Berbagai kasus
tentang pangan dan pertanian di Indonesia bermunculan dalam 68 tahun sejak
Indonesia merdeka. Penggundulan hutan dan konflik dengan masyarakat adat akibat
perluasan lahan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera, importasi
jutaan ton beras yang mengancam kestabilan harga gabah antara petani padi di
Jawa,masuknya Monsanto, perusahaan raksasa Amerika, dan bibit jagung transgenik
ke Indonesia, rencana pendirian Merauke Integrated Food and Energy Estate
(MIFEE) di Papua yang mengancam keberlangsungan masyarakat lokal dan
lingkungan, hingga terakhir kasus kriminalisasi petani di Karawang – semua
dapat ditilik dari kuatnya kapitalisme mengakar di dalam sektor pertanian dan
pangan di Indonesia. Kapitalisme pangan adalah suatu sistem di mana pangan dan
produk pertanian diperoleh melalui mekanisme pasar dan dioperasikan untuk
memperoleh keuntungan (profit). Meski
muncul dalam berbagai bentuk, kapitalisme pangan bukan hal baru, dan sudah ada
sejak zaman penjajahan Belanda. Tulisan ini bermaksudmengulas evolusi kapitalisme
pangan di Indonesia dan dunia, dampaknya bagi petani, konsumen dan lingkungan,
serta solusi aksi yang dapat kita berikan sebagai aktivis untuk melawan
cengkeraman kapitalisme ini.
Tiga rezim pangan di dunia
Sejarah
kapitalisme pangan di Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika yang terjadi di tingkat
global, setidaknya sejak Revolusi Industri di Eropa. Harriet Friedmann dan Phil
McMichael, dua pakar sosiologi dari Amerika Serikat, membagi perkembangan kapitalisme
pangan dunia semenjak awal Revolusi Industri hingga sekarang ke dalam tiga era
(atau rezim): Kolonialisme pangan, Industrialisme pangan dan Neoliberalisme
pangan1.
Revolusi
Industri menciptakan kondisi di masyarakat Eropa saat itu, di mana petani di
pedesaan beralih ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik, menyebabkan banyak
lahan ditinggalkan dan kota-kota besar kekurangan pangan. Harapan terbaik
adalah mengangkut produk pertanian dari negara-negara koloni di benua lain.Masa
ini, dalam kerangka kapitalisme, dikenal dengan istilah rezim Kolonialisme Pangan
(1860-an hingga 1930-an). Era ini dicirikan dengan eksploitasi lahan pertanian
besar-besaran di daerah-daerah koloni, seperti Australia, Amerika Serikat, dan
banyak negara tropis, disertai ekspor produk pertanian secara masif ke Eropa. Di
banyak tempat, terjadi pergeseran paradigma pertanian, dari “pemenuhan
kebutuhan sendiri” (subsisten) menjadi “komersialisasi produk pertanian untuk
pasar global”.
Gambar 1-kulturstelsel di Hindia Belanda Sumber: http://geschiedenis.kartonnen-platen.schoolplaten.webwinkel.lectorisalutem.nl/?pid=1454 |
Di Eropa, krisis
ekonomi berkepanjangan yang terjadi di penghujung abad ke-19, diikuti dengan
Perang Dunia I dan II, memicu terjadinya restrukturisasi terhadap sistem pertanian
dan perekonomian dunia. Amerika serikat (AS), sebagai pusat kekuatan baru,
membangun hegemoni-nya melalui sistem keuangan dunia berbasis US Dollar dan
teknologi pertanian yang kelak dikenal dengan istilah Revolusi Hijau. Sementara
sistem moneter baru memperkuat posisi AS di negara-negara maju seperti Eropa,
Revolusi Hijau mengakarkan AS di negara-negara berkembang.
Revolusi Hijau
berawal dari dikembangkannya gandum varietas unggul oleh Norman Borlaug,
seorang agronom dari AS. Dari sana, Revolusi Hijau menyebar ke berbagai penjuru
dunia, untuk berbagai jenis komoditas pangan (seperti jagung, beras dan
kentang). Varietas unggul memiliki ciri lebih responsif terhadap nutrisi
cepat-serap, tumbuh lebih cepat, dan menyerap air lebih banyak. Memang, dengan
ini varietas unggul dapat menghasilkan hingga tiga kali lipat hasil panen ketimbang
varietas lokal. Akan tetapi, varietas unggul juga disertai dengan satumasalah:bahwa
apa yang ditawarkan bukan hanya bibit, tetapi suatu paket teknologi yang padat
modal, yang terdiri atas bibit varietas unggul, pupuk kimia, sistem irigasi
intensif, mekanisasi pertanian, dan pestisida.Inilah yang mendasari
industrialisasi pangan.
Alaminya,
kapitalisasi sistem pertanian ini cenderung meningkatkan kesenjangan sosial di antara
petani. Pertanian intensif menyebabkan terjadinya akumulasi modal. Petani
dengan modal besarakan memperoleh keuntungan lebih besar pula. Sebaliknya,
petani gurem tidak akan mampu meningkatkan kapasitas produksi mereka. Di kala
terjadi kegagalan panen, mereka yang sudah terjerat hutang harus merelakan
lahan mereka dibeli oleh para petani besar, dan beralih menjadi buruh tani,
atau buruh pabrik di perkotaan.
Di Indonesia,
program Revolusi Hijau baru dapat masuk setelah Soeharto membuka pintu
investasi asing di tahun 1970. Badan PBB di bidang pertanian, FAO, bekerjasama
dengan USAid, memberikan bantuan pertanian melalui pengadaan varietas unggul,
pembuatan pabrik-pabrik pupuk nasional, dan paket pengendalian hama. Sepuluh
tahun sejak Revolusi Hijau dicanangkan di Indonesia, data menunjukkan bahwa
sebanyak 5% dari pelaku usaha pertanian padi di desa menguasai lebih dari 90%
lahan pertanian2.
Pola ini juga
terjadi di Amerika serikat. Pemerintah AS memberikan subsidi besar-besaran
untuk produksi gandum, jagung dan kacang kedelai, yang menyebabkan segelintirperusahaan
tumbuh menjadi sangat besar dan mendominasi sektor pertanian – sebut saja
Monsanto, Cargill, Novartis, dan Syngenta. Hal ini menjadi dasar bagi tumbuhnya
rezim pangan berikutnya di dunia.
Krisis minyak
bumi pada tahun 1973 akibat monopoli minyak oleh OPEC memukul mundur dominasi
AS terhadap dunia. Pelaku usaha menyadari bahwa menggantungkan diri pada
kebijakan suatu negara bukanlah suatu strategi yang baik. Perusahaan-perusahaan
besar di AS mulai berinvestasi di negara-negara lain. Terbentuklah apa yang
disebut Multi-National Corporations (MNC), perusahaan raksasa yang tidak lagi
dikekang oleh batas-batas negara. Negosiasi yang terjadi di tingkat regional
dan internasional, seperti melalui WTO atau AFTA, menuntut satu hal: negara
harus menghilangkan pajak, subsidi dan apapun yang menghambat terjadinya proses
perdagangan bebas dan menyerahkan semua ke mekanisme pasar. Karena itu, era ini
dikenal dengan istilah Neoliberalisme Pangan.
Gambar 2-10 MNC menguasai sebagian besar produk konsumen Diambil dari http://thepoliticalcarnival.net/wp-content/uploads/2012/05/10-multinational-corporations-control-most-consumer-brands.jpg |
Penutup
Satu hal yang
menarik adalah bahwa di awal abad ke-21, kapitalisme tidak lagi sekuat satu
abad sebelumnya.Ulrich Beck3, seorang sosiolog dari Jerman,
mengistilahkan masyarakat di abad ini sebagai risk society – masyarakat yang lebih peka terhadap informasi, lebih
kritis, lebih memperhatikan resiko dari segala bentuk modernisasi, dan lebih mau
berorganisasi untuk perubahan. Seiring dengan munculnya berbagai dampak buruk
dari kapitalisme pangan, gerakan-gerakan akar rumput mulai bermunculan untuk
melawan dominasi MNC.Hebatnya, mereka pun berhimpun di tingkat internasional.
Sebagai contoh, La Via Campesina (di
Indonesia diwakili oleh Serikat Petani Indonesia) yang menuntut kedaulatan
pangan dan hak-hak petani gurem, Slow
Food Movement sebagai respons terhadap meluasnya industri fast-food di berbagai belahan dunia,Fair Trade yang menyuarakan perdagangan
yang lebih berkeadilan, hingga gerakan-gerakan lokal seperti pasar petani (farmers’ market), Community-Supported Agriculture, komunitas organik, dan sebagainya,
mulai tumbuh dengan subur. Komunitas ini tidak lagi didominasi oleh petani dan
masyarakat terpinggirkan, tetapi juga masyarakat kelas menengah di perkotaan.
Satu langkah
nyata bagi kita untuk melawan kapitalisme pangan adalah melalui ekonomi komunitas – suatu
aktivitas ekonomi yang tidak didasari sepenuhnya oleh mekanisme pasar. Kita
dapat memulai dari hal-hal kecil: membeli produk lokal dan berbelanja di pasar
tradisional, menanam tanamanmu sendiri dan bertukar pangan (barter) dengan
kawan-kawan di komunitas, dan ber-ekonomi dengan uang sesedikit mungkin.Suarakanpula
kekhawatiranmu atas berbagai dampak kapitalisme pangan, serta sebarkan ide
tersebut ke teman-teman terdekat, atau lewat media-media sosial. Lebih lanjut,
mulailah terlibat dalam berbagai kegiatan di gerakan-gerakan akar rumput di
komunitas kamu, dan mulailah berjejaring!
Rujukan:
1Friedmann,
H. & McMichael, P. 1989. Agriculture and the State System: The Rise and
Decline of National Agricultures, 1870 to the Present. Sociologia Ruralis 29, 93 – 117.
2Hart, G.,
A. Turton, B. White, B. Fegan & L. T. Gheen (Eds.) 1989, Agrarian
Transformations: Local Processes and the State in
Southeast Asia. University of California Press.
3 Beck, U.
1992. Risk society: towards a new
modernity. SAGE.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini