Aktivis,
siapakah mereka?
Sesungguhnya, siapapun bisa menjadi
aktivis. Bahkan, setiap orang yang melakukan aktivitas guna mendorong perubahan
situasi maupun kebijakan yang lebih baik bagi masyarakat maupun lingkungan
dapat disebut sebagai aktivis. Hanya saja, terminologi aktivis saat ini menjadi
sempit pada dunia aktivis yang suka melakukan protes di jalan-jalan atau di depan
gedung wakil rakyat. Aktivis dipandang sebagai sesuatu yang radikal, beringas
dan seram.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), aktivis adalah orang yang mampu menggerakkan orang lain untuk
bertindak. Aktivis memiliki kemampuan mengatur orang lain (organisatoris), dan
dianggap sebagai tokoh dan pelopor di bidangnya. Salah besar jika selama ini
aktivis hanya ada pada lingkup dunia mahasiswa. Tidak hanya mahasiswa saja yang
bisa berperan sebagai aktivis. Seorang ibu rumah tangga pun bisa menjadi
seorang aktivis, ketika kriteria yang disebut di atas telah dilakoni oleh ibu
rumah tangga tersebut.
Menjadi seorang aktivis adalah sebuah
pilihan. Seseorang tergerak untuk menjadi aktivis, karena ada sentuhan di dalam
sanubarinya untuk melakukan sesuatu. Pun untuk menjadi aktivis, sesungguhnya
tak perlu berpatokan seperti para tokoh-tokoh aktivis yang karismatik, sering
tampil berorasi di hadapan massa atau piawai dalam mengatur strategi sebuah
gerakan massa. Dengan langkah-langkah kecil yang dilakukan demi perubahan ke arah yang lebih baik, Anda sudah
menjadi seorang aktivis.
Esensi seorang aktivis terletak pada
komitmennya untuk mengabdi kepada masyarakat dan lingkungan. Seseorang menjadi
aktivis karena ia tergerak ketika melihat ketidakadilan dalam sebuah sistem.
Seorang aktivis senantiasa tergerak untuk memperjuangkan hak-hak para korban
yang mengalami ketidakadilan. Korban dapat berasal dari apa saja, misalnya :
pengungsi korban perang atau bencana alam, lingkungan hidup, atau masyarakat
miskin kota.
Seorang aktivis memandang bahwa hidup
ini bukanlah semata-mata lahir-bersekolah-bekerja-menikah-punya anak-lalu mati,
tetapi ia melihat bahwa hidup itu hendaknya memiliki makna. Dan ia memaknai
hidupnya dengan cara berbuat sesuatu bagi orang lain. Seorang aktivis memandang
bahwa segala ilmu dan kekayaan yang ia miliki tak akan berarti apa-apa jika
tidak disumbangkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
Oleh karena itu, menjadi seorang
aktivis hendaknya dimulai dari kehendak diri yang terdalam. Menjadi aktivis
bukanlah sekedar latah karena melihat teman-teman sekelas aktif di organisasi
tertentu. Menjadi aktivis bukan karena terlihat keren berorasi di hadapan
massa. Menjadi aktivis adalah karena kita ingin memaknai hidup ini dengan
melakukan sesuatu bagi sesama, terutama mereka yang mengalami ketidakadilan dan
ketertindasan.
Awal
sebuah aktivisme
Apakah aktivis itu hanya melulu
mahasiswa? Tentu tidak. Meski sesungguhnya, dunia aktivisme dimulai di dalam
lingkungan kemahasiswaan. Lingkungan di mana seseorang mengalami gemblengan
sebuah kawah candradimuka untuk terjun berkarya di dalam masyarakat. Dunia
kampus menyiapkan para mahasiswa untuk berlaga dan bersaing di dalam masyarakat.
Dunia yang terdiri dari lingkungan pekerjaan, lingkungan hidup (alam) dan
masyarakat.
Pendidikan di kampus, hendaknya tidak
sekedar menanamkan ilmu dari segi intelektual kepada para mahasiswa. Namun,
lebih dari itu, kampus hendaknya menanamkan sikap pengabdian bagi masyarakat.
Bahwa ilmu yang mereka dapatkan di universitas, bukan semata-mata untuk
memenuhi kepentingan dirinya sendiri di masa depan. Ilmu adalah sesuatu yang
dapat dikembangkan, disumbangkan demi kebaikan bersama.
Pengabdian masyarakat, itulah hakikat
aktivis. Aktivis adalah mereka yang secara sukarela membagi ilmu dan
keterampilan mereka demi kemajuan masyarakat. Berdasarkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang mereka miliki, aktivis menyuarakan hak-hak rakyat. Para
aktivis mendorong perubahan ke arah kebijakan yang menguntungkan semua pihak.
Para aktivis menentang ketidakadilan, ketertindasan dan keterbelakangan kaum
tertentu.
Aktivis
Ramah Lingkungan
Di dunia ini terdapat berbagai jenis
aktivis, mulai dari aktivis pendidikan, perempuan, anak jalanan, hingga aktivis
yang menyuarakan isu-isu lingkungan hidup. Pembagian jenis aktivisme itu salah
satunya berdasarkan minat, latar belakang dan keahlian seseorang. Seorang
aktivis lingkungan hidup misalnya, memiliki pengetahuan lebih banyak mengenai
isu pencemaran dan pelestarian lingkungan hidup daripada pengetahuan tentang
mediasi konflik. Sebaliknya, aktivis hak asasi manusia adalah orang yang
memiliki keprihatinan dan pengetahuan lebih banyak mengenai isu ketidakadilan,
kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dibanding pengetahuan tentang
lingkungan hidup.
Seyogianya, dunia aktivisme memiliki
hubungan satu dengan yang lainnya. Seorang aktivis lingkungan hidup hendaknya
menjalin kerja sama dengan aktivis yang memiliki keprihatinan berbeda. Meski
berbeda, terkadang ada isu-isu yang saling bertindihan, seperti contoh berikut
ini :
Sudah sering kita menyaksikan, para
aktivis pendorong perubahan kebijakan dewan rakyat berdemonstrasi di depan
gedung perwakilan rakyat yang megah di satu pojok ibu kota. Ketika demonstrasi
selesai, kondisi di depan gedung perwakilan rakyat kotor dan berantakan.
Puntung rokok di mana-mana, sampah kemasan minuman maupun kertas pembungkus
nasi terserak di mana-mana. Tidakkah para aktivis tersebut menyadari, bahwa ada
dampak lain dari aktivitas mereka yang mungkin akan menindas pihak-pihak
tertentu? Ironi, bahwa kelompok aktivis yang justru berupaya menghilangkan
ketertindasan sosial justru menciptakan ketertindasan bagi lingkungan hidup
dengan membuang sampah begitu saja.
Para aktivis berdemo di gedung MPR Sumber foto : http://sakajogja.multiply.com/journal/item/39 |
Contoh lain yang pernah disaksikan
oleh penulis sendiri adalah ketika para pengungsi Aceh korban kekerasan aparat
pada fase DOM (Daerah Operasi Militer) maupun pasca tsunami. Beberapa pengungsi
mencari perlindungan sementara di sebuah area taman nasional. Para aktivis
pembela hak asasi pengungsi sibuk beraktivitas mendampingi para pengungsi,
tanpa menyadari bahwa tempat yang digunakan pengungsi sebagai rumah sementara mereka
adalah sebuah taman nasional. Mereka mendampingi pengungsi dalam hal kesehatan
hingga pendidikan. Dalam bayangan para aktivis pembela hak asasi pengungsi,
momen pengungsian adalah suatu peristiwa yang hanya sementara sifatnya.
Akan tetapi fakta berbicara lain. Pengungsi
seperti menemukan rumah dan tanah yang baru. Dari tenda terpal, mereka
mengganti naungan dengan kayu-kayu yang ditebangi dari pohon-pohon di taman
nasional. Mereka menjadikan kayu-kayu dari pohon-pohon tersebut sebagai bahan
bakar untuk mengasapi dapur dan menghangatkan diri di malam hari. Padahal,
lahan taman nasional sesungguhnya tak bisa dihuni oleh manusia, karena ia
merupakan habitat satwa-satwa liar yang mungkin membahayakan kehidupan para
pengungsi itu sendiri.
Baik pengungsi maupun aktivis pembela
hak asasi pengungsi kurang mempedulikan fakta bahwa menebangi pohon di wilayah
taman nasional adalah kegiatan terlarang. Aktivis pembela pengungsi lebih
peduli pada penyembuhan trauma mental pengungsi akibat kekerasan atau lebih
peduli untuk mengejar ketinggalan pendidikan anak-anak pengungsi dibanding
anak-anak sekolah lainnya.
Berdasarkan dua gambaran tentang
dunia aktivis di atas, muncul istilah ‘aktivis
ramah lingkungan’. Aktivis ramah lingkungan, adalah aktivis manapun yang
mempertimbangkan isu lingkungan sebagai dasar aktivitasnya. Ia bisa saja
mengambil peran aktivis pendorong perubahan kebijakan pemerintah, namun ia juga
mempertimbangkan isu-isu lingkungan sebagai dasar baginya untuk mengambil sikap
dan berpihak. Seorang aktivis ramah lingkungan tak hanya berpatokan pada satu
isu yang dibelanya. Ia mempertimbangkan dampak dari isu yang dibelanya terhadap
isu lain, seperti isu lingkungan hidup, yang akan menjadi terpinggirkan atau
tertekan.
Dalam prakteknya, masih sangat jarang
terlihat para aktivis memerhatikan isu lingkungan hidup dalam segala
aktivitasnya, demikian papar Ari Ujianto, direktur Yayasan Desantara dan mantan
staff Urban Poor Consortium (UPC). Jangankan turut memerhatikan isu lingkungan
hidup di lapangan, bahkan di kantor para aktivis tersebut, aspek-aspek
pelestarian terhadap lingkungan pun masih diabaikan. Misalnya, penggunaan
kertas secara berlebihan atau menggunakan air minum kemasan dalam gelas.
Hal di atas bisa jadi menunjukkan
tendensi ketidakpedulian terhadap isu lingkungan hidup. Akan tetapi, menurut Ari
Ujianto, faktor di atas bisa jadi disebabkan oleh ketidaktahuan. Para aktivis
belum paham benar apa dan bagaimana bertindak terhadap isu lingkungan. Hal ini
juga dikuatkan oleh David Ardes Setiady, aktivis KAIL yang bergerak di bidang
pengembangan para aktivis dan pernah berkecimpung di advokasi para buruh. Ia
baru mengenal isu lingkungan hidup pada saat kuliah, dan setelah mengenalpun,
kesadaran untuk berperilaku sesuai aspek lingkungan hidup pun masih rendah.
“Kalau bilang peduli dengan
lingkungan, saya akan bilang peduli. Sering kali saya jadi merasa bersalah
ketika mengetahui dampak lingkungan dari apa yang saya lakukan. Kalau
kepedulian keluar, baru sebatas berbagi informasi dengan lingkaran terdekat tentang
isu lingkungan. Terus terang, saya merasa kesulitan dalam membagikan informasi
tersebut karena belum sepenuhnya paham.” papar David Ardes. Ari Ujianto
merasakan hal yang sama. Beliau merasa kesulitan dalam menyebarkan prinsip
ramah lingkungan di komunitas kantornya, karena masalah kebiasaan yang sulit
diubah.
Namun demikian, beberapa organisasi kemasyarakatan non-lingkungan
hidup, seperti UPC yang diketuai oleh Wardah Hafidz dan KAIL yang dikoordinir
oleh Any Sulistyowati, telah menjalankan aspek-aspek keberlanjutan lingkungan,
dengan meminimalkan penggunaan kertas, tidak menggunakan minuman kemasan
plastik hingga mengonsumsi penganan lokal yang dikemas tanpa plastik sebagai
konsumsi di setiap kegiatan.
Contoh lain, seperti yang dilakukan oleh Eka Prahadian Abdurahman,
kepala divisi kesehatan kantor Caritas Medan, Sumatera Utara. Beliau
mengatakan,
“Bagi
kami, isu lingkungan hidup penting untuk diintegrasikan dengan isu-isu lain,
seperti isu Drugs & HIV. Untuk isu pengurangan dampak buruk narkoba (Harm
Reduction) dan HIV, kami mengalami benturan antara isu lingkungan dengan program
layanan jarum suntik steril, karena banyak meninggalkan limbah jarum bekas
penggunaan narkoba, tanpa ada sistem pengelolaan limbah yang baik di lapangan.
Solusi yang dicari untuk program ini adalah melakukan pertukaran jarum suntik
steril (Needle Exchange Program) artinya setiap pengguna jarum suntik yang
ingin memperoleh jarum suntik baru diwajibkan membawa limbah bekasnya untuk
mengurangi limbah di lapangan, lalu limbah yang sudah dikumpulkan diserahkan ke
rumah sakit untuk dimusnahkan di insinerator. Hanya kita tidak tahu persis
apakah proses ini juga berdampak pada kerusakan lingkungan.”
Memang sudah ada beberapa aktivis dan
organisasi-organisasi yang menjalankan prinsip ramah lingkungan seperti UPC dan
Kail, itu karena penggerak di dalamnya sadar sungguh tentang aspek
keberlanjutan lingkungan hidup atau dekat dengan organisasi lingkungan hidup
yang ada dan pernah berjejaring dan bekerjasama dalam satu kegiatan. Prinsip
ramah lingkungan ditularkan melalui kebiasaan, perilaku dan dalam jejaring
kerjasama.
Meski tersendat, tetapi
langkah-langkah kecil telah dilakukan. Yayasan Desantara misalnya, tak lagi
membeli air minum kemasan melainkan memasak sendiri air minum mereka. Bahkan
UPC yang tidak lagi memiliki kantor yang berwujud bangunan, secara implisit
telah menyatakan sikap ramah lingkungan. Dengan tidak memiliki bangunan kantor,
berarti meminimalkan aktivitas menghasilkan sampah. Langkah-langkah kecil
berbasis ramah lingkungan ini dimulai dan ditularkan perlahan-lahan dari satu
orang yang peduli ke semakin banyak orang.
Aktivis
Lingkungan
‘Aktivis
lingkungan’ sedikit berbeda dengan
aktivis ramah lingkungan. Orang yang menjadi aktivis lingkungan adalah mereka
yang mendedikasikan waktunya untuk memperjuangkan isu lingkungan. Ada beragam
cara dipilih dalam menjadi aktivis lingkungan, antara lain melalui pendidikan,
pengelolaan komunitas yang ramah lingkungan, advokasi kebijakan terkait isu
lingkungan, dan sebagainya.
Tim YPBB mempersiapkan kampanye Zero Waste Sumber foto : Tim YPBB / Anilawati N. |
Menurut Anilawati Nurwakhidin, seorang aktivis lingkungan dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), ada beberapa kendala yang dihadapi oleh para aktivis lingkungan hidup, yang terdiri dari kendala dari dalam dan dari luar diri sang aktivis. Kendala yang berasal dari dalam diri adalah tiadanya visi jangka panjang dalam memperjuangkan isu lingkungan hidup. Beberapa aktivitas dijalankan secara reaktif dan sporadis, tanpa diakhiri refleksi dan dokumentasi untuk pembelajaran di masa depan. Dan mungkin, karena sifatnya yang masih reaktif dan sporadis inilah perjuangan aktivis lingkungan sering mengalami pasang dan surut, gaung perjuangan lingkungan hidup terdengar di setiap penjuru daerah, tetapi sifatnya hanya sekedar seremonial belaka hingga terlihat mirip dengan situasi sebuah pesta, heboh di saat acara berlangsung, namun adem ayem setelahnya.
Kendala dari luar diri aktivis
lingkungan antara lain adalah beberapa orang menganggap bahwa kegiatan aktivis
lingkungan tidak cukup layak untuk ditekuni dalam jangka panjang. Salah satu
alasannya adalah, karena masih ada orang menganggap aktivis lingkungan tidak
memiliki pendapatan yang cukup baik dibanding orang-orang yang bekerja secara
kantoran. Selain itu, organisasi yang mewadahi para aktivis lingkungan juga
belum terlihat memiliki visi jangka panjang bagi internal organisasinya,
sehingga hal itu dapat menimbulkan rasa ketidakpastian dari para anggotanya.
Penutup
Dari uraian di atas, tampak kerucut
masalah terletak pada dua hal. Pertama, perlunya koordinasi lintas bidang di
dalam dunia aktivis. Melalui komunikasi dan koordinasi, tiap-tiap aktivis akan
memiliki gambaran yang menyeluruh tentang fenomena sosial kemasyarakatan dan
lingkungan hidup daripada sekedar mengetahui gambaran sempit tentang isu yang
ia bela. Dengan komunikasi antara para aktivis lingkungan hidup dengan aktivis
non-lingkungan hidup, hambatan berupa ketidaktahuan dan ketidakpedulian untuk
menjadi aktivis ramah lingkungan dapat diatasi.
Kedua, perlunya visi jangka panjang
bagi aktivis lingkungan hidup untuk terus menggulirkan perjuangan mereka
membela lingkungan hidup. Jika visi jangka panjang tentang keberpihakan
terhadap lingkungan hidup telah terbentuk, ia tentu dapat diintegrasikan,
dikomunikasikan dan diselaraskan dalam forum-forum komunikasi antar aktivis
lintas bidang. Sehingga, isu-isu ramah lingkungan dapat pula diintegrasikan
bersama isu-isu lain bagi tercapainya perubahan kehidupan seluruh umat manusia
tanpa terkecuali, ke arah yang lebih baik. Semoga.
(Navita Kristi Astuti)
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini