[PIKIR] Sudahkah Bangsa Indonesia Berdaulat Pangan?

Penulis: David Ardes Setiady

1http://www.spi.or.id/wp-content/uploads/2011/10/Aksi-Pemuda-Peduli-Pangan3.jpg
Menyambut peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-69, sebuah pertanyaan yang selalu relevan untuk ditanyakan adalah “sudahkah kita merdeka?”. Pertanyaan tersebut merupakan upaya pemaknaan yang diperlukan agar kita membangun kesadaran kritis tentang kondisi negeri ini. Bagaimanakah perkembangan kehidupan bangsa ini setelah mendeklarasikan kemerdekaannya tahun 1945 silam? Mimpi para pendiri bangsa ini adalah menyaksikan rakyatnya berdaulat, mandiri dalam mengelola kehidupannya. Di sini, pertanyaannya bisa diganti menjadi “sudahkah bangsa ini menjadi mandiri?”.


Kemandirian bangsa ini, bukan persoalan administratif semata, melainkan segala aspek kehidupan, terutama hal-hal mendasar yang diperlukan bagi penyelenggaraan kehidupan. Di antaranya adalah persoalan pangan, yang kian hari kian mengkhawatirkan. Krisis pangan yang mulai mendera bangsa ini, menjadi sebuah tanda tanya besar karena tanah nusantara sesungguhnya tanah yang kaya dan berlimpah. Persoalan kekeringan yang disebabkan oleh tidak menentunya kondisi cuaca, sering dituding sebagai penyebab utama terjadinya krisis pangan. Sementara persoalan teknis pertanian, yakni ketergantungan pupuk dan bibit adalah penyebab lain yang menegaskan adanya krisis pangan. Hal lain terkait pangan yang cukup mengkhawatirkan adalah pola makan masyarakat Indonesia saat ini, yang cenderung menggunakan bahan sintetis/kimiawi dimana dampak terhadap kesehatan tubuh sangatlah berbahaya dalam jangka panjang. Sementara penggunaan bahan sintetis tersebut mulai mengarah kepada ketergantungan di tingkat rumah tangga. Belum lagi, serbuan makanan instan dengan kandungan bahan sintetis yang menyebar melalui supermarket ataupun warung-warung kecil. Kesemuaannya itu perlu kita lihat satu per satu sebagai sebuah upaya untuk menjawab “sudahkah kita mandiri?”, khususnya di bidang pangan.

Krisis Pangan, Kesalahan Pengelolaan?
Cukup mudah mendeteksi gejala krisis pangan yang mulai melanda Indonesia, salah satunya adalah melihat tingginya angka impor yang dilakukan oleh bangsa ini, baik melalui pemerintah maupun para pengusaha impor. Yang mengkhawatirkan adalah jumlah impor yang tinggi juga terjadi pada bahan pangan, yang sebetulnya bisa dihasilkan oleh lahan di Indonesia. Bahan-bahan seperti beras, jagung, kedelai, bawang, bahkan garam dan gula hanyalah segelintir bahan yang diimpor dari luar negeri. Periode Januari – November 2013, data BPS mencatat nilai impor Indonesia mencapai US$ 8,1 miliar dengan volume mencapai 17 miliar kilogram. Angka ini sebetulnya termasuk tinggi untuk negara yang mengklaim dirinya sebagai negara agraris dan maritim.

Kalau misalnya kita bandingkan dengan kondisi geografis negara Indonesia, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan mencapai 3.257.483 km2. Di dalamnya terkandung keanekaragaman hayati yang tinggi, serta kenyataan bahwa alam Indonesia berada dalam jalur vulkanik (ring of fire), di mana debu gunung berapi mengembalikan unsur hara di dalam tanah yang baik bagi pertanian. Berbagaitumbuhan di Indonesia cukup banyak yang masuk ke dalam kategori tanaman pangan, misalnya umbi-umbian yang mengandung karbohidrat, buah-buahan, jagung, dll. Selain itu, sumber pangan lain terdapat pada hewan, baik di darat maupun yang hidup di perairan. Kalau berkaca dari negara Jepang, konsumsi ikan termasuk tinggi dan menunjukkan pengaruh positif terhadap pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat mereka. Artinya, alam Indonesia (baik darat maupun laut) sebetulnya menyediakan lebih dari cukup untuk kebutuhan pangan bagi rakyat negeri ini.

Kisah yang cukup ironis dari dampak impor ini adalah sempat menghilangnya produk kedelai dari pasaran, yakni tahu dan tempe. Kondisi tersebut terjadi di pertengahan tahun 2013. Para pengrajin tahu dan tempe mengeluhkan dua hal : pertama adalah mahalnya bahan baku kedelai di pasar, kedua adalah minimnya ketersediaan bahan baku kedelai. Kedua hal tersebut saling berhubungan dalam mekanisme pasar, di mana harga bahan baku yang mahal adalah akibat dari minimnya jumlah bahan baku yang tersedia. Seperti yang sudah dituliskan di atas, kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang diimpor, nilainya mencapai US$ 1 miliar dengan volume 1,62 miliar kg. Angka tersebut termasuk tinggi[1].
Kondisi tersebut semakin memprihatinkan ketika melihat banyaknya para petani yang beralih profesi ke sektor lain. Data sensus pertanian 2013 yang dirilis oleh BPS menunjukkan penurunan rumah tangga pertanian yakni sejumlah 26,13 juta rumah tangga dibandingkan dengan tahun 2003 yang berjumlah 31,17 juta rumah tangga[2].

Ketergantungan Pangan : Haruskah Makan Beras?
“Kalau belum makan nasi berarti belum makan”, kata-kata ini sudah lazim kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan persepsi masyarakat Indonesia terhadap pola makan. Kemudian kata-kata itu juga menunjukkan ketergantungan terhadap beras yang cukup tinggi sebagai makanan pokok. Mungkin kita sudah lupa bahwa makanan pokok suatu daerah tidak selalu beras. Di Papua, masyarakat asli biasanya akrab dengan umbi-umbian seperti sagu dan singkong sebagai sumber karbohidrat. Begitupun dengan pulau Jawa sendiri, sebetulnya juga mengenal umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat selain beras. Di Madura, jagung menjadi makanan pokok.

2http://www.ristek.go.id/file/gallery/2012/04/beras.jpg
Perubahan makanan pokok di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh Revolusi Hijau yang dijalankan oleh rezim Orde Baru hingga tahun 1990-an. Revolusi Hijau telah mengakibatkan perubahan alih fungsi lahan untuk menghasilkan beras sebanyak-banyaknya. Yang lebih lanjut berdampak kepada pola makan masyarakat yang menjadi bergantung kepada beras. Di saat ini, sudah mulai muncul gerakan untuk mengurangi konsumsi beras di masyarakat dengan mempromosikan sumber-sumber karbohidrat yang bisa ditumbuhkan oleh Indonesia, seperti sagu, ubi, singkong, jagung. Bahan pangan yang sebelumnya sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia.


Zat Aditif, Gaya Hidup Berbahaya
Sejak reformasi bergulir, ekonomi Indonesia cenderung dibuka seluas-luasnya untuk disusupi oleh asing sehingga terjadi industrialisasi di berbagai aspek. Industrialisasi pangan pun tidak terhindarkan hingga menyebabkan pengelolaan pangan dengan menggunakan mesin dan meningkatkan jumlah makanan dalam kemasan. Salah satu produk industri pangan yang “khas” Indonesia saat ini adalah mi instan. Sebuah kebiasaan yang mulai “membudaya” di masyarakat adalah ketika terjadi bencana alam, maka salah satu sumbangan yang diberikan berupa mi instan. Alasannya adalah agar lebih praktis dan cepat untuk segera menyantap jenis makanan yang dimaksud.

Menurut data World Instant Noodles Association (WINA), konsumsi mi instan di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 14,1 miliar bungkus. Dari peringkat yang disusun WINA, Indonesia berada di peringkat kedua setelah RRT[T1]  (Republik Rakyat Cina?) dalam hal mengonsumsi mi instan[3].
Padahal kita tahu, bahwa kandungan di dalam mi instan tersebut sangatlah tidak sehat bagi tubuh. Penggunaan zat-zat aditif seperti MSG (monosodium glutamate), pengawet, pewarna makanan, dsb, sangatlah banyak terdapat pada makanan yang diproduksi oleh pabrik. Gempuran makanan pabrik didukung pula oleh jaringan supermarket yang kian hari bertambah pesat hingga ke pelosok. Artinya, yang mengenal makanan pabrik tidak lagi masyarakat perkotaan, namun juga pedesaan.

3http://sin.stb.s-msn.com/i/8D/778C880E830314360945D96841F33.jpg
Kedaulatan Pangan Di Indonesia, Kapan?
Melihat situasi di atas, sesungguhnya kita belum dapat mengatakan bahwa Indonesia sudah berdaulat pangan. Tantangan yang kita hadapi tidak hanya soal menahan laju impor, namun lebih-lebih mengangkat kualitas manusia Indonesia untuk mengelola pangannya dengan baik. Pengelolaan pangan berupa kemampuan memproduksi sendiri yang baik, tentu dengan sendirinya bisa mengerem kebutuhan impor pangan. Selain itu, kita juga harus memiliki pendidikan tentang kesehatan pangan, untuk menanamkan kesadaran dalam pentingnya memilih pangan yang sehat dan alami. Karena kita sedang berhadapan dengan gempuran makanan pabrik yang mengandung berbagai bahan sintetis yang tidak baik bagi kesehatan tubuh.
Setelah semuanya itu dilakukan, pertanyaan terakhir adalah “Kapankah kita berdaulat pangan?”



[1] Dikutip dari http://bisnis.liputan6.com/read/791549/daftar-29-bahan-pangan-yang-diimpor-ri-sampai-november
[2] Seperti yang dirilis melalui http://www.tempo.co/read/news/2013/09/07/092511259/BPSi-Jumlah-Petani-Berkurang






 [T1]RRT = Republik Rakyat Tiongkok, tahun ini pemerintah RI sudah setuju untuk menghapus istilah “Cina” dalam tulisan resmi dan segala jenis penyebutan. Cina diganti dengan Tionghoa atau Tiongkok, tergantung penggunaannya.
Tionghoa = manusianya
Tiongkok = Negaranya

No comments:

Post a Comment

Silakan berikan tanggapan di sini