[Profil] Putu Oka Sukanta Progresif dengan Kesehatan Alternatif

Profil Proaktif kali ini mengangkat tokoh yang tidak asing lagi. Putu Oka Sukanta, sosok yang lebih terkenal di luar negeri karena karya sastranya daripada di dalam negeri. Terkait dengan kesehatan alternatif, saat ini beliau sedang menyelesaikan buku “Akupresur Tangan yang Aman dan Bermanfaat.”
Sejak kecil beliau terbiasa hidup di antara masyarakat miskin, petani, nelayan dan perempuan pekerja. Ayah dan ibunya, petani yang buta huruf beserta Bude-nya, memberikan contoh keseharian bagaimana menghormati manusia lain, terutama yang lebih miskin. Salah satu hasil dari nilai yang ditanamkan oleh ketiga sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupannya adalah Taman Sringanis. Lelaki kelahiran Singaraja, 29 Juli 1939 ini merupakan penggagas Taman Sringanis yang terletak di Bogor. Dari sebidang tanah yang dibeli berkat uang warisan orang tua, dibentuklah tempat yang dibuka untuk umum. Di sini publik dapat belajar berbagai jenis penguatan diri di berbagai bidang kehidupan yang tidak menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk menghormati orang tua beliau yang berasal dari Bali maka diberilah nama kegiatan dan tempat tersebut Taman (nama ibu Ni Ketut Taman) dan Sringanis (nama kakak perempuan ibu yang tidak menikah, Ni Ketut Sringanis).

[Pikir] LIBERALISASI KESEHATAN

Para pendukung neoliberalisme mengajukan teori baru bahwa krisis dan kegagalan pembangunan di sektor kesehatan adalah akibat tidak becusnya pemerintah mengurus sektor kesehatan ini. Ada empat argumen mendasar yang mereka ajukan terkait efisiensi kinerja pemerintah. Pertama, pemerintah memberikan subsidi besar-besaran, sehingga harga yang dibayar masyarakat tidak mencerminkan harga yang sesungguhnya. Kedua, pemerintah tidak mampu memberikan layanan yang komprehensif kepada seluruh masyarakat secara adil dan merata. Ketiga, banyaknya korupsi dan tingginya biaya birokrasi di pemerintahan. Terakhir, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah.

[Media] Resensi Buku: Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan Kepada Publik

Judul :Liberalisasi Dan Tantangan Dalam Penyediaan Jasa Kesehatan
Kepada Publik
Penulis :Tim Peneliti The Business Watch Indonesia (BWI);
Any Sulistyowati, David Sutasurya dan Navita Kristi Astuti
Tahun : 2004
Penerbit :The Business Watch Indonesia- WIDYA SARI PRESS,
SURAKARTA didukung oleh NOVIB OXFAM NETHERLANDS
Tebal : 214 hlm

Sehat, semua orang ingin selalu sehat. Hanya dalam keadaan sehatlah kita bisa beraktivitas apapun yang kita mau. Namun sejatinya manusia, kita tidak bisa selalu sehat. Terkadang kita jatuh sakit, dari ‘kelas ringan’ sampai ‘kelas berat’. Terutama untuk sakit ‘kelas berat’ yang sering kita rujuk ke pusat-pusat pelayanan kesehatan, kita berhadapan dengan sebuah sistem layanan kesehatan itu sendiri.
Layanan kesehatan adalah sebuah sistem yang jika ditilik lebih jauh lagi, ternyata adalah sebuah sistem yang rumit, panjang, kompleks, penuh intrik dan terkadang terkesan manipulatif. Oleh karena itu, sering kita melihat potret buram dari sistem layanan kesehatan ini. Namun, persoalan buruknya layanan kesehatan jelas bukan akibat dari krisis ekonomi semata. Banyak perkara lain yang terlibat.1

Editorial Edisi 8

EDITORIAL
Uang bisa bikin orang senang tiada kepalang
Uang bikin mabuk kepayang…
Uang… lagi-lagi uang ….
KAIL sekarang dimotori para aktivis muda yang berada pada tahun-tahun awal menapaki kehidupan ‘nyata’. Segala idealisme yang berkembang semasa mahasiswa, kini menghadapi tantangan. Menjadi pertanyaan besar bagi kami, tetap konsisten atau mengikuti arus dunia ? Salah satu titik perenungan penting yang kemudian berkembang adalah, seperti tercermin dalam kutipan lagu Nicky Astria di atas : mengapa uang menjadi begitu penting ? Alasan keharusan mencari cukup banyak uang, telah membuat cukup banyak aktivis melepaskan sebagian atau seluruh idealisme.
Melihat begitu penting persoalan ini, kami memunculkan PROAKTIF kali ini dengan tema Aktivis dan Pengelolaan Anggaran Pribadi, dengan modal nekat. Benar-benar modal nekat, karena di dalam tim KAIL saat ini belum ada yang memiliki latar belakang teoritis yang cukup untuk mengkaji persoalan ini. Dan, ternyata memang sulit mencari orang yang tertarik mendalami isu ini. Segala yang tertulis di dalam edisi kali ini, dipelajari dengan melakukan riset sendiri dari awal.

[Profil] Yati (CL UPC): “Kita tidak perlu takut pada pemerintah”

Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat Tegal yang masih kental, serta selalu berusaha membuat suasana gembira. Dialah Yati, perempuan kelahiran Tegal pada 20 Juli 1973. Walaupun cuma jebolan sekolah dasar, tapi Yati tidak berhenti untuk selalu belajar. Umur tiga tahun dibawa orang tuanya ke Jakarta, tapi kembali ke Tegal ketika umurnya tujuh tahun untuk disekolahkan di desa. Dia dititipkan dengan neneknya di desa untuk sekolah, karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah di Jakarta. Tapi pengalaman hidup di desa itu juga yang mengajari dia untuk bekerja keras. Umur tujuh tahun sudah membantu neneknya mengumpulkan padi yang tercecer di sawah dari hasil panenan para petani. Kemudian padi itu ditumbuk dan jadi beras, untuk akhirnya dijual atau digunakan sendiri.

[Profil] Aviva Nababan

Berbeda dengan Yati, Aviva Nababan (biasa dipanggil Avi atau Iva oleh orang-orang terdekatnya) adalah seorang jebolan Fakultas Pendidikan Sastra Inggris dari Universitas Atmajaya. Sedari kuliah Avi sering terlibat dalam kehidupan aktivis. Menapaki trotoar panas dan mengeluarkan aspirasi mahasiswa di era Reformasi ikut digelutinya. Setelah lulus, sedikit melenceng dari jurusan yang diambilnya saat kuliah, Avi sempat terlibat cukup dalam di ELSAM, sebuah LSM yang menyoroti persoalan Hak Asasi Manusia. Tak cukup di ELSAM, Avi pun turut membidani kelahiran suatu Yayasan baru yang keprihatinannya adalah pendidikan kritis bagi kaum muda. Di yayasan yang diberi nama Association for Critical Thinking ini, Avi mendedikasikan waktu dan energinya secara cuma-cuma.

[Pikir] Dari Alat Tukar menjadi Alat Kekuasaan Menelusuri evolusi makna dan peran uang dalam kehidupan

Apakah anda kenal dengan gurauan tentang mengapa orang Jawa tidak bisa kaya seperti orang Cina Perantauan ?[1]
Katanya, itu karena kalau orang Jawa ke luar rumah dengan maksud mencari penghidupan, mereka bilang, "Mau cari kerja" sedangkan orang Cina Perantauan bilang, "Mau cari uang". Jadilah orang Jawa memang mendapatkan pekerjaan seperti yang diinginkan, bukannya uang, sehingga mereka selalu miskin.
Gurauan ini sebenarnya mencerminkan kontras antara budaya agraris yang bergantung/berorientasi pada alam dan budaya yang bergantung/berorientasi pada uang. Seberapa dalamkah makna perbedaan ini bagi kehidupan kita, bahkan bagi masa depan umat manusia ke depan ?
Di dunia modern sekarang ini, sadar atau tidak sadar, banyak dari kita yang merasakan kontradiksi dari dua model pemaknaan akan uang.

[Masalah Kita] PENGHARGAAN UNTUK PEKERJA LEMBAGA NIRLABA (AKTIVIS)

Ketika pengasuh buletin ini meminta saya untuk menulis pendapat tentang gaji atau honor yang layak untuk pekerja lembaga nirlaba atau para aktivis, saya kontan teringat beberapa pengalaman. Baik pengalaman saya sendiri maupun teman-teman, terkait dengan tema ini yang kadang-kadang jadi “sensitif”. Berikut saya bagikan pengalaman tersebut yang mungkin dapat menjadi gambaran pendapat saya tentang gaji aktivis atau pekerja lembaga nirlaba.

Bekerja demi idealisme
Beberapa tahun yang silam, saya bekerja di sebuah lembaga yang bergerak di isu HAM. Buat saya yang masih nebeng orang tua dan kantor yang tidak terlalu jauh dari rumah, gaji yang saya terima cukup untuk memenuhi kebutuhan saya selama sebulan. Saya juga masih dapat mengangsur asuransi jiwa dengan premi yang paling rendah.

[Opini] Absurdnya Ekonomi Uang

Banyak orang sekarang yang menyatakan bahwa kegilaan pada uang adalah hidup yang realistis. Kita sekarang tidak bisa hidup tanpa uang. Betulkah ? Apakah uang dapat kita makan atau mengobati kita dari penyakit ?
Bila anda terperangkap sendirian di sebuah pulau kosong di tengah lautan luas, dengan segudang uang atau emas, apakah uang dapat membantu anda hidup ? Paling-paling uang kertas hanya menjadi kertas tissue, uang logam untuk mainan anak-anak dan emas tidak lebih dari sebuah batu. Kenyataannya yang benar adalah, kita tidak bisa hidup tanpa makanan, tanpa air dan tanpa udara.
Uang, tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri bagi manusia. Uang hanya bernilai pada saat suatu komunitas menyepakatinya sebagai alat tukar. Ya, nilai uang adalah murni hasil konsensus sosial.
Kegilaan pada penumpukan uang membawa kita pada situasi yang absurd.

[Media] Ulasan Buletin “BUJET”

Judul Buletin : Bujet
Penerbit : Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) dan Fors Foundation (FF)
Pemimpin Redaksi : Dedi Haryadi
Alamat redaksi : Jl. Kidang Pananjung No. 5C, Bandung, 40135. Telp/Fax (022) 250 1954, (022) 7078 7931
Email : bujet@bdg.centrin.net.id

Persoalan anggaran merupakan persoalan riil di depan mata yang kasat mata. Pada umumnya orang akan cenderung menutup mata, pura-pura tidak tahu, bahkan tidak mau tahu dan menganggap bahwa persoalan anggaran merupakan persoalan yang tabu untuk dibahas secara terbuka. Sebagian kecil orang yang mempunyai keingintahuan yang besar dan mengambil sikap kritis justru seringkali dianggap sebagai “tukang ikut campur”. Sebagai akibat dari pengekangan rasa ingin tahu dan kekritisan terhadap anggaran, kita bisa melihat bagaimana penyelewengan anggaran tumbuh dengan suburnya, mulai dari tingkat yang terendah hingga tingkat yang paling tinggi. Tentunya ada faktor-faktor lain yang turut memupuk suburnya penyelewengan tersebut, seperti belum terbangunnya budaya transparansi, dan sebagainya.

[Tips] TIPS MENGELOLA UANG

Uang merupakan hal yang dirasa sensitif oleh masyarakat sekarang ini. Terlebih lagi oleh para aktifis yang notabene memiliki penghasilan pas-pasan, tentu hal ini bisa menjadi hambatan dalam melakukan aktifitas hariannya. Namun dengan pengelolaan keuangan yang maksimal, aktivitas harian aktifis tidak akan terganggu. Lebih dari itu, aktifis dapat menyisihkan uangnya untuk disimpan dalam tabungan.
Berikut beberapa langkah jitu untuk mengatur keuangan agar lebih efektif dan efisien.
· Buatlah rekening dari transaksi keuangan yang mungkin terjadi.
Rekening ini nantinya berguna untuk mengelompokkan transaksi keuangan sehingga pengguna dapat dengan mudah mengevaluasi pengeluarannya. Pembuatan rekening ini terdiri dari rekening utama dengan beberapa subrekening yang dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan.
Berikut ini adalah contoh sebuah rekening pribadi.

[Jalan-jalan] BALAI WARGA MARLINA

Kalau anda mendengar kata Balai Warga jangan membayangkan sebuah bangunan yang kokoh, luas dan lengkap fasilitas. Tempatnya sederhana dengan desain rumah panggung dari bambu, ada papan triplek untuk menulis dan papan informasi, duduk lesehan dan angin segar yang dibiarkan masuk. Balai Warga Marlina adalah salah satu balai yang didirikan oleh masyarakat kampung Muara Baru dan Urban Poor Consorsium (UPC-LSM pendampingan rakyat miskin kota), terletak di salah satu pinggiran kota Jakarta, tepatnya di kampong Muara baru, kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Untuk menuju kesana sangatlah mudah, dari stasiun Kota bisa naik angkot jurusan Muara Baru atau kalau tidak mau repot bisa langsung naik bajaj. Memasuki jalan Marlina, kita akan melihat sederetan rumah penduduk yang padat dan lalu lalang orang di gang sempit dengan berbagai aktivitasnya. Tanya saja Balai Warga Marlina pasti semua orang tahu dan akan berbaik hati menunjukkan arahnya.