Produk organik telah menjadi populer
beberapa tahun belakangan ini. Demi kesehatan, orang mau bersusah payah untuk
mendapatkannya. Namun seiring dengan popularitasnya yang menanjak, harga produk
organik di pasaran ternyata lebih mahal dari sayuran biasa. Satu ikat kangkung, misalnya, jika berlabel organik bisa berharga 2 sampai
3 kali lipat daripada kangkung tak berlabel.
Secara logika, biaya pertanian
dengan cara alami seharusnya lebih murah
dibandingkan dengan cara modern. Pupuk dan pestisidanya bisa berasal dari
bahan-bahan yang tersedia di alam. Terlebih di masa sekarang, telah ditemukan berbagai teknik pembuatan
kompos dari sampah organik yang sangat mudah dan sederhana. Setiap orang bisa
membuatnya dan biaya bertanam bisa semakin berkurang. Penyebab paling mungkin dari mahalnya produk organik
adalah berlakunya hukum pasar: makin diminati, harga makin tinggi.
Pada dasarnya, semua itu hanyalah pilihan. Masanubo Fukuoka
(praktisi pertanian alami dari Jepang) memberi contoh yang indah tentang hal
itu. Ia justru menolak dan marah besar ketika sayur dan buah-buahan organiknya
dijual lebih mahal oleh bandar di kota. Fukuoka berprinsip, bertani bukanlah
semata untuk mencari keuntungan, melainkan demi sebuah nilai yang lebih tinggi,
yaitu berkontribusi dalam menyediakan pangan bagi manusia lainnya. Jika produk
pertanian organik menjadi mahal maka hanya orang-orang kaya yang mau membelinya, sedangkan mereka yang miskin
tetap memilih makanan yang tidak sehat. Hal itu tidak adil bagi kemanusiaan1.
Menghindari
Mahal
Sejak kecil saya dibiasakan ibu
untuk menyantap makanan alami. Kehidupan di kampung mungkin pada umumnya memang
sama seperti itu. Sekalipun mulai dikenal vetsin dengan merek yang sangat
klasik dan pewarna makanan serbuk untuk membuat warna makanan camilan menjadi
menyala, namun tingkat penggunaannya
relatif lebih kecil dibandingkan sekarang.
Di masa itu, orang-orang kampung
masih mewarisi kebiasaan leluhurnya untuk menanam segala macam kebutuhan pangan
di sekitar pekarangan, tanpa pestisida. Menanam dalam skala kecil memang lebih
aman dari hama dibandingkan pertanian massal. Bumbu-bumbu dan sayuran, juga
kebutuhan protein dari telur dan daging “ditabung” di halaman. Kebutuhan pupuk dipasok dari kandang ternak
dan dedaunan kering yang jatuh dari pohon buah-buahan mereka.
Makanan Alami (Foto: dokumentasi penulis) |
Jika menginginkan penambah rasa,
orang cukup menggunakan kaldu ayam
kampung atau santan kelapa hasil parutan sendiri dari pohon di kebun sendiri.
Kebutuhan lemak tak perlu mengandalkan mentega, namun cukup dengan lemak
kambing atau lemak sapi yang dikeringkan. Pewarna dan pewangi makananpun
terkumpul di dalam tanaman pandan dan suji yang tumbuh subur di sudut kolam.
Itulah kehidupan sehat yang sedang saya coba tiru kembali.
Persepsi bahwa produk organik itu
harus mahal, jelas menjadi gugur jika kita mau melakukan kebiasaan orang-orang
di masa lalu semacam itu. Modalnya, hanyalah kemauan.
Berkebun
Terkait
berkebun, ada ulasan menarik dari Nina
Planck, dalam bukunya berjudul, “Real Food, Hidup Bebas Penyakit dengan Makanan
Alami.”
Nina yang dibesarkan di daerah
pertanian bercerita bahwa pertanian tradisional dan pertanian modern (pabrikan)
itu berbeda. Buah-buahan pabrik tidak bisa dipetik saat masak, karena tidak
akan bisa bertahan lama dalam perjalanan yang bisa jadi mencapai ribuan mil.
Tomat misalnya, dipetik saat “masih hijau” dan “keras” dan dibuat masak dengan
gas etilena. Anggur atau buah-buahan dalam keluarga beri bisa tetap
segar dan cemerlang warnanya selama 3 minggu karena diberi radiasi. Efek
radiasi menguntungkan supermarket namun melenyapkan aneka vitamin penting di
dalam buah-buahan2.
Sayuran dan buah yang ditanam secara
massal untuk kebutuhan komersial diproses dengan begitu banyak paparan
bahan-bahan kimia yang mengancam kesehatan. Kalau label organik pun tak
menjamin kemurnian produk pertanian, maka wajarlah jika orang akhirnya
cenderung berusaha menanam sendiri.
Kebun (Foto: dokumentasi penulis) |
Saya belum sepenuhnya mengandalkan
pasokan sayuran dari kebun sendiri.
Namun secara prinsip, saya menyadari betapa pentingnya untuk berusaha ke arah
itu. Kebun saya yang tetap belum rapi meski selalu saya bayangkan bisa rapi,
kini sedang berisi tanaman labu siam, roay/kara (sejenis kacang-kacangan),
singkong (untuk diambil daunnya), katuk (sejenis tanaman perdu yang bisa
diambil daunnya), cabai rawit, tomat, kacang tanah, bayam merah, bayam belang,
pepaya, basil, kemangi, terong ungu, dan oyong (sayuran buah yang tanamannya
merambat).
Hal yang menarik, anak-anak saya memiliki satu kesan yang sama
ketika menyantap sayuran hasil tanam sendiri, yaitu terasa lebih enak, manis, dan gurih. Jadi,
berkebun memang “tetangga dekat” dari
hidup sehat dan kaya makanan lezat.
Beli
Instan atau Memasak Sendiri?
Tidak semua bahan pangan bisa
disediakan sendiri di kebun. Namun kita tetap harus memilih, makanan jenis apa
yang kita beli. Produk siap makan ataukah bahan mentah dan kita memasaknya
sendiri?
Sebagai sebuah perbandingan, harga
jajanan instan makin terjangkau. Makanan
jenis keripik atau kerupuk yang dibungkus dalam kemasan menarik bisa dibeli
dengan harga seribu atau dua ribu. Akan tetapi, makanan itu tidak mengenyangkan. Anak-anak akan cenderung
melakukan pembelian berulang atau menjajal jenis lainnya dalam waktu yang berdekatan.
Alhasil, anggaran jajan sebenarnya bisa jauh membengkak jika dibandingkan
dengan membuat camilan sendiri.
Saya coba contohkan mie instan. Saya
sudah tidak ingat persis kapan terakhir kali menyantapnya. Awalnya, kami masih
menjadikan mie instan sebagai alternatif hidangan hiburan di akhir pekan atau
sebulan sekali. Makan bareng di teras atau di dalam rumah saat hujan turun
sangat menyenangkan. Sayangnya, sekalipun sudah ditambahi sayuran kebun di
dalam hidangan mie, dampak zat aditifnya tidak hilang begitu saja. Sariawan,
batuk, dan radang tenggorokan, paling sering menjadi indikasi ke arah itu pasca
makan mie instan. Karena itu, kami
memutuskan berhenti mengonsumsinya.
Karena anak-anak sudah terlanjur
menyukai mie, sebagai penggantinya saya ajak mereka membuat mie sendiri.
Anak-anak senang karena lewat kegiatan itu mereka akan punya kegiatan yang
menantang. Dan yang menarik, setelah
dihitung-hitung, biaya yang kami keluarkan untuk membuat mie sendiri jauh lebih
murah jika dibandingkan dengan membeli mie yang sudah siap masak.
Cukup bermodalkan ¼ kg terigu, 1
butir telur, ½ sdm garam, dan sesendok minyak goreng, kami bisa mendapatkan
stok mie yang lebih sehat untuk 6 porsi. Walaupun bahan bakunya tetap
diproduksi pabrik, setidaknya dari sisi bahan,
beberapa unsur yang dianggap berbahaya bisa dihilangkan.
Membuat Mie Bakso (Foto: dokumentasi penulis) |
Anak-anak juga senang mencoba membuat camilan lain yang
mereka sukai. Sebagian adalah makanan modern dan sebagian lainnya makanan
tradisional. Saya belikan buku resep makanan tradisional atau mencari resep
gratis di internet. Kami sudah mencoba membuat kue cucur, roti, serabi, urap talas, nagasari, bugis, bakso
ayam, siomay, dan bahkan membuat minyak goreng dari santan kelapa. Singkong
goreng, ubi rebus, talas kukus, atau kolak labu kuning, juga jadi favorit
anak-anak .
Bagi saya, proses pembuatan makanan
di rumah memberikan 3 keuntungan:
pertama, anak-anak mendapat makanan yang lebih sehat; kedua, keterampilan
mereka juga bertambah; dan ketiga, mengakarkan kebiasaan sehingga lidah mereka
dan selera mereka terbentuk melalui pengalaman yang berulang-ulang terjadi.
Membuat makanan sehat mungkin
terlihat ribet dan menghabiskan waktu. Namun semuanya akan menjadi mudah dan
terasa setimpal saat kita ingat betapa mahalnya biaya yang harus kita keluarkan
jika tubuh kita atau anak-anak kita menjadi sakit.***
Keterangan:
1 Masanubo Fukuoka, “Revolusi Sebatang
Jerami”, 2012.
2 Nina
Planck, “Real Food, Hidup Bebas Penyakit
dengan Makanan Alami”, 2006, hal. 133
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini