Terik matahari pagi
mengiringi kami menuju lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)
Banyu Biru milik Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Dengan
menumpang sebuah mobil yang dikemudikan oleh Pak Aep, kami menuju ke wilayah
pinggir sungai yang cukup sempit. Di sana, terlihat pipa-pipa menjulur dari
kaki gunung. Ujung pipa-pipa itu berakhir di sebuah bangunan berisi mesin-mesin
yang mampu mengkonversi arus air menjadi arus listrik. Bangunan yang luasnya
kira-kira 3 x 8 meter itu tampak masih baru, ditandai oleh segarnya polesan cat
pada dindingnya. Di depan bangunan terdapat sebuah antena parabola.
Namun, antena tersebut belum berfungsi. Rencananya, antena parabola tersebut
akan berfungsi sebagai pengontrol mesin PLTMH jarak jauh. Di dekat bangunan
kecil PLTMH itu, terdapat tanah seluas 200 m2 yang direncanakan
untuk berbagai fungsi di kemudian hari.
Perjalanan ini dilakukan oleh tim KAIL dalam rangka
kegiatan evaluasi keberadaan PLTMH Banyu Biru yang didanai oleh Hivos. Tim KAIL
beranggotakan Any Sulistyowati sebagai evaluator, dan para asisten yang terdiri
dari Selly Agustina, Hilda Lionata, dan David Ardes. Adapun Tim KAIL
mengevaluasi PLTMH dari segi sosial-kemasyarakatan, sedangkan dari segi teknis
dilakukan oleh Pak Ady dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelum menuju
lokasi PLTMH, rombongan terlebih dahulu mampir ke sekretariat SPPQT yang
terletak di Kalibening. Di sekretariat itu, rombongan melakukan wawancara
terhadap seluruh pengurus SPPQT tentang mikro hidro dan profil organisasi.
PLTMH dibangun di
Dusun Bendo Sari,
Desa Kebumen Banyu Biru, Kabupaten Semarang. Perjalanan menuju lokasi PLTMH
membutuhkan waktu sekitar 45 menit dari sekretariat SPPQT di Kalibening. PLTMH
diresmikan pada 15 Mei 2012, oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Beliau berharap,
dengan keberadaan PLTMH Banyu Biru, rakyat Indonesia mengetahui bahwa upaya
mengadakan energi berkelanjutan memang sedang dikerjakan, bukan sekedar wacana.
Harapan lanjut dari keberadaan PLTMH ini adalah agar dapat menginspirasi
gerakan serupa di tempat-tempat lain. Dengan menggunakan PLTMH ini, kebutuhan
bahan bakar fosil sebagai komponen pembangkit listrik akan diminimalkan.
Setidaknya itulah salah satu tujuan pembangunan PLTMH, yang diungkapkan oleh
Mas Faisol, Sekjen SPPQT.
PLTMH Banyu Bening
mampu menghasilkan daya listrik hingga sekitar 170 kVA. Total daya listrik
tersebut kemudian dijual kepada PLN sebagai pembeli tunggal dengan harga Rp
600/ KWH, atau total sebesar 50 juta rupiah. Listrik tersebut akan disalurkan
untuk daerah-daerah di Jawa
Tengah, yang menurut Mas Faisol sangat kekurangan pasokan listrik.
Untuk mengurus
kegiatan PLTMH ini, SPPQT membentuk CV (Comanditer Venotschaap) Qaryah Thayyibah, dengan Bapak Turjangun sebagai
direkturnya saat ini. Pembentukan CV dirasa sejalan dengan prinsip kebersamaan
yang dijunjung tinggi oleh SPPQT, karena seluruh hasil yang didapat dari PLTMH
ini sepenuhnya akan dimanfaatkan demi kesejahteraan petani SPPQT. Bapak Tarom
yang banyak terlibat dalam proses pembangunan PLTMH memaparkan bahwa mereka
telah merencanakan beberapa alokasi penggunaan dana yang didapat dari penjualan
listrik.
Salah satu alokasi
penggunaan dana dari hasil penjualan listrik tersebut adalah konservasi alam di
sekitar daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi sumber tenaga PLTMH. Dari
pemaparan Bapak Abidin, ketua paguyuban petani dusun Bendo Sari, konservasi ini
dilakukan berkat kesadaran masyarakat sekitar untuk menjaga lingkungan di
sekitar DAS yang menjadi sumber air bagi dusun mereka. Upaya konservasi yang
akan dilakukan adalah dengan menanam pohon-pohon guna mencegah abrasi dan
memastikan debit air terus terjaga. Sementara itu, jenis pohon yang akan
ditanam adalah pohon aren. Rencana ini telah dikonsultasikan dengan Dinas
Kehutanan setempat dan pihak SPPQT akan membentuk sebuah tim yang secara
khusus menangani kegiatan
konservasi di sekitar PLTMH.
Dari pembicaraan
mengenai konservasi lahan di sekitar PLTMH, Mas Rukham mengungkapkan tentang
program pertanian berkelanjutan, yaitu mengajarkan petani teknik bertanam
hortikultura. Tujuannya adalah, agar lahan dapat digunakan semaksimal mungkin.
Namun, pelaksanaan program ini dirasa sulit. Beliau berkata, ”Petani itu baru
percaya kalau melihat hasilnya, tidak pernah cukup dengan mendengar”. Kecenderungan
petani di dusun Bendo Sari adalah memanfaatkan lahannya untuk satu jenis
tanaman saja. Sehingga, ketika terjadi kegagalan hasil panen, tidak ada hasil
yang didapatkan sama sekali. Untuk itulah lahan seluas 200 m2 yang
dimiliki oleh SPPQT akan dimanfaatkan untuk mengajarkan pertanian berkelanjutan
dengan menanamkan cabe rawit di pot, peternakan sapi-kambing, perikanan, dan
biogas.
Beberapa alokasi
penggunaan dana lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Mas Rukham, adalah untuk
pendidikan, koperasi, dan penguatan kelembagaan. Sebagian dana akan digunakan
SPPQT untuk pendidikan anak-anak petani. Perlu diketahui, saat ini SPPQT telah
memiliki Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah.
Mengapa fokus
kegiatan lebih diutamakan pada kegiatan konservasi dan pertanian berkelanjutan
daripada kegiatan koperasi dan penguatan kelembagaan, karena menurut Pak Tarom,
dengan fokus utama tersebut, diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan
petani. “Kalau kebutuhan pokok bisa dipenuhi dengan baik, hal-hal lain bisa
dilakukan dengan lancar.” demikian alasan Pak Tarom.
Walaupun rencana alokasi penggunaan dana hasil penjualan listrik sudah
dipersiapkan, PLTMH Banyu Biru belum dioperasikan karena masih mempersiapkan
petugas operator. Untuk saat ini, baru ada enam orang yang dinilai siap
menjalankan peran operator. Namun, di masa mendatang kaderisasi petugas
operator harus terus dilakukan kepada siapapun yang berminat.
Sembari menunggu beroperasinya PLTMH, pengurus SPPQT terus bergerak
untuk menyebarluaskan mimpi mereka tentang kemandirian petani dan kedaulatan
pangan. Mereka ingin meyakinkan para petani bahwa mereka mampu menghidupi diri
sendiri, dan menjadi petani adalah pekerjaan yang sama baiknya dengan pekerjaan
lain.
Sementara itu, SPPQT telah melakukan pemetaan untuk melihat potensi
pengembangan PLTMH di tempat lain, di antaranya : Wonosobo, Semarang,
Temanggung, Kendal, Magelang, dan Batang. Entah kapan akan didirikan, namun
rencana itu telah ada dan SPPQT berharap dapat merealisasikannya.
Sekilas tentang SPPQT :
Berdiri pada tahun
1999, dengan ketua pertama bernama Ahmad Bahruddin. Beranggotakan sekitar
16.348 petani yang bernaung di 120 paguyuban yang tersebar di 11
kabupaten/kota. Sekretariat SPPQT terletak di Jl. Ja’far Shodiq no.25
Kalibening Kec. Tingkir Kota Salatiga. Saat ini SPPQT diketuai oleh seorang
perempuan bernama Ruth.
Referensi berita :
(David Ardes Setiady)
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini