columbia Pictures dan Sony Pictures Entertainment
Produser : Elaine Goldsmith; Thomas Paul Schiff; Deborah Schindler
Sutradara : Mike Newell
Pemain : Julia Roberts; Kirsten Dunst; Julia Stiles; Maggie Gylenhaal

Latar belakang cerita ini didasarkan pada tahun 1953, di mana pembakuan peran gender (masih) sangat ketat dipegang. Seperti sudah dimulai oleh pendahulu mereka pada abad 18, pada masa ini jugalah para feminis liberal telah memulai gerakannya. Feminisme liberal sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran liberalisme dan modernisme yang menekankan kebebasan individual. Para pemikir dan aktivis yang tergolong dalam feminisme gelombang ini melihat adanya kebijakan yang tidak adil, dengan adanya perbedaan kesempatan serta hak antara perempuan dan laki-laki. Pendidikan yang mengembangkan rasionalitas hanya diberikan pada laki-laki, di mana intelektual laki-laki dianggap superior dan pekerjaan perempuan “hanyalah” sebagai istri dan ibu – dan dianggap tidak penting.

[TIPS] FASILITATOR dan BIDAN: Beda peran satu metodologi

Peran fasilitator memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan peran narasumber dan peran penceramah. Banyak orang menyebut dirinya sebagai fasilitator, namun seluruh metode pendidikannya tidak lebih dari seorang pembicara dalam sebuah seminar atau khotbah seorang Kiyai dalam sholat Jum’at.

Berikut ini beberapa tips untuk menjadi seorang fasilitator dalam arti yang sebenarnya.

Belajar dari Bidan
Peran fasilitator tidak ubahnya dengan peran seorang Bidan. Pengalaman bidan dalam membantu kelahiran seorang anak, merupakan filosofi dasar yang kiranya perlu direnungkan oleh seorang fasilitator. Kita tentunya pernah melihat bagaimana seorang bidan membantu proses kelahiran seorang anak, yang sudah jelas bukan anaknya sendiri. Namun dengan segala totalitas dan kompetensinya, semua itu dikerahkan semata-mata untuk kelahiran si bayi. Namun begitu si bayi lahir, ibunyapun langsung menggendongnya dan mendekapnya. Bidan pun cukup bahagia ketika dia dapat membantu proses kelahiran itu dan ketika melihat semua orang bahagia dengan keberhasilan proses kelahiran tersebut.

[JALAN-JALAN] “Suara Perempuan Untuk Perubahan”: Pendidikan Pemilih Perempuan 2004

Pelatihan Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan 2004, yang diselenggarakan oleh Sekretariat JMP-KWI dan bipelwan PGI di 23 kota di Indonesia Februari-Maret 2004 yang lalu, mengambil tema “Suara Perempuan untuk Perubahan”. Sesuai dengan tujuan pelatihan, yaitu memberdayakan suara perempuan untuk membuat perubahan (transformasi sosial) menuju demokratisasi. Oleh karena itu, modul dan silabuspun dibuat konsisten dengan pilihan metode dan alur proses yang dibuat separtisipatif mungkin, dan mampu memberdayakan suara perempuan, melalui dan menuju demokratisasi.

Metode yang digunakan selalu dimulai dengan penggalian informasi dari para partisipan, dan membuat partisipan terlibat aktif. Proses dimulai dengan introduksi tentang latar belakang, tujuan dan garis besar alur proses pelatihan; kemudian perkenalan serta penggalian harapan dan motivasi. Pada sesi ini diharapkan terjadi keterbukaan; semangat berbagi dan bekerjasama antar partisipan, panitia dan fasilitator. Selain itu juga digali motivasi dan harapan ikut pelatihan serta apa yang bisa menjadi kontribusi masing-masing peran selama dan setelah pelatihan ini.

Editorial Edisi 2

Perjuangan perempuan telah berlangsung sepanjang sejarah. Cukup banyak momentum dibuat untuk mengenang perjuangan tersebut. Masyarakat Internasional merayakan Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret. Di Indonesia, Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April, meskipun maknanya kerap direduksi dari mengenang perjuangan Kartini untuk emansipasi perempuan menjadi sekedar ajang aksi dengan berkebaya. Pada Pemilu, 5 April 2004 yang akan datang, untuk pertama kalinya setiap partai harus mencalonkan sedikitnya 30% perempuan.

[PROFIL] Profil Ibu Menurut Aktivis Perempuan

Selama ini umumnya Konsep Ibu hanya melekat pada seorang perempuan, dan dikaitkan pada fungsi-fungsi tradisionalnya serta kemampuan mempunyai anaknya. Sharil Thurer dalam bukunya: The Myths of Moherhood (1994) memaparkan bagaimana budaya manusia telah mengintervensi konsep ibu yang baik/ideal ini, serta apa dampaknya bagi perempuan. Ada yang dimaknai dan didefinisikan oleh perempuan sendiri, tapi ada juga yang didefinisikan dan dikonstruksikan oleh mereka yang bukan perempuan untuk perempuan.
Bagaimana Konsep Ibu menurut aktivis perempuan yang juga sekaligus ibu? Bagaimana dalam budaya saat ini ibu-ibu, para aktivis kita ini mendefinisikan ke-ibu-an mereka? Apa yang mereka idealkan dari konsep ini? Berikut ini rangkuman wawancara Kail dengan tujuh orang aktivis yang juga ibu dari Jaringan Mitra Perempuan.

[PIKIR] Beda Cara Belajar Beda Tindakan


Cara belajar setiap orang berbeda satu sama lain. Selain dipengaruhi oleh faktor genetis, cara belajar kita juga dibentuk oleh faktor lingkungan yang turut membentuk kebiasaan kita antara lain melalui aturan-aturan sekolah, keluarga dan masyarakat. Perbedaan cara belajar ini pada akhirnya akan mempengaruhi cara kita bertindak dan menanggapi sesuatu. Banyak konflik terjadi akibat perbedaan cara belajar ini, misalnya konflik antara anak dan orang tua; antara suami-istri; antara pemerintah dengan rakyat maupun antara aktivis pendamping lapang dengan masyarakat dampingannya. Karena respon anak tidak sesuai dengan harapan orang tua maka orang tua berpikir bahwa anaknya nakal, pembangkang dan susah diatur. Karena lebih suka menjawab soal dengan caranya sendiri, seorang murid lantas dianggap bodoh oleh gurunya dan karena tidak membuat tanggapan sesuai harapan seorang gadis menganggap kekasihnya sudah tidak mencintainya lagi. Masih banyak lagi permasalahan dan konflik yang muncul akibat perbedaan cara belajar ini.

[MASALAH KITA] Mengapa hanya sedikit perempuan yang menjadi aktivis?


David kuliah di Jurusan Biologi, di mana 70% mahasiswanya adalah perempuan, tetapi dari sekitar enam tahun masa studinya, hanya sekali perempuan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Biologi. Setelah itu ia membuat LSM yang memiliki program relawan, yang mayoritas perempuan. Dari ratusan relawan yang kemudian direkrut menjadi staff, yang kemudian berkomitmen dan bertahan lebih dari lima tahun semua laki-laki. Ia juga berkawan dengan banyak aktivis yang juga perempuan, dan sayangnya… setelah menikah, mereka berhenti. Fenomena apakah ini?

Fenomena serupa ternyata tidak hanya terjadi pada dunia aktivis saja, namun juga terjadi dalam panggung politik bangsa kita, di mana mayoritas penduduknya juga perempuan. Sampai-sampai dalam pemilu tahun 2004, setiap partai harus memiliki calon perempuan minimal 30%.

[MASALAH KITA] Pergulatan dan Dialektika Aktivis Perempuan

Dengan makin kuatnya tuntutan arus demokrasi, dibarengi krisis yang melanda negeri ini, yang makin diperparah dengan tanggapan pihak penguasa lewat rekayasa dan teror kekerasan; kesadaran dan gerakan masa rakyat yang selama ini mengalami ketidakadilan dan ketertindasan menjadi makin terlihat. Termasuk para ibu yang tergabung dalam SIP (Suara Ibu Peduli) mulai memasuki kancah publik dengan memakai isu domestik untuk memperjuangkan keprihatinan mereka. Isu SARA yang dipakai untuk menghidupkan kerusuhan di berbagai wilayah di negeri ini, yang berpuncak pada tragedi Mei 1998 makin memperkuat solidaritas para perempuan dan juga laki-laki untuk bergerak. Aktivis-aktivis muda dan tua bangkit kembali, bersama-sama bergerak menantang teror, rekayasa dan kekerasan ini. Realita ketidakadilan sosial yang dialami mulai dikaitkan dan dimintakan pertanggungjawaban lewat ideologi negara dan agama serta budaya.

[OPINI] DISKURSUS PEKERJA PEREMPUAN DAN UPAH RENDAH

GLOBALISASI DAN PEKERJA PEREMPUAN

Globalisasi memiliki dampak positif dan negatif bagi pekerja perempuan. Dampak positif glo
balisasi berimplikasi pada kesadaraan kesetaraan gender. Dengan adanya tuntutan globalisasi akan profesionalisme, dan merebaknya teknologi canggih, kaum perempuan berpeluang memanfaatkan potensi diri untuk karier mereka, misalnya melalui usaha-usaha pendidikan, perluasan jaringan pergaulan profesional, pengasahan keterampilan dan lain sebagainya. Melalui usaha-usaha pengembangan diri yang konstruktif dan kreatif, perempuan mampu berkompetisi secara sehat dalam dunia kerja dengan menggunakan ide-ide, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan mampu memanfaatkan informasi dan teknologi dengan baik dan tak kalah militan/taktisnya dengan pria.

[MEDIA] Jual-Beli Perempuan dan Anak - Resensi Film

Judul : Jual-Beli Perempuan dan Anak.
Tahun : 2003
Produksi : Yayasan Jurnal Perempuan
Produser dan Sutradara : Gadis Arivia
Jurnalis : Deedee Achriani, Gadis Arivia, Himah Solihah

Isu perdagangan perempuan dan anak semakin serius dibahas. Pemerintah, khususnya Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, menanggapi isu ini dengan mengeluarkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdaganangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, dan saat ini sedang merancang Undang-Undang Penghapusan Trafiking. Sementara itu di tingkat masyarakat, berbagai organisasi dan lembaga turut menangani isu tersebut dengan melakukan penelitian dan sosialisasi. Yayasan Jurnal Perempuan salah satu lembaga yang selama ini bergerak untuk pemberdayaan perempuan, melakukan peliputan ke Kalimantan Barat dan pulau Batam untuk mendokumentasikan berbagai bentuk dan kasus perdagangan perempuan dan anak. Hasilnya dikemas dalam bentuk film dokumenter berdurasi sekitar 60 menit dan dalam format warna hitam putih.

[MEDIA] Perspektif Gender dalam Pendidikan









Penulis :Nurul Azkiyah, Budi Rajab, Gaby Weiner, Budie Santi, Gaguk Margono, Gadis Arivia, Eko Bambang Subiantoro, M.B. Wijaksana

Penerbit :Yayasan Jurnal Perempuan

Tebal :171 halaman

Terbit :Mei, 2002

Pendidikan merupakan hal yang esensial dan krusial dalam hidup berbangsa dan bernegara. Apalagi dalam negara yang mengakui demokrasi seperti misalnya Indonesia, di mana idealnya kesetaraan gender juga diakui secara moral dan bertanggung jawab. Namun masalahnya adalah bahwa pendidikan praksis yang selama ini berjalan pada dasarnya terbentuk atas konstruksi sosial yang sudah berakar dalam tatanan masyarakat yang bisa gender atau seksis. Padahal, suatu bangsa akan menjadi bangsa yang beradab dan berharkat apabila tolak ukurnya bahwa bangsa tersebut terdidik tanpa terkecuali., dalam hal ini perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki peluang dalam mengenyam pendidikan untuk saling bahu membahu membangun bangsa dan negara.

[MEDIA] Pendidikan Politik Melalui Komik



Pasca reformasi , ajang pemilu sering digunakan untuk meluncurkan banyak inovasi baru untuk melakukan pendidikan politik rakyat, salah satunya dalam hal media penyampaiannya. Dalam lingkup media cetak, komik menjadi pilihan menarik. Pasalnya, rakyat kebanyakan masih belum akrab dengan informasi naratif.

Pemilu tahun juga diwarnai berbagai usaha untuk melakukan sosialisasi pemilu sekaligus melakukan pendidikan politik dalam bentuk komik, misalnya yang dilakukan oleh Unisosdem dan Rindang Banua . Unisosdem memproduksi komik berjudul “Ketika Harus Berdemokrasi”, Rindang Banua memproduksi komik yang berjudul “Jangan Bingung !!!”.

[TIPS] Mengatasi Kaki Yang Pegal dan Telapak Kaki Yang Pecah-pecah

Sebagai aktivis yang mempunyai aktivitas dan mobilitas tinggi, kita kerapkali tidak punya waktu untuk memperhatikan diri kita sendiri. Perjalanan ke lapangan dan perjalanan lain yang biasa kita tempuh sebagai bagian dari konsekuensi aktivitas kita, tanpa kita sadari mempengaruhi kesehatan kita, yang selanjutnya bisa berdampak pada kinerja kita juga.
Kaki, sebagai salah satu bagian tubuh kita yang sangat menunjang aktivitas kita sebagai aktivis patut kita beri perhatian juga. Setelah perjalanan jauh, dalam kondisi cuaca yang kering dan berdebu, ataupun hujan, kaki kita seringkali menjadi capek, telapaknya pecah-pecah, lembab ataupun berkeringat sehingga mengeluarkan bau tidak sedap. Untuk mengurangi rasa pegal dan pecah-pecah, ada sedikit tips yang mungkin bisa bermanfaat bagi rekan-rekan.

Bahan-bahan yang perlu dipersiapkan:
Air suam-suam kuku dalam baskom atau ember
Amplas untuk kaki atau batu apung
Sikat gigi bekas
Kain lap kering
Garam

[JALAN-JALAN] Pendidikan Pemilih untuk Perempuan

Menjelang Pemilu 2004 yang lalu, seorang staff Kail, Intan Darmawati, berkesempatan menjadi fasilitator pelatihan untuk pemilih perempuan di Makassar, Manado dan Tahuna. Berikut ini cerita lengkapnya.

Menjelang pemilu 2004 yang lalu, saya berkesempatan bergabung dalam tim kerja Panitia Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan, sebagai koordinator fasilitator. Program ini merupakan kerjasama JMP-KWI dan Bipelwan PGI, yang dilakukan dalam empat tahap, di 23 kota dan 1090 lokasi di seluruh Indonesia.

Pelatihan diawali dengan TOT (pelatihan untuk para calon fasilitator) yang diadakan di tiga kota, yaitu Jakarta, Makassar dan Denpasar. Ketiga pelatihan ini melibatkan sekitar 150 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia. Para peserta inilah yang akan menjadi fasilitator lokal dan panitia lokal serta sosialisator pada pelatihan-pelatihan tahap selanjutnya.