Sistem Pertanian Jepang dan Perkembangan
Pasar Global
Di dalam sistem teikei, terjadi hubungan persahabatan
antara produsen dan konsumen. Keduanya terlibat dalam proses distribusi. Harga
ditentukan melalui kesepakatan kedua belah pihak melalui negosiasi langsung.
Harga tersebut seringkali lebih tinggi daripada di pasar grosir tetapi masih
lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar swalayan. Harga ini menjamin
kehidupan petani tercukupi sekaligus
menjamin kesehatan dan keselamatan pangan bagi konsumen. Dalam kondisi
sulit seperti kasus gagal panen, konsumen ikut bertanggung jawab dan
berkontribusi pada biaya yang harus ditanggung oleh produsen. Produsen juga
dijamin untuk mendapatkan harga yang baik untuk setiap produk yang
dihasilkannya. Hal ini akan menjamin hubungan jangka panjang antara produsen
dan konsumen.
Di negeri Jepang, 70% lahan adalah hutan dan
lahan-lahan pertanian sangat terbatas. Delapan puluh persen petani Jepang
mengelola kurang dari 1.5 hektar tanah. Meskipun sempit, lahan-lahan tersebut
sangat subur sehingga dapat ditanami 2-3 jenis tanaman secara bergantian,
seperti gandum, padi dan sayuran maupun buah-buahan. Produksi pertanian di
Jepang berkembang pesat setelah perang dunia kedua, di mana para tuan tanah diminta
untuk menyerahkan lahan-lahannya kepada para penggarap, yang dengan penuh
semangat menghasilkan produksi pangan nasional. Pertanian di Jepang berhasil
memenuhi kebutuhan masyarakat Jepang di tingkat lokal.
Sejak tahun 1954, Amerika Serikat mengirimkan
surplus gandumnya ke Jepang sebagai konsekuensi kesepakatan militer kedua
negara. Akibatnya Jepang mengalami
surplus pangan dan ekonomi Jepang pun makin berkembang pesat. Dalam kondisi
tersebut masyarakat di perdesaan Jepang banyak yang berpindah ke kota untuk
menjadi buruh di pabrik-pabrik. Dengan kelangkaan tenaga kerja, pertanian di
Jepang berubah menjadi pertanian modern, skala besar, monokultur, padat modal,
menggunakan mesin, terspesialisasi dan bergantung pada bahan kimia dan bahan
bakar minyak.
Sebagai akibatnya, pertanian di Jepang
menghadapi krisis besar. Sementara pangan yang diproduksi terkontaminasi dengan
bahan kimia, para petani makin tergantung pada sumber penghidupan lainnya.
Hidup sebagai petani terasa sungguh berat. Selain terkena resiko penyakit
akibat penggunaan bahan kimia, penghasilan mereka dari sektor pertanian semakin
sedikit. Semakin sedikit orang mau menjadi petani. Produksi pangan petani
Jepang semakin sedikit. Produk pangan didominasi oleh produk pangan impor. Trend semacam ini terjadi di seluruh dunia.
Sistem pasar global mendominasi sistem produksi dan penyediaan konsumsi pangan
seluruh dunia. Manusia sebagai konsumen pangan makin terpisah dari produksi
pangannya.
Di tahun
80-an, khususnya setelah kecelakaan Cherynobyl di tahun 1986, masyarakat makin
peduli dengan keamanan pangan. Kebutuhan akan produk yang sehat meningkat. Para
pedagang merespons pasar ini dengan menjual produk organis dengan harga
lebih mahal dari produk biasa. Banyak
pedagang mengeruk keuntungan dari harga yang mahal ini. Badan-badan sertifikasi
mendapatkan keuntungan dari memberikan jaminan kepada produsen akan kualitas
produk. Tentu saja biaya tersebut dibebankan kepada konsumen.
Pada sistem pasar global ini, harga ditentukan oleh hukum penawaran dan
permintaan. Hukum penawaran dan permintaan ini menyebabkan fluktuasi harga
pasar. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian, baik bagi produsen maupun
konsumen, yang dapat berujung pada kerugian pada kedua belah pihak.
Di dalam pasar konvensional, produsen dan konsumen terpisah sama sekali.
Di dalam sistem yang terpisah tersebut, konsumen tidak memiliki informasi
mengenai produk apa saja yang seharusnya tersedia pada waktu tertentu. Akhirnya
para produsen akan memproduksi sesuai dengan prediksi mereka akan kebutuhan
konsumen. Ada kalanya konsumen menginginkan sesuatu yang di luar musimnya.
Produsen terpaksa memproduksi sesuatu di luar siklus alam. Akhirnya diterapkan
berbagai teknik pertanian yang bukan saja mahal tetapi berdampak negatif
terhadap alam. Selain itu, di dalam sistem pasar yang sekarang dominan
berjalan, sering terdapat informasi yang mengacaukan persepsi, baik bagi
konsumen maupun produsen. Produsen sering menyampaikan informasi yang bias
sehingga mendorong konsumen untuk mengkonsumsi produk tertentu. Sebaliknya
konsumen sering menyampaikan kebutuhan akan produk tertentu yang sebetulnya
tidak dibutuhkan.
Lahirnya Sistem Teikei
Pada tahun 70an, konsumen di Jepang mulai
peduli dengan bahaya produk pertanian yang terkontaminasi dengan pestisida,
pupuk kimia, herbisida dan antibiotik. Pada tahun 1975, Sawako Ariyoshi menulis
buku Fukugouosen, yang dalam bahasa
Jepang berarti polusi kompleks. Sementara itu di perdesaan, para petani
menderita berbagai macam penyakit akibat penggunaan pestisida dan herbisida.
Akibatnya muncul kesadaran kritis untuk mencari solusi bersama untuk
menghasilkan makanan dan ekosistem pertanian yang sehat dan menguntungkan bagi
konsumen sekaligus produsen pangan. (Hashimoto, 2009)
Sistem Teikei
berawal pada tahun 1960-an ketika ibu-ibu di Jepang kuatir akan kualitas susu akibat tercemar limbah
merkuri. Untuk menjamin keamanan susu dan bahan pangan lainnya yang mereka
konsumsi, mereka membentuk asosiasi konsumen yang berkolaborasi dengan asosiasi
produsen untuk menghasilkan pangan yang sehat bagi semua.
Dalam bahasa Jepang, teikei bermakna ‘kerjasama’, ‘koperasi’, ‘bisnis bersama’ atau
‘terhubung’. Sistem Teikei adalah bentuk kerjasama kreatif antara produsen
pangan dan konsumen, yang dilakukan secara langsung, sukarela dan dalam skala
lokal. Kerjasama ini menguntungkan kedua belah pihak. Pihak produsen tidak
mencari keuntungan secara finansial, bahkan turut menjaga alam dengan
menjalankan praktek pertanian organis. Sementara konsumen, tidak hanya sekedar
mengonsumsi, melainkan turut mendukung produsen dalam menjaga keseimbangan alam
dan pengadaan pangan yang sehat. Sistem Teikei
merupakan contoh konkrit produksi dan konsumsi pangan yang ramah lingkungan.
Sistem ini bukan lagi sekedar praktik teknis pertanian organis, melainkan praktik
gaya hidup baru yang menghormati sesama manusia dan alam.
Salah satu penggagas sistem teikei adalah JOAA[1].
Ketika JOAA didirikan pada tahun 1971, Jepang sedang gencar-gencarnya
melaksanakan pembangunan ekonomi. Ekonomi mereka tumbuh lebih dari 10% per tahun.
Industri berat berkembang pesat. Dampaknya adalah kontaminasi limbah kimia dan
kerusakan alam. Tragedi Minamata adalah yang terparah. Saat itu produk
pertanian didominasi oleh pertanian kimia dan penggunaan bahan bakar fosil.
Salah satu contoh koperasi teikei adalah koperasi yang
beranggotakan 26 petani di Desa Miyoshi di Provinsi Chiba. Masing-masing petani
mengelola lahan sekitar 1.2 hektar. Koperasi ini mendukung sekitar 800 konsumen
di Tokyo dan sekitarnya. Para petani mengirimkan produknya secara rutin di
sekitar 116 tempat di mana konsumen dan produsen dapat bertemu secara langsung.
Filosofi Sistem Teikei
Di dalam sistem teikei, fungsi
utama pertanian adalah pertama-tama menghasilkan pangan untuk menghidupi
keluarga petani. Pangan adalah kebutuhan dasar dan tidak seharusnya diperjualbelikan
untuk menghasilkan keuntungan. Di dalam sistem teikei, pertanian seharusnya penuh vitalitas yang selaras dengan
alam. Hal ini terkait erat dengan fungsi pangan yang utama yaitu untuk
melanjutkan kehidupan. Pangan bukan lagi komoditas. Kemandirian adalah hal kunci
yang perlu dicapai dengan menghasilkan seberagam mungkin jenis meskipun dalam
jumlah yang lebih sedikit. Dengan keberagaman ini risiko gagal panen akibat
serangan hama dan perubahan cuaca akan lebih kecil.
Kontribusi Sistem Teikei pada Penyelesaian Krisis Ekologi
Produksi
dan konsumsi pangan zaman sekarang banyak menimbulkan krisis ekologi. Salah
satu bentuknya adalah banyaknya sampah dari kemasan dan dari proses seleksi
produk yang tidak memenuhi standar. Selain itu di dalam sistem pasar ini,
produk diangkut
[T1] dari
tempat yang jauh menggunakan bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui dan
menghasilkan polusi.
Di dalam
sistem Teikei, produsen dan konsumen
saling mengenal. Konsumen mengenal kualitas produk yang dihasilkan petani, yang
mereka yakini kaya gizi dan aman dikonsumsi. Mereka tidak memerlukan kemasan
yang berlebihan. Mereka tidak perlu melakukan seleksi berdasarkan bentuk,
ukuran maupun warna seperti yang dilakukan oleh supermarket atau pasar modern.
Di dalam sistem Teikei, pangan dihasilkan sesuai musimnya. Terjadi efisiensi biaya
produksi karena tidak ada kebutuhan untuk melakukan proses tambahan untuk
memproduksi hasil pangan di luar musimnya. Pangan dihasilkan secara alami di
lahan-lahan pertanian organis di Jepang. Di setiap petak lahan pertanian,
terdapat beragam jenis tanaman dan dapat dipastikan keragaman alaminya. Keragaman
ini menjamin keanekaragaman hayati dan konservasi alam lokal.
Setelah mengikuti teikei,
terjadi perubahan gaya hidup di tingkat konsumen. Pertama-tama, terjadi
perubahan secara signifikan pada pola makan dan belanja. Mereka mengkonsumsi
apapun yang diproduksi di kebun, lepas dari bentuk, ukuran dan warnanya. Mereka
secara kreatif menciptakan resep-resep yang cocok untuk bahan-bahan yang
diproduksi. Mereka menyesuaikan konsumsi mereka dengan musim. Konsumsi
menyesuaikan apa yang tersedia, bukan sebaliknya. Produk yang dihasilkan
diyakini sehat karena sesuai dengan musim dan tidak perlu asupan bahan kimia
tambahan atau perlakuan buatan. Bahkan
konsumen menyerahkan sisa makanannya untuk dikompos menjadi pupuk oleh petani.
Melalui sistem teikei,
konsumen berkesempatan belajar mengenal sistem pertanian. Mereka dapat
mengunjungi atau menjadi relawan di lahan-lahan pertanian organis. Dari proses
tersebut mereka dapat melihat secara langsung proses produksi pangan. Mereka
makin menghargai makanan yang mereka konsumsi setiap hari. Proses ini sangat
penting, khususnya bagi warga perkotaan yang hidupnya terpisah dari alam. Sebaliknya,
para petani juga berkesempatan berinteraksi dengan konsumen dan memahami
harapan mereka dengan lebih baik. Melalui interaksi tersebut muncul banyak
gerakan sosial dan lingkungan, di antaranya adalah berbagai gerakan dukungan terhadap
lingkungan, protes terhadap nuklir, insinerator, dll.
Penyebaran ke seluruh dunia
Pertemuan Earth Summit di Rio de Janeiro tahun 1992 membuka peluang
diskusi dan pilihan jawaban akan persoalan lingkungan global. Di dalam
pertemuan tersebut, setiap negara menyepakati pentingnya membangun masyarakat
yang berkelanjutan di negara masing-masing. Pertanian organis adalah bagian
penting dari masyarakat yang berkelanjutan. Sejak saat itu muncul banyak
gerakan pertanian organis di seluruh dunia yang dilakukan oleh banyak pihak.
Sistem teikei merupakan salah satu
cara untuk menghasilkan pertanian organis yang efektif dan efisien. Sistem
teikei kemudian berkembang menjadi yang sering disebut sebagai community supported agriculture (CSA).
Di Jepang sendiri, JOAA mencatat ada sekitar 650 koperasi di Jepang
dengan anggota lebih dari 16 juta orang. Dari jumlah tersebut, makin banyak
yang menerapkan sistem teikei. Saat
ini diduga ada sekitar 500-1000 kelompok konsumen yang tergabung dengan gerakan
teikei di Jepang. Ukuran kelompok
bervariasi mulai dari 10 sampai 5000 keluarga.
Apakah tidak ada masalah dengan sistem teikei? Tentu saja ada. Saat ini, beberapa koperasi teikei menghadapi masalah sebagai
berikut: tidak ada pergantian kepengurusan selama puluhan tahun, berkurangnya
jumlah relawan akibat banyak perempuan harus bekerja, dan tersedianya beragam
produk organis dan sehat di pasar konvensional dengan harga yang lebih murah
dan mudah didapat. Banyak petani sudah
menjadi tua, anak-anak mereka tidak ingin lagi menjadi petani, dan keterbatasan
konsumen yang mau menjadi anggota teikei.
Semuanya ini adalah tantangan yang harus dijawab agar gerakan teikei sungguh-sungguh berhasil dalam
penyebaran gaya hidup organis ke seluruh dunia.
Referensi:
http://en.wikipedia.org/wiki/Teikei,
6 Mei 2014.
Shinji Hashimoto, 2009. Teikei System in
Japan. http://blog.urgenci.net/, 6 Mei 2014.
Martin J. Frid, “Organic Farming in Japan:
Lessons for the World”, Consumers Union in Japan. http://www.nishoren.org/, 6 Mei 2014.
Japan Organic Agriculture Association, "TEIKEI"system, the
producer-consumer co-partnership and the Movement of the Japan
Organic Agriculture Association, http://www.joaa.net/english/teikei.htm,
6 Mei 2014.
[1] JOOA (Japan Organic Agriculture Association) adalah
organisasi nirlaba yang dibentuk tahun 1971. Organisasi ini sepenuhnya dibiayai
dari iuran anggota dan tidak disubsidi baik oleh pemerintah maupun oleh swasta.
Mereka menerbitkan newsletter tanpa sponsor dan iklan. Saat ini JOAA memiliki
sekitar 3000 anggota, 20-25% di antaranya adalah petani. Sisanya kebanyakan
adalah konsumen yang memiliki latar belakang berbagai profesi, seperti dokter,
ekonom, pekerja, wartawan dan lain-lainnya.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini