Tragedi Impor Pangan
Impor
pangan sudah menjadi candu bagi pelaku impor. Pernyataan seorang anggota ahli
dewan ketahanan pangan nasional ini ada benarnya[i].
Sementara produksi pangan mengalami surplus dibandingkan jumlah konsumsi tetapi
impor tetap dilakukan. Mencermati data-data yang diolah oleh Bappenas dalam
dokumen RPJMN 2015 – 2019[ii]
maka pernyataan itu benar adanya. Pada periode tahun 2009 – 2012, ada surplus
beras, cabai dan bawang merah tetapi impor tetap terjadi. Sedangkan untuk
kedelai, gula dan daging sapi produksi dalam negeri memang defisit.
Tabel
1. Produksi, Konsumsi dan Impor Bahan Pangan 2009 - 2012
Perdebatan
tentang data produksi, konsumsi dan impor kerap terjadi. Ini yang menjadi
pangkal masalah pertama di tataran kebijakan dan pengambilan keputusan untuk
impor. Data produksi pangan yang tidak akurat menjadi pintu untuk memuluskan
impor produk pangan. Ambil contoh
produksi beras, bisa jadi uang negara yang sudah dihamburkan untuk membeli
beras lebih banyak daripada untuk memperbaiki peningkatan produksi pangan. Sudah
jamak dimaklumi, membeli itu lebih murah sehingga membuat malas untuk
memproduksi sendiri. Perlu alasan kuat untuk berhenti membeli dan mulai
memproduksi sendiri.
Harga Produksi Pangan
Peneliti
dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Kementan
membeberkan fakta tentang harga produksi beras di beberapa negara Asia[iii]. Biaya produksi padi per ton pada tahun 2000
di China USD71, India USD 81 , Filipina USD 85, Thailand USD 129 dan Vietnam
USD 64. Indonesia dengan kondisi yang relatif sama tetapi biaya produksi beras
per ton mencapai USD 82. Hanya sedikit di bawah Filipina dan jauh lebih murah
daripada Thailand. Perbedaan efisiensi ini ada pada kebijakan pemerintah dengan
memberikan subsidi untuk produksi dan proteksi untuk perdagangan produk lokal.
Pangkal
masalah kedua adalah biaya produksi pangan di negara lain memang lebih murah
karena kebijakan pemerintahnya mendukung untuk itu. Miris memang melihat kondisi ini menjelang 70
tahun usia kemerdekaan. Wajar saja jika impor jadi pilihan karena perbedaan
harga produksi beras antara di Indonesia dan negara pesaingnya yang cukup
lebar, misal dengan Vietnam. Keseriusan untuk memproduksi pangan tentu
berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Memproduksi pangan sendiri berkaitan
dengan kemandirian,kemudian barulah dapat berbicara kedaulatan.
Data
yang dipublikasikan Kementan RI tentang Ekspor dan Impor tanaman pangan menunjukkan
Indonesia belum menjadikan sektor pertaniansebagai sektor prioritas pembangunan
ekonominya. Mestinya pemerintah memiliki kebijakan yang kuat di sektor
pertanian, sehingga negara tidak selalu tergantungkepada impor. Akibatnya devisa banyakkeluar, produk lokal sulit
bersaing dengan produk impor dan tidak membuka lapangan kerja baru di sektor
pertanian.
Pada
sisi lain, kebijakan impor pangan dilakukan atas alasan menjaga stabilitas
politik dan keamanan. Jika harga berbagai komoditas pangandibiarkan mahal
masyarakat konsumen akan marah sehingga dapat mengganggu stabilitas politik dan
keamanan dalam negeri dengan segala dampak negatifnya. Akan tetapi di negeri
yang tingkat korupsinya sangatlah parah seperti Indonesia, kebijakan ini
patutlah diperdebatkan. Pada saat yang sama tidak tampak ada upaya yang sungguh
memperbaiki kondisi ketersediaan pangan.
Pendapat
bahwa biaya produksi pangan harus bersaing dengan pasar internasional dapat
diikuti asalkan secara bersamaan ada perbaikan setidaknya di kebutuhan dasar
yang lain. Bagaimana mungkin pada saat yang sama membeli harga pangan mahal
tetapi harus membayar biaya kesehatan dan pendidikan juga mahal? Belum lagi di
masyarakat perkotaan yang masih harus membayar air minum dengan harga mahal.
Pada
saat usia Negara ini 100 tahun kelak. Artinya
30 tahun lagi, apa yang dapat dipersiapkan agar Indonesia mandiri
mencukupi kebutuhan pangan dan berdaulat memproduksi pangan? Rentang antara
tahun 1970-an sampai 2000-an menjadikan30 tahun lamanya waktu yang dapat kita
pelajari dari dampak yang kita rasakan sekarang : impor pangan karena tidak
melindungi lahan produksi dan petani yang memproduksi atas nama perdagangan
internasional. Lalu, sekarang 15 tahun kemudian kita masih terbata-bata dan baru
mempersiapkan kebijakan perlindungan petani dan perlindungan lahan pertanian.
Menguatkan Produksi Pangan menuju Kedaulatan
Pangan
Perdebatan
soal data produksi yang menjadi celah argumentasi impor mutlak harus
diperbaiki, setidaknya saat ini bila melihat data statistik produksi Kementan
sudah mulai ada perbaikan. Data yang ditampilkan selalu dua versi : versi BPS
dan versi Kementan. Tetapi ini bukan
yang utama, yang utama adalah pijakan untuk produksi pangan yaitu lahan dan
sarana produksinya yang menjadikan biaya produksi yang tidak efisien. Akan
tetapi, tidak efisien di sisi produksi bukan jawaban untuk impor bila
memperhitungkan kedaulatan pangan.
Perbaikan
produksi pangan tentu harus dimulai dari ketersedian lahan untuk produksi. Rencana
pemenuhan ketersediaan pangan yang dicanangkan di awal periode pemerintahan SBY
untuk mendistrubusikan lahan kepada petani sampai 10 tahun kemudian tidak jelas
keputusannya. Jika ada petani dan buruh
tani tidak mampu memproduksi pangan karena tidak ada lagi lahan, maka solusijangka
panjangnya tentu penyediaan lahan. Impor pangan dengan harga murah bagi mereka
adalah jawaban jangka pendek.
Pendistribusian
kembali lahan kepada buruh tani dan petani kecil tidaklah cukup jika tidak
dibarengi dengan perbaikan infrastruktur utama seperti irigasi dan akses
transportasi untuk distribusi barang dan sarana produksi. Pembatasan alih
fungsi lahan dari lahan pangan ke lahan komersial lain juga mutlak dijalankan.
Untuk itu UU tentang lahan pertanian abadi masih dapat diharapkan untuk
memproteksi serbuan impor pangan.
Selanjutnya,jika
sesudah memiliki lahan dan dukungan infrastruktur tetapi semua sarana produksi
harus kembali dibeli mengikuti harga pasar juga menjadi sia-sia. Pada titik ini
petani hanya akan menjadi tukang tanam. Maka perlu dibarengi dengan kemauan dalam
meningkatkan kemampuan petani untuk menggunakan teknologi yang sesuai dengan
kondisi alam yang dihadapi. Pengakuan akan kemampuan petani memproduksi dan
memperbaiki kualitas benih perlu diletakkan secara proporsional, janganlah
buru-buru dicap pencurian hak milik intelektual atas benih. Atau dicap petani
bukan ilmuwan sehingga tidak boleh memperbaiki kualitas benih.
Pada
saat yang bersamaan, pola konsumsi sebagai bagian dari budaya perlu juga
disesuaikan kembali. Gandum bukan pangan asli Indonesia. Tiga puluh tahun sejak
tahun 1970 dengan tumpuan pada riset pangan instan dan pemasaran yang masif,
kini kita lihat hasilnya. Gandum adalah bagian dari budaya pangan kita.
Sayangnya semua impor. Demikian juga beras, bersamaan dengan pendekatan bahwa
makanan pokok Indonesia yang bernilai gizi tinggi adalah beras maka inilah
jadinya saat ini. Seberapa pun kencang kita ingin memproduksi beras, kebutuhan
beras akan selalu naik diiringi peningkatan jumlah penduduk.
Produksi
beras yang bertumpu pada daya dukung alam ada batasnya. Sehingga kampanye
diversifikasi pangan non beras memang mutlak dilakukan. Pilihan pangan
dikembalikan pada kondisi alamnya. Sayangnya yang kita gunakan saat ini baru
pendekatan kampanye. Bandingkan pendekatan iklan pemasaran mie instan &
roti serta kue yang menjadikan gandum dan olahannya digemari masyarakat.
Pendekatan
program pertanian yang represif sudah tidak akan memperoleh tempat di
Indonesia, seperti periode sebelum tahun 2000. Membebaskan pilihan petani
memproduksi bahan pangan dengan mengikuti selera pasar seperti saat ini juga
tidak tepat. Petani yang tidak mampu akan kalah bersaing, konsumen pangan akan
merana karena harga mahal. Maka dua sisi ini harus dilakukan berbarengan : (1)
melindungi produksi dan produsen pangan dalam negeri untuk memproduksi keberagaman
pangan serta (2) menciptakan kebutuhan atas pangan
produksi sendiri dengan medium yang tepat.
[i]
Khudori ( Kecanduan Impor Pangan
Koran Sindo 8 Agustus 2011).
[ii]
Studi Pendahuluan RPJMN Bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019 Bappenas (2013)
[iii]
Kebijakan proteksi dan promosi komoditi beras di Asia dan prospek
pengembangannya di Indonesia, Analisis Kebijakan Pertanian Vol.02 No.04 2004
p340 -353
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini