Tujuh tahun berlalu
ketika Bandung mendapat bencana memalukan yaitu longsornya tanah di tempat pembuangan sampah akhir (TPA)
Leuwigajah, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Peristiwa itu merupakan bencana
sampah terbesar di Indonesia yang mengakibatkan korban meninggal 143 jiwa dan
puluhan orang lainnya luka-luka.
Berita tentang
bencana akibat kelalaian manusia tersebut diliput oleh seluruh media yang ada
di Indonesia. Warga Jawa Barat gelisah karena sampahnya tidak diangkut,
khususnya mereka yang berdomisili di kota Cimahi, kabupaten Bandung dan kota
Bandung. Puncak bencana terjadi ketika Bandung dijuluki sebagai Bandung Lautan
Sampah, sampai-sampai presiden Susilo Bambang Yudoyono turun tangan memberikan
ultimatum.
Tetapi ketika
akhirnya TPA baru, yaitu TPA Sarimukti dioperasikan, apakah warga Jawa Barat
mengubah perilakunya dalam hal membuang sampah? Sayangnya tidak. Apakah sistem
pengolahan sampah berubah? Tidak juga. Apakah regulasi yang lebih tepat sasaran
digulirkan? Ya. Namun sayang, tidak dijalankan.
Kota Bandung, kota molek
hingga mendapat julukan Parijs van Java telah berubah menjadi kota yang sangat
kumuh. Semrawut dan macet. Penyebabnya tidak hanya sampah tapi pembangunan hantam kromo tanpa mengindahkan kaidah.
Tanpa mempedulikan kualitas hidup warga kota.
Trotoar yang
seharusnya nyaman digunakan pejalan kaki dan penyandang disabilitas berubah
menjadi area pedagang kaki lima (PKL) yang merasa berhak menggunakan setiap
ruang publik. Tidak hanya PKL, seiring digalakkannya kampanye penghijauan, pemegang
otoritas merasa sah-sah saja menanami trotoar dengan bermacam tanaman hias dan
pohon pelindung. Namun, di sisi lain hak para pejalan kaki terabaikan. Dalam
bahasa Betawinya, “Mau jalan di selokan kek,
naik ke atas pot tanaman kek
atau mlipir rebutan jalan sama sepeda
motor dan mobil kek, gue gak peduli!”
Arah kebijakan tentag
penghijauan menjadi tidak jelas, apakah untuk warga kota atau sekedar memenuhi
ambisi pejabat pemerintahan dalam meraih penghargaan? Untuk diketahui
bersama, pimpinan tertinggi Bandung mempunyai semboyan : “Tiada hari tanpa
menanam pohon dan menerbangkan burung!”
Rupanya, demi menanam
jutaan pohon, di manapun tempatnya mereka tak peduli. Pokoknya tanam saja. Kebijakan
mengenai area penanaman pohon semakin membingungkan karena kawasan Bandung
Utara yang merupakan daerah resapan justru dijual pada kaum kapitalis untuk
membangun bermacam bangunan. Mulai dari rumah makan, perumahan hingga sekolah
bertaraf internasional.
Mengapa pembangunan
diarahkan ke wilayah Bandung Utara, bukannya wilayah Bandung Selatan agar terjadi
pemerataan pembangunan? Hal tersebut
banyak dipertanyakan para penggiat lingkungan di Bandung. Dengan
masifnya pembangunan Bandung Utara maka masalah banjir di wilayah Bandung
Selatan tidak akan pernah terselesaikan. Alih-alih melindungi wilayah Bandung
Selatan dari banjir, daerah hulu yang letaknya di Bandung Utara justru semakin
gencar mengirim longsoran tanah dan sampah yang terbawa oleh aliran air.
Ditengah hiruk pikuk
ketidakjelasan arah pembangunan yang berkelanjutan di Kota Bandung, kemanakah
para penggiat lingkungan? Mereka ada, bahkan cukup intens bertemu dalam sebuah
forum, yaitu Forum Hijau Bandung (FHB) dimana mereka bisa saling berbagi dan
melengkapi.
Sayangnya itu semua
tidak cukup. Intensitas kerusakan alam lebih cepat dibandingkan kecepatan gerak
para penggiat lingkungan. Sebagian dari mereka bahkan baru mengenal isu
lingkungan sebatas seremoni. Pandangan para penggiat lingkungan di Bandung belum
menyentuh urgensi lingkungan keberlanjutan.
Tidak hanya mereka,
jajaran pejabat dan mayoritas warga kota Bandung pun belum memahami esensi
pelestarian lingkungan. Isu pelestarian lingkungan hanya dimaknai sebagai
menanam pohon dan menerbangkan burung. Tanpa mempedulikan bahwa kelak pohon
pelindung akan tumbuh sebesar minimal diameter 60 cm sehingga tidak bisa
ditanam hanya dengan jarak 30 cm. Tanpa mempedulikan bahwa burung-burung yang
diterbangkan adalah hasil ternakan sehingga akan kembali ke pemiliknya.
Sampah pun
dengan entengnya dibuang sembarang tempat. Perhatikan jalan-jalan utama
kota Bandung yang tak pernah sepi dari sampah. Tindakan tak bertanggung jawab telah
menyerahkan beban sampah pada pemulung, tukang sapu jalan dan air selokan.
Seolah-olah semua orang beranggapan bahwa sampah akan lenyap dengan sendirinya.
Penggiat lingkungan
dan murid-murid sekolah yang aktif baru bergerak seputar bersepeda bareng
dan mengumpulkan sampah bersama-sama. Baik di jalan-jalan raya maupun di sungai
Cikapundung, sungai terbesar yang mengalir di tengah kota Bandung. Padahal ada
sekitar 47 anak sungai di kota Bandung, tempat dimana warga kota membuang
sampahnya, mulai dari sampah rumah tangga hingga peralatan rumah tangga yang
tak terpakai (kursi, kasur, dan bantal).
Seironis itulah lingkungan
kota Bandung. Aneh. Entah mengapa warga kota Bandung yang terkenal kreativitasnya
tiba-tiba menjadi mandul ketika harus mencari solusi pelestarian lingkungan
kota Bandung.
Akhir cerita bisa diduga, tiap pihak
saling menyalahkan. Penggiat lingkungan menyalahkan pejabat kota yang dinilai
menyalahgunakan otoritas. Pejabat kota menyalahkan penggiat lingkungan yang
dituduh menghalangi “niat baik”. Sedangkan warga kota yang belum paham permasalahan
lingkungan bagaikan pelanduk yang mati suri di tengah gejolak. Padahal, energi
untuk saling menang sendiri atau saling mementingkan ego kelompok dapat digunakan
untuk memberikan edukasi pada masyarakat. Setidaknya mereka dapat melakukan
tindakan termudah tapi paling esensial yaitu : bertanggung jawab terhadap
sampahnya.
(Maria Hardayanto)
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini