[OPINI] Proklamasi Sudah, Berdaulat Belum Sepenuhnya! Ironi Negeri Agraris Pengimpor Bahan Pangan

Penulis: Anton Waspo

Tragedi Impor Pangan
Impor pangan sudah menjadi candu bagi pelaku impor. Pernyataan seorang anggota ahli dewan ketahanan pangan nasional ini ada benarnya[i]. Sementara produksi pangan mengalami surplus dibandingkan jumlah konsumsi tetapi impor tetap dilakukan. Mencermati data-data yang diolah oleh Bappenas dalam dokumen RPJMN 2015 – 2019[ii] maka pernyataan itu benar adanya. Pada periode tahun 2009 – 2012, ada surplus beras, cabai dan bawang merah tetapi impor tetap terjadi. Sedangkan untuk kedelai, gula dan daging sapi produksi dalam negeri memang defisit.

Tabel 1. Produksi, Konsumsi dan Impor Bahan Pangan 2009 - 2012
 

Perdebatan tentang data produksi, konsumsi dan impor kerap terjadi. Ini yang menjadi pangkal masalah pertama di tataran kebijakan dan pengambilan keputusan untuk impor. Data produksi pangan yang tidak akurat menjadi pintu untuk memuluskan impor produk pangan.  Ambil contoh produksi beras, bisa jadi uang negara yang sudah dihamburkan untuk membeli beras lebih banyak daripada untuk memperbaiki peningkatan produksi pangan. Sudah jamak dimaklumi, membeli itu lebih murah sehingga membuat malas untuk memproduksi sendiri. Perlu alasan kuat untuk berhenti membeli dan mulai memproduksi sendiri.

Harga Produksi Pangan
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Kementan membeberkan fakta tentang harga produksi beras di beberapa negara Asia[iii].  Biaya produksi padi per ton pada tahun 2000 di China USD71, India USD 81 , Filipina USD 85, Thailand USD 129 dan Vietnam USD 64. Indonesia dengan kondisi yang relatif sama tetapi biaya produksi beras per ton mencapai USD 82. Hanya sedikit di bawah Filipina dan jauh lebih murah daripada Thailand. Perbedaan efisiensi ini ada pada kebijakan pemerintah dengan memberikan subsidi untuk produksi dan proteksi untuk perdagangan produk lokal.

Pangkal masalah kedua adalah biaya produksi pangan di negara lain memang lebih murah karena kebijakan pemerintahnya mendukung untuk itu.  Miris memang melihat kondisi ini menjelang 70 tahun usia kemerdekaan. Wajar saja jika impor jadi pilihan karena perbedaan harga produksi beras antara di Indonesia dan negara pesaingnya yang cukup lebar, misal dengan Vietnam. Keseriusan untuk memproduksi pangan tentu berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Memproduksi pangan sendiri berkaitan dengan kemandirian,kemudian barulah dapat berbicara kedaulatan. 

Data yang dipublikasikan Kementan RI tentang Ekspor dan Impor tanaman pangan menunjukkan Indonesia belum menjadikan sektor pertaniansebagai sektor prioritas pembangunan ekonominya. Mestinya pemerintah memiliki kebijakan yang kuat di sektor pertanian, sehingga negara tidak selalu tergantungkepada impor.  Akibatnya devisa banyakkeluar, produk lokal sulit bersaing dengan produk impor dan tidak membuka lapangan kerja baru di sektor pertanian.




Pada sisi lain, kebijakan impor pangan dilakukan atas alasan menjaga stabilitas politik dan keamanan. Jika harga berbagai komoditas pangandibiarkan mahal masyarakat konsumen akan marah sehingga dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan dalam negeri dengan segala dampak negatifnya. Akan tetapi di negeri yang tingkat korupsinya sangatlah parah seperti Indonesia, kebijakan ini patutlah diperdebatkan. Pada saat yang sama tidak tampak ada upaya yang sungguh memperbaiki kondisi ketersediaan pangan.

Pendapat bahwa biaya produksi pangan harus bersaing dengan pasar internasional dapat diikuti asalkan secara bersamaan ada perbaikan setidaknya di kebutuhan dasar yang lain. Bagaimana mungkin pada saat yang sama membeli harga pangan mahal tetapi harus membayar biaya kesehatan dan pendidikan juga mahal? Belum lagi di masyarakat perkotaan yang masih harus membayar air minum dengan harga mahal.

Pada saat usia Negara ini 100 tahun kelak. Artinya  30 tahun lagi, apa yang dapat dipersiapkan agar Indonesia mandiri mencukupi kebutuhan pangan dan berdaulat memproduksi pangan? Rentang antara tahun 1970-an sampai 2000-an menjadikan30 tahun lamanya waktu yang dapat kita pelajari dari dampak yang kita rasakan sekarang : impor pangan karena tidak melindungi lahan produksi dan petani yang memproduksi atas nama perdagangan internasional. Lalu, sekarang 15 tahun kemudian kita masih terbata-bata dan baru mempersiapkan kebijakan perlindungan petani dan perlindungan lahan pertanian.

Menguatkan Produksi Pangan menuju Kedaulatan Pangan
Perdebatan soal data produksi yang menjadi celah argumentasi impor mutlak harus diperbaiki, setidaknya saat ini bila melihat data statistik produksi Kementan sudah mulai ada perbaikan. Data yang ditampilkan selalu dua versi : versi BPS dan versi Kementan.  Tetapi ini bukan yang utama, yang utama adalah pijakan untuk produksi pangan yaitu lahan dan sarana produksinya yang menjadikan biaya produksi yang tidak efisien. Akan tetapi, tidak efisien di sisi produksi bukan jawaban untuk impor bila memperhitungkan kedaulatan pangan.

Perbaikan produksi pangan tentu harus dimulai dari ketersedian lahan untuk produksi. Rencana pemenuhan ketersediaan pangan yang dicanangkan di awal periode pemerintahan SBY untuk mendistrubusikan lahan kepada petani sampai 10 tahun kemudian tidak jelas keputusannya.  Jika ada petani dan buruh tani tidak mampu memproduksi pangan karena tidak ada lagi lahan, maka solusijangka panjangnya tentu penyediaan lahan. Impor pangan dengan harga murah bagi mereka adalah jawaban jangka pendek.

Pendistribusian kembali lahan kepada buruh tani dan petani kecil tidaklah cukup jika tidak dibarengi dengan perbaikan infrastruktur utama seperti irigasi dan akses transportasi untuk distribusi barang dan sarana produksi. Pembatasan alih fungsi lahan dari lahan pangan ke lahan komersial lain juga mutlak dijalankan. Untuk itu UU tentang lahan pertanian abadi masih dapat diharapkan untuk memproteksi serbuan impor pangan.

Selanjutnya,jika sesudah memiliki lahan dan dukungan infrastruktur tetapi semua sarana produksi harus kembali dibeli mengikuti harga pasar juga menjadi sia-sia. Pada titik ini petani hanya akan menjadi tukang tanam. Maka perlu dibarengi dengan kemauan dalam meningkatkan kemampuan petani untuk menggunakan teknologi yang sesuai dengan kondisi alam yang dihadapi. Pengakuan akan kemampuan petani memproduksi dan memperbaiki kualitas benih perlu diletakkan secara proporsional, janganlah buru-buru dicap pencurian hak milik intelektual atas benih. Atau dicap petani bukan ilmuwan sehingga tidak boleh memperbaiki kualitas benih.

Pada saat yang bersamaan, pola konsumsi sebagai bagian dari budaya perlu juga disesuaikan kembali. Gandum bukan pangan asli Indonesia. Tiga puluh tahun sejak tahun 1970 dengan tumpuan pada riset pangan instan dan pemasaran yang masif, kini kita lihat hasilnya. Gandum adalah bagian dari budaya pangan kita. Sayangnya semua impor. Demikian juga beras, bersamaan dengan pendekatan bahwa makanan pokok Indonesia yang bernilai gizi tinggi adalah beras maka inilah jadinya saat ini. Seberapa pun kencang kita ingin memproduksi beras, kebutuhan beras akan selalu naik diiringi peningkatan jumlah penduduk.

Produksi beras yang bertumpu pada daya dukung alam ada batasnya. Sehingga kampanye diversifikasi pangan non beras memang mutlak dilakukan. Pilihan pangan dikembalikan pada kondisi alamnya. Sayangnya yang kita gunakan saat ini baru pendekatan kampanye. Bandingkan pendekatan iklan pemasaran mie instan & roti serta kue yang menjadikan gandum dan olahannya digemari masyarakat.

Pendekatan program pertanian yang represif sudah tidak akan memperoleh tempat di Indonesia, seperti periode sebelum tahun 2000. Membebaskan pilihan petani memproduksi bahan pangan dengan mengikuti selera pasar seperti saat ini juga tidak tepat. Petani yang tidak mampu akan kalah bersaing, konsumen pangan akan merana karena harga mahal. Maka dua sisi ini harus dilakukan berbarengan : (1) melindungi produksi dan produsen pangan dalam negeri untuk memproduksi keberagaman pangan serta (2) menciptakan kebutuhan atas pangan produksi sendiri dengan medium yang tepat.



[i] Khudori ( Kecanduan Impor Pangan Koran Sindo 8 Agustus 2011).
[ii] Studi Pendahuluan RPJMN Bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019 Bappenas (2013)
[iii] Kebijakan proteksi dan promosi komoditi beras di Asia dan prospek pengembangannya di Indonesia, Analisis Kebijakan Pertanian Vol.02 No.04 2004 p340 -353




No comments:

Post a Comment

Silakan berikan tanggapan di sini