Editorial Agustus 2014

Salam Transformatif! Salam Kemerdekaan!

Memasuki bulan peringatan kemerdekaan Bangsa Indonesia, Pro:aktif Online kembali hadir di tengah-tengah Anda. Namun, sebelum beranjak lebih jauh, kami ingin mengajak pembaca semua untuk mempertanyakan kembali, sudahkah Anda memaknai kemerdekaan bagi diri Anda sendiri? Sudahkah hidup Anda berdaulat, di tengah hiruk pikuk perkembangan jaman saat ini?

Dalam rangka memperingati kemerdekaan Republik Indonesia, Pro:aktif Online hadir untuk memaknai kemerdekaan dari aspek mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu pangan. Oleh karena itu, tema yang kami usung kali ini adalah “Bangsa Indonesia dan Kedaulatan Pangan”

[PROFIL] Gerakan Koperasi Teikei di Jepang

Penulis: Any Sulistyowati
Sistem Pertanian Jepang dan Perkembangan Pasar Global
Di negeri Jepang, 70% lahan adalah hutan dan lahan-lahan pertanian sangat terbatas. Delapan puluh persen petani Jepang mengelola kurang dari 1.5 hektar tanah. Meskipun sempit, lahan-lahan tersebut sangat subur sehingga dapat ditanami 2-3 jenis tanaman secara bergantian, seperti gandum, padi dan sayuran maupun buah-buahan. Produksi pertanian di Jepang berkembang pesat setelah perang dunia kedua, di mana para tuan tanah diminta untuk menyerahkan lahan-lahannya kepada para penggarap, yang dengan penuh semangat menghasilkan produksi pangan nasional. Pertanian di Jepang berhasil memenuhi kebutuhan masyarakat Jepang di tingkat lokal.

[PIKIR] Sudahkah Bangsa Indonesia Berdaulat Pangan?

Penulis: David Ardes Setiady

1http://www.spi.or.id/wp-content/uploads/2011/10/Aksi-Pemuda-Peduli-Pangan3.jpg
Menyambut peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-69, sebuah pertanyaan yang selalu relevan untuk ditanyakan adalah “sudahkah kita merdeka?”. Pertanyaan tersebut merupakan upaya pemaknaan yang diperlukan agar kita membangun kesadaran kritis tentang kondisi negeri ini. Bagaimanakah perkembangan kehidupan bangsa ini setelah mendeklarasikan kemerdekaannya tahun 1945 silam? Mimpi para pendiri bangsa ini adalah menyaksikan rakyatnya berdaulat, mandiri dalam mengelola kehidupannya. Di sini, pertanyaannya bisa diganti menjadi “sudahkah bangsa ini menjadi mandiri?”.

[PIKIR] Pangan Dalam Cengkeraman Kapitalisme

Penulis: Angga Dwiartama

Berbagai kasus tentang pangan dan pertanian di Indonesia bermunculan dalam 68 tahun sejak Indonesia merdeka. Penggundulan hutan dan konflik dengan masyarakat adat akibat perluasan lahan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera, importasi jutaan ton beras yang mengancam kestabilan harga gabah antara petani padi di Jawa,masuknya Monsanto, perusahaan raksasa Amerika, dan bibit jagung transgenik ke Indonesia, rencana pendirian Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua yang mengancam keberlangsungan masyarakat lokal dan lingkungan, hingga terakhir kasus kriminalisasi petani di Karawang – semua dapat ditilik dari kuatnya kapitalisme mengakar di dalam sektor pertanian dan pangan di Indonesia. Kapitalisme pangan adalah suatu sistem di mana pangan dan produk pertanian diperoleh melalui mekanisme pasar dan dioperasikan untuk memperoleh keuntungan (profit). Meski muncul dalam berbagai bentuk, kapitalisme pangan bukan hal baru, dan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Tulisan ini bermaksudmengulas evolusi kapitalisme pangan di Indonesia dan dunia, dampaknya bagi petani, konsumen dan lingkungan, serta solusi aksi yang dapat kita berikan sebagai aktivis untuk melawan cengkeraman kapitalisme ini.

[MASALAH KITA] Krisis Mutu Pangan di Indonesia

Penulis: Agustein Okamita dan Navita Astuti

Makanan merupakan salah satu kebutuhan utama manusia. Makanan yang masuk ke dalam tubuh berperan penting dalam mendukung kehidupan kita dan segala aktivitas yang kita lakukan. Agar pertumbuhan dan regenerasi sel-sel di dalam tubuh berlangsung dengan baik, sel-sel tubuh membutuhkan berbagai vitamin dan mineral yang diperoleh dari makanan dan minuman yang kita konsumsi.

Makanan mendukung vitalitas manusia. Namun, dari makanan jugalah penyebab utama munculnya penyakit-penyakit yang diderita manusia. Baik itu penyakit yang timbul secara langsung setelah makanan dikonsumsi (keracunan akibat mengonsumsi makanan tertentu), maupun penyakit menahun akibat gaya hidup seseorang dengan pola makan tidak sehat yang ia jalani selama bertahun-tahun.

Kita mungkin sering mendengar, kasus-kasus keracunan makanan. Tragedi Minamata (http://en.wikipedia.org/wiki/Minamata_disease)di Jepang

[OPINI] Proklamasi Sudah, Berdaulat Belum Sepenuhnya! Ironi Negeri Agraris Pengimpor Bahan Pangan

Penulis: Anton Waspo

Tragedi Impor Pangan
Impor pangan sudah menjadi candu bagi pelaku impor. Pernyataan seorang anggota ahli dewan ketahanan pangan nasional ini ada benarnya[i]. Sementara produksi pangan mengalami surplus dibandingkan jumlah konsumsi tetapi impor tetap dilakukan. Mencermati data-data yang diolah oleh Bappenas dalam dokumen RPJMN 2015 – 2019[ii] maka pernyataan itu benar adanya. Pada periode tahun 2009 – 2012, ada surplus beras, cabai dan bawang merah tetapi impor tetap terjadi. Sedangkan untuk kedelai, gula dan daging sapi produksi dalam negeri memang defisit.

Tabel 1. Produksi, Konsumsi dan Impor Bahan Pangan 2009 - 2012
 

Perdebatan tentang data produksi, konsumsi dan impor kerap terjadi. Ini yang menjadi pangkal masalah pertama di tataran kebijakan dan pengambilan keputusan untuk impor. Data produksi pangan yang tidak akurat menjadi pintu untuk memuluskan impor produk pangan.  Ambil contoh produksi beras, bisa jadi uang negara yang sudah dihamburkan untuk membeli beras lebih banyak daripada untuk memperbaiki peningkatan produksi pangan. Sudah jamak dimaklumi, membeli itu lebih murah sehingga membuat malas untuk memproduksi sendiri. Perlu alasan kuat untuk berhenti membeli dan mulai memproduksi sendiri.

[OPINI] Menelusuri Hakikat Ketahanan Pangan

Penulis: Angga Dwiartama

Memperingati kemerdekaan RI ke-69, menarik untuk menilik makna kemerdekaan dalam kaitannya dengan pangan. Dalam pidato kepresidenannya di tahun 1941, Presiden AS Franklin D. Roosevelt menegaskan bahwa terdapat empat bentuk kemerdekaan yang harus melekat dalam setiap individu – kemerdekaan untuk berpendapat, untuk berkeyakinan, dari ketakutan, dan atas kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan). Penyelenggaraan pemerintahan hendaknya selalu didasari oleh semangat kemerdekaan ini. 

Gambar 1, diambil dari http://inspirasifajardepok.com

[TIPS] Makanan Sehat Itu Murah

Penulis: Maya A. Pujiati

            Produk organik telah menjadi populer beberapa tahun belakangan ini. Demi kesehatan, orang mau bersusah payah untuk mendapatkannya. Namun seiring dengan popularitasnya yang menanjak, harga produk organik di pasaran ternyata lebih mahal dari sayuran biasa.  Satu ikat kangkung, misalnya,  jika berlabel organik bisa berharga 2 sampai 3 kali lipat daripada kangkung tak berlabel.

            Secara logika, biaya pertanian dengan cara alami seharusnya  lebih murah dibandingkan dengan cara modern. Pupuk dan pestisidanya bisa berasal dari bahan-bahan yang tersedia di alam. Terlebih di masa sekarang,  telah ditemukan berbagai teknik pembuatan kompos dari sampah organik yang sangat mudah dan sederhana. Setiap orang bisa membuatnya dan biaya bertanam bisa semakin berkurang. Penyebab  paling mungkin dari mahalnya produk organik adalah berlakunya hukum pasar: makin diminati, harga makin tinggi.

[TIPS] Makanan Sehat, Badan Sehat

Penulis: Melly Amalia

Saat ini gempuran makanan dari berbagai macam bahan pangan dan olahannya sudah semakin banyak. Slogan makanan sehat sepertinya hanya iming-iming belaka, dan yang lebih dipentingkan adalah rasa makanan tersebut yang lezat. Padahal kalau kita mengkonsumsi makanan yang sehat, akan mempengaruhi kesehatan kita pula. Kalau kita mengkonsumsi makanan sehat, maka berpotensi menjadikan badan sehat. Makanan sehat belum tentu 4 sehat 5 sempurna, tapi kandungan yang ada dalam makanan sehat tersebut kaya akan nutrisi dan bebas dari toksin, bakteri dan bibit penyakit. Makanan sehat memiliki kandungan gizi, kaya serat dan zat yang dibutuhkan oleh tubuh (karbohidrat, vitamin, protein, mineral dan air). Kita perlu lebih cermat dalam memilih bahan makanan dan mengolahnya, sehingga resiko penyakit yang ditimbulkan bisa diminimalisir.

[MEDIA] Pangan, Kedaulatan dan Ketahanan. Resensi Majalah dan Buku


Pangan, kedaulatan dan ketahanan. Resensi majalah dan buku
Majalah pertanian berkelanjutan “Petani” terbit pertama kali di tahun 2001 dan saat itu bernama “Majalah Salam”. Majalah ini menjadi sarana berbagi pengetahuan, inovasi, dan aktivitas antar tenaga penyuluh lapangan, petani, dan orang-orang yang bekerja di bidang pertanian berkelanjutan. Majalah ini terbit empat kali setahun dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Target pembaca majalah ini adalah kelompok petani, LSM, pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembaga penelitian. Edisi terakhir Majalah Petani terbit di bulan Maret 2011.
Ada dua edisi yang menyoroti masalah ketahanan pangan dan kedaulatan pangan:
Majalah SALAM No. 2 (http://www.agriculturesnetwork.org/magazines/indonesia/2-rawan-pangan). Edisi ini menyoroti masalah rawan pangan yang terjadi di Indonesia. Secara khusus artikel yang disajikan memuat contoh-contoh sistem pertanian berkelanjutan yang memiliki potensi mengatasi masalah rawan pangan.



[JALAN-JALAN] Bandung Berkebun

Penulis: Melly Amalia

Ada satu komunitas di Bandung yang mengajak orang-orang khususnya warga Bandung untuk berkebun. Gerakan ini sudah dimulai sejak tahun 2011 yang digagas oleh Ridwan Kamil, walikota Bandung saat ini. Diawali dari Jakarta Berkebun dan sampai saat ini sudah ada 30 kota berkebun (Bandung, Banten, Jogja, Bogor, Solo, Madiun, Pontianak, Aceh, Bali, dll) dan 8 kampus yang bersama-sama bergerak di bawah gerakan nasional Indonesia Berkebun. Cita-cita komunitas ini sederhana tapi gaungnya sangat besar yaitu mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk senang berkebun. Melalui berkebun, komunitas ini berupaya memanfaatkan ruang-ruang yang awalnya tidak produktif dan terbatas menjadi area produktif sehingga tercipta kualitas ruang kota yang baik.