Anilawati Nurwakhidin (Koordinator Tim
Kampanye Zero Waste YPBB)
Sosoknya begitu sederhana dan
wajahnya tanpa polesan make up. Dengan kerudung dan pakaian santai yang biasa
dikenakan, senyumnya yang ramah tidak pernah lepas ketika kita menyapa.
Perempuan kelahiran 3 Juni ini banyak menghabiskan hari-harinya di Bandung
meski berdomisili dengan nenek dan kakeknya di Cimahi.
Tidak pernah terpikir sebelumnya
Anil akan menjadi seperti sekarang ini, sebagai aktivis lingkungan. Mengenang
masa kecilnya, Anil mengaku tidak punya cita-cita, ingin jadi seperti apa.
Hari-harinya dihabiskan dengan sekolah. Orang tuanya tidak terbiasa berdiskusi
tentang visi hidup dengan anak-anaknya. Di sekolah, katanya, Anil tidak ikut kegiatan
berorganisasi. Baru di dunia kampus, dia mengenal kegiatan berorganisasi
walaupun sifatnya lebih ke sebagai kegiatan pengisi waktu. Yang terpikir saat
itu adalah menjalani sekolah sesuai jenjangnya. Kemudian, setelah lulus kuliah,
ya kerja. Kerja itu harus yang menjanjikan di masa tua (baca: pensiun), begitu ucapan orang tuanya saat itu. Meski kuliah
di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia,
dulu namanya IKIP) yang lulusannya identik dengan menjadi guru, tapi Anil
tidak berminat menjadi guru di pendidikan formal atau menjadi PNS sesuai
keinginan orang tuanya.
Sampai akhirnya pada tahun 2004,
hati Anil terusik ketika mendengarkan siaran salah satu radio swasta di Bandung
yang secara rutin menayangkan topik lingkungan. Ia pun menyadari, selama ini ia
selalu mencari keterkaitan antara kondisi lingkungan yang ada dengan aktivitas
kesehariannya. Di kesempatan lain, Anil menemukan informasi tentang kegiatan
kereta kota dari YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi, salah satu organisasi lingkungan yang fokus
pada isu gaya hidup organis)
di mading kampus. Tidak menunggu lama, Anil langsung mendaftar dan
terlibat dalam kegiatan relawan. Di sana, Anil mendapat suasana yang berbeda. Hal
ini membuat Anil termotivasi untuk belajar dan bisa berperan sesuai dengan
minatnya.
Seiring dengan berjalannya
waktu, Anil mengajukan diri menjadi staf YPBB. Anil menemukan sosok yang
menginspirasi dan mengubah jalan hidupnya. David Sutasurya (Direktur YPBB)
meyakinkan dirinya bahwa kalau kita mau serius di dunia ini pasti ada jalan.
Saat itu kondisi YPBB sedang kesulitan pendanaan, tapi hal itu tidak menyurutkan
Anil untuk tetap bergabung. Proses pembelajaran di YPBB dijalankan Anil secara
bertahap dengan mengkoordinir teman-teman relawan. Untuk peningkatan kapasitas
diri, Anil magang di lembaga lain dengan menjalankan peran yang berbeda seperti
menjadi notulen, maupun memfasilitasi pelatihan. Sampai akhirnya Anil mendapat
tanggung jawab yang lebih besar sebagai Koordinator Program Kampanye Zero Waste.
Anil, duduk di depan, dengan kaus hijau, dalam pelatihan Cara Berpikir Sistem yang diselenggarakan oleh KAIL |
Menjalankan peran sebagai
Koordinator Program Kampanye Zero Waste,
Anil belajar mengenal jenis-jenis orang yang “berbeda” dan sekaligus melihat
bahwa di dunia ini, ada pilihan lain dalam beraktivitas. Adanya dukungan sesama
koordinator menjadi penyemangat Anil dalam mengemban tugasnya. Suasana kerja,
nilai-nilai di dalamnya dan adanya teman yang saling mendukung menjadi faktor penguat
mengapa Anil bisa bertahan sampai enam tahun di YPBB.
Ketika ditanya soal visi hidup,
“Ini selalu menjadi bagian yang sulit dijawab”, kata Anil. “Secara gampangnya,
saya cukup bahagia bila bisa kumpul dan senang-senang bersama. Saat ada
masalah, ada teman untuk tempat bercerita, tukar pikiran dan menyebarkan
semangat ber-zero waste. Juga bila hidup
ini bermanfaat untuk orang lain”, lanjut Anil. Biasanya Anil sangat membutuhkan
teman-teman yang bisa diajak ngobrol
sebelum membuat keputusan apapun. Mungkin itu juga sebabnya Anil tidak bisa
diam dan merasa efektif berpikir kalau sambil berbicara. Sampai ada salah satu
teman yang memberi saran kepada Anil untuk mencoba mencatat apa yang Anil
bicarakan, sebagai bentuk apresiasi tidak bisa diamnya Anil.
Yang paling menarik dari Anil
adalah, ke mana pun dia pergi baik urusan kerja atau pun pribadi, Anil selalu
mengkampanyekan gaya hidup organis. Di dalam tasnya tidak pernah ketinggalan
satu paket botol minuman (tumbler),
wadah makanan, sapu tangan kain dan tas kain bila sewaktu-waktu diperlukan.
Jadi dalam membeli sesuatu diusahakan untuk tidak menghasilkan sampah (zero waste) atau paling tidak
mengurangi sampah dari awal.
Contoh lainnya, dia pernah mengirim berita di media sosial tentang sepatunya yang bolong dan terpaksa harus membeli sepatu baru. Usia sepatu tersebut sudah cukup lama dan sering tembus air bila hujan. Itu satu-satunya sepatu yang Anil punya. Ternyata, yang menanggapi kiriman berita tersebut sampai 32 orang. Juga hal lainnya seperti baju. Orang akan melihat baju yang dipakai Anil itu-itu saja. Padahal dibalik itu semua, Anil mencoba berkampanye untuk menggunakan atau memakai barang apapun selama mungkin, termasuk baju yang dikenakannya.
Maria Hardayanto (Penggagas Komunitas Engkang-Engkang dan Komunitas Sukamulya)
Adakah yang
pernah mendengar kue brownies ganyong dan tumpeng dari singkong? Ganyong
sendiri adalah nama jenis tanaman lokal asli Jawa Barat dan disulap menjadi kue
oleh bunda Maria. Biasanya dalam setiap kegiatan yang diikuti oleh komunitas
binaan bunda Maria selalu ada kue tersebut, sebagai alternatif penganan lain dalam
hal ketahanan pangan.
Komunitas
Engkang-engkang dan Komunitas Sukamulya adalah kumpulan ibu-ibu yang mempunyai
kepedulian terhadap lingkungan sekitar rumah, baik dalam pengelolaan sampah, pemanfaatan
pekarangan rumah (urban farming) dan pembuatan
jenis makanan dari bahan-bahan lokal. Walau komunitas ini belum genap dua tahun
tapi secara perlahan melangkah maju dengan caranya sendiri. Siapakah yang
menjadi penggagas komunitas ini?
“Bunda”, begitu sapaan akrab bu Maria
diantara para aktivis lingkungan di Bandung. Meskipun sudah berusia 51 tahun
tapi ibu empat orang anak ini selalu terlihat ceria dan penuh semangat. Kegiatan
sebagai ibu rumah tangga mulai berkurang karena anak-anak sudah semakin besar
dan kebanyakan mengambil pendidikan di luar kota, membangkitkan kembali gairah
bunda untuk beraktivitas. Kalau kata orang, bunda itu seorang ibu yang sangat
aktif dan tidak bisa diam. Seperti kebanyakan ibu-ibu yang lain, bunda ikut
arisan, pengajian dan terlibat dalam program PKK . Tapi bunda merasa masih ada
yang kurang. Akhirnya ia mencari aktivitas lain, seperti menghadiri pertemuan zero waste community dan kegiatan BILIC (Bandung Independent Living Center), dimana
bunda bertemu dengan teman-teman difabel (istilah lain dari penyandang cacat).
Dari situlah awal kebangkitan bunda menjalankan aktivitasnya. Untuk mendukung
gerakannya, bunda banyak membaca literatur dari buku dan menjelajah dunia maya .
Termasuk juga ide membuat brownies ganyong, ia dapatkan dari penjelajahannya
tersebut.
Dalam
membangun komunitas dampingannya, bunda mengalami pasang surut. Tapi itu semua
tidak membuat bunda mundur. Mendukung lingkungan hidup secara nyata melalui
pembuatan kompos skala rumah tangga, menanam sayuran segar dan membuat penganan
non beras. Biasanya kalau ada program membuat kue, kue tersebut adalah hasil
patungan anggota komunitas. Ada yang membawa telur, terigu, mentega, dsb. Jadi,
program tersebut berbasis prinsip dari anggota, untuk anggota dan dinikmati
oleh anggota pula. Juga mengolah hasil kebun yang hasilnya dikumpulkan untuk
kepentingan komunitas. Kesibukannya mendampingi komunitas Engkang-Engkang dan
komunitas Sukamulya cukup menyita sebagian waktu bunda.
Kesenangannya mengulik dan
mengupas suatu masalah ternyata sudah ada sejak duduk di bangku SMA. Termasuk
keprihatinan bunda terhadap kondisi lingkungan kota Bandung. Misalnya masalah
air PAM yang hanya keluar di malam hari dan orang-orang menunggui air tampungan
sampai penuh. Juga adanya peristiwa Bandung lautan sampah di tahun 2005. Banyak
orang yang memberi tanggapan, bahkan kritik pedas terhadap aparat pemerintah. Tapi agak berbeda yang ada dalam benak bunda. Beliau malah berpikir
jangan-jangan sampah yang ada di TPA Leuwigajah dan menjadi bencana longsor itu
salah satunya adalah sampah saya? Hal ini menjadi kegelisahan bunda.
Sampai-sampai ia berlangganan salah satu media lokal Bandung karena ada tulisan
dari (alm) bapak Otto Soemarwoto yang
mengulas tentang gaya hidup. Bunda sangat termotivasi oleh
tabloid yang mengulas tentang isu lingkungan dan event-event pameran
lingkungan. Sampai akhirnya bunda mencari data lewat internet dan mendatangi
satu persatu LSM lingkungan dengan melakukan diskusi dengan orang-orang yang
dianggap bunda bisa menjawab kegelisahannya.
Orang-orang di sekitar komunitasnya
banyak yang memberikan apresiasi bermacam-macam tehadap apa yang dilakukan
bunda, tapi bunda tidak terlalu peduli dengan pandangan orang lain. Yang
penting bunda bisa mengukur diri. Pada prinsipnya bunda ingin melakukan sesuatu
hingga tuntas. “Makin saya menunda, maka lingkungan akan makin hancur”, begitu
kata beliau.
(Melly Amalia)
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini