Gerakan lingkungan lahir pada abad
ke-19, dibidani oleh mereka yang peduli pada kelestariannya. Awal gerakan
lingkungan terjadi pada tahun 1890, John Muir dan Robert Johnson sukses melobi
Kongres untuk melestarikan Yosemite sehingga lahirlah Yosemite National Park.
Keduanya kemudian bergabung membentuk Sierra Club, salah satu organisasi
lingkungan pertama dan leluhur bagi banyak organisasi lingkungan modern. Di
tahun yang sama, Gifford Pinchot kembali ke Amerika setelah belajar Kehutanan
di Prancis. Dia terkejut sekali melihat penghancuran sumber daya alam di
Amerika. Dia kemudian menata sistem pengelolaan sumber daya yang berfokus pada
tebang pilih dan dibuatnya Hutan Lindung Nasional.
Di usianya yang dini, gerakan lingkungan
di dunia dipengaruhi amat kuat oleh Pinchot dan Muir-Johnson. Pinchot
menekankan pada konservasi, yaitu penggunaan sumber daya dengan
pengelolaan yang baik, sementara Muir menekankan pada preservasi, yaitu
alam yang sungguh-sungguh terjaga dan tidak diganggu oleh aktivitas
manusia.
Pada masa Perang Dunia di abad
ke-20, gerakan lingkungan sempat tenggelam dan tidak terperhatikan. Usai PD II
dan terjadi transformasi masyarakat pertanian menjadi industri, gerakan lingkungan
mulai menggeliat kembali. Salah satu fokus perhatian berbagai pihak waktu itu
adalah karya tulis Rachel Carson yang berjudul Spring di tahun 1962.
Saat itu, intensifikasi pertanian dilakukan secara masif. Rachel Carson
mengulas dampak kimia pestisida untuk lingkungan serta bagi kesehatan mahluk
hidup dalam bukunya.
Pada tahun 1970, setelah
merebaknya berbagai bencana lingkungan buatan manusia; Senator Gaylord Nelson
mengusulkan sebuah demonstrasi akar rumput dengan mengatasnamakan lingkungan.
Akhirnya, Hari Bumi pertama berlangsung, membawa gerakan lingkungan ke tahap
kedewasaan yang baru. Tantangan yang dihadapinya berubah dari jenis hingga
skalanya. Dalam kurun waktu yang sama pula, filsuf Norwegia Arne Naess mulai
mengenalkan gerakan lingkungan dengan konsep deep ecology. Konsep ini
menyatukan konsep preservasi, ekologi dan spiritual.
Di Indonesia sendiri, keberadaan
gerakan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari isu politik. Pada masa Soekarno,
pembangunan tidak diorientasikan pada aspek-aspek yang padat modal. Yang
terjadi, justru Soekarno menolak dana asing yang menawarkan model pembangunan
dengan mengenjot aspek ekonomi berbasis ekstraktif sumber daya alam. Dengan
demikian, saat itu gerakan lingkungan boleh dikatakan tidak berkembang baik di
Indonesia. Namun, pada periode tahun 1970-1980, setelah masa kepemimpinan
Soekarno (Orde Lama) beralih ke masa Soeharto (Orde Baru), gerakan lingkungan
mulai berkembang di Indonesia.
Pola pembangunan yang diterapkan
Soeharto berlaku kebalikan dari Soekarno. Pada kepemimpinan Soeharto, pihak
asing mulai berinvestasi di Indonesia, terutama industri-industri ekstraktif.
Persoalan-persoalan lingkungan dikesampingkan demi peningkatan ekonomi dan
menggenjot Gross Domestic Product (GDP), indikator perekonomian yang
digunakan banyak negara di dunia. Istilah gerakan lingkungan di Indonesia, baru
disebut dalam sebuah simposium tentang ‘15 tahun gerakan lingkungan
Indonesia, menuju pembangunan berwawasan lingkungan’ di Jakarta, pada tahun
1972.
Periode gerakan lingkungan di
Indonesia terbagi dalam 4 kurun waktu. Yang pertama, sekitar tahun 1970-1980,
ditandai dengan masuknya agenda persoalan lingkungan dalam rumusan Garis-Garis
Besar Haluan Negara tahun 1973 dan Repelita II (1974-1979). Hal ini terjadi
karena tekanan internasional dari Deklarasi Stockholm tahun 1972 tentang Biosphere.
Tindak lanjutnya adalah pembentukan Kementerian Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup oleh Pemerintah Indonesia. Tujuan pembentukan kementerian
terkait di atas adalah mengusung pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan dan
efisien. Menteri pertamanya adalah Emil Salim, seorang ekonom lulusan University
of Berkeley yang kemudian banyak mempelajari ilmu lingkungan. Emil
mendorong munculnya LSM-LSM lingkungan di masa kepemimpinannya sekitar tahun
1978-1993. Pada masa itu, tiba-tiba ratusan organisasi lingkungan muncul di
Indonesia, dari yang sebelumnya tidak ada.
Saat itu, organisasi lingkungan
yang ada cenderung mengarah pada kegiatan pecinta alam, sekedar hobi maupun
bersifat akademis. Sifat pemerintah yang represif membuat kehadiran organisasi
berbasis massa saat itu harus berhati-hati. Bahkan untuk mencari atau membuat
nama pun, sebuah organisasi lingkungan pun harus dipikirkan secara matang.
Organisasi lingkungan tak boleh memprovokasi massa untuk melawan kebijakan
Pemerintah, tapi mereka juga tak ingin dicap sebagai underbow partai
ataupun kepanjangan tangan Pemerintah. Akhirnya, pada tahun 1980, Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terbentuk, menjadi salah satu wadah gerakan
lingkungan di Indonesia. Dalam setiap aktivitasnya, WALHI mendorong
organisasi-organisasi lain untuk mulai membentuk jaringan atau
kelompok-kelompok kerja untuk Iingkungan. Jaringan kerja sama ini yang di
kemudian hari menjadi atap bagi pemikiran gerakan lingkungan di Indonesia.
Gerakan lingkungan mulai memasuki
periode kedua di Indonesia, yaitu periode tahun 1980-1990. WALHI mulai bermain
di area advokasi. Beberapa kasus pengrusakan lingkungan yang terjadi di
Indonesia diperkarakan sampai ke meja hukum. Tuntutan pertama adalah kasus
pencemaran lingkungan oleh PT. Indorayon.
Meskipun kalah, tuntutan ini merupakan satu loncatan besar untuk gerakan
lingkungan di Indonesia. Itulah kali pertama, pada masa Orde Baru, sebuah
lembaga dapat mewakili lingkungan atau masyarakat. Keberanian WALHI dalam
menuntut PT. Indorayon patut diperhitungkan karena perusahaan tersebut didukung
dan dimiliki oleh kerabat pucuk pimpinan pemerintah saat itu.
Sikap gerakan lingkungan hidup di
Indonesia saat itu cukup jelas, tidak takut berseberangan dengan Pemerintah
Orde Baru. Di saat bersamaan, gerakan lingkungan yang bekerja dengan mengacu
pada kerangka kerja perundangan juga terus merangsek. Pada masa itu, dua
undang-undang, yaitu UU No. 4 tahun 1982 mengenai Pokok Peningkatan Lingkungan
Hidup serta UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian dalam Pembangunan
Industri Berwawasan Lingkungan dikeluarkan. Penguatan perangkat Undang-undang
diturunkan dalam PP No. 26 tahun 1986 tentang AMDAL.
Periode gerakan
lingkungan di Indonesia yang ketiga adalah sekitar tahun 1990-1999. Dalam
periode ini, Deklarasi Rio tahun 1992 tentang biodiversitas ikut
diratifikasi oleh Indonesia dan kemudian terintegrasi dalam GBHN tahun 1993.
Bappedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) terbentuk dalam kurun waktu
ini, membawa angin segar bagi gerakan lingkungan di Indonesia.
Sementara itu, WALHI telah
menuntut sembilan kasus pengrusakan lingkungan lainnya ke pengadilan. Kasus
yang diperkarakan antara lain adalah pengrusakan yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan besar bermodal asing dan lokal, maupun oleh Pemerintah
(kasus kebakaran hutan dan pengembangan lahan gambut sejuta hektar). Dari
sepuluh kasus gugatan lingkungan, hanya satu kasus yang dimenangkan, yaitu Hak
Atas Informasi melawan PT. Freeport Indonesia. Dalam putusannya, Majelis hakim
hanya sebagian mengabulkan gugatan WALHI dan mengakui bahwa PT Freeport
Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kemenangan ini menjadi
catatan sejarah, bahwa lingkungan hidup dapat dimenangkan meskipun harus
melewati perjalanan panjang.
Masalah
lingkungan mendapat perhatian serius dari hampir semua negara di dunia karena
masalah dan krisis lingkungan tersebar di setiap negara dengan ragam dan
derajat yang berbeda. Seluruh negara terlibat dalam mencari solusi terhadap
persoalan tersebut. Agenda lingkungan yang awalnya menjadi isu minor kali ini
masuk dalam isu dunia, dan dibicarakan dalam agenda politik internasional,
mendampingi agenda keamanan dan ekonomi. Pada tahun 1992, diadakan Earth Summit
di Rio dengan dihadiri oleh para kepala negara dan para perwakilan LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat). Pencapaian yang terpenting saat itu adalah kesepakatan
akan Konvensi Perubahan Iklim yang berujung pada Protokol Kyoto. Konvensi
Keragaman Biologis juga diratifikasi pada pertemuan ini. Meskipun begitu,
terdapat banyak kritik bahwa perjanjian yang dibuat di Rio tidak terwujud
karena berbenturan dengan isu lainnya seperti pemberantasan kemiskinan.
Memasuki periode keempat, di tahun
1999, gerakan lingkungan di Indonesia berada dalam kesesakan yang disebabkan
oleh masa Reformasi. Saat itu, keadaan perekonomian Indonesia amat terpuruk dan
lagi-lagi lingkungan dikorbankan untuk menjawab masalah kemiskinan secara
cepat. Pada masa pemerintahan Megawati banyak terjadi alih fungsi lahan atas nama
kemiskinan. Pembalakan hutan kembali marak, belum lagi ditambah dengan warisan
masalah lingkungan dari masa Orde Lama.
Gerakan lingkungan pada periode
ini mengalami tantangan yang lebih kompleks. Krisis lingkungan tidak hanya
terjadi di tingkatan individu atau lokal seperti bencana lumpur Lapindo
misalnya. Krisis lingkungan yang berskala global juga semakin nyata terasa di
Indonesia, seperti perubahan iklim, degradasi lahan dan hutan, kelangkaan air
serta berkurangnya daerah tangkapan ikan. Gerakan lingkungan di Indonesia
bergantung pada sistem politik, ekonomi dan sistem militer yang diterapkan di
negara ini.
Bila dicermati, gerakan lingkungan
dunia akhirnya bekerja dengan strategi yang berbeda. Para pemerhati lingkungan
hidup bermain dalam kerangka undang-undang dan politis akademis seperti yang
dilakukan dalam konvensi lingkungan atau pertemuan yang diselenggarakan oleh
UNEP. Belum lagi tulisan seperti The Limits to Growth, Our Common Future,
One Planet yang mengingatkan terbatasnya sumber daya yang kita miliki dan
meningkatnya tekanan akibat kegiatan manusia pada sumber daya tertentu.
Gerakan lingkungan juga sering
bermain di ranah aksi nyata dan langsung. Bisa berupa bentuk protes langsung
dengan memblok jalan atau memeluk pohon, juga dengan bentuk yang lebih halus
berupa membuat budaya alternatif yang baru. Strategi gerakan lingkungan yang
terbaru juga disukai oleh orang-orang yang sudah jenuh dengan gaya hidup modern dan konsumtif,
kalangan yang peduli kesehatan dan berusaha berada sedekat mungkin dengan
sumber makanan mereka serta kaum spiritualis yang memandang keberadaan yang
Maha di setiap benda di alam ini. Contohnya konsep ecovillage dan
kembali ke kelompok subsisten.
Di umurnya yang sudah cukup tua, gerakan
lingkungan berharap jalan keluar yang damai dan tenang. Sama halnya ketika
perbudakan akhirnya dihapuskan dan menghilangnya gerakan anti apartheid.
Ataupun ketika gerakan perempuan berhasil memperoleh hak suara, dan gerakan
perempuan pendukung hak suara kemudian menghilang setelah pergerakannya yang
hampir 100 tahun. Tantangan yang dihadapi agar gerakan lingkungan dapat
berakhir dengan damai masih cukup banyak. Tantangan itu berbeda dari tantangan
gerakan perempuan atau anti perbudakan. Selama sistem perekonomian dunia masih
menguntungkan para pemilik modal dan selama manusia hidup tanpa berusaha
selaras dengan alam, tampaknya gerakan lingkungan harus tetap eksis.
Setiap strategi yang digunakan baik adanya, dan dari sejarah perjuangannya,
yang terpenting adalah menyesuaikan ide tentang pencarian solusi atas masalah
dengan konteksnya. Kebijakan terus berubah, media kampanye dan penyadaran
semakin kreatif, kategori permasalahan lingkungan semakin lebar, dan semuanya
dapat menjadi peluang untuk mencapai akhir gerakan lingkungan hidup yang tenang.
Perkara siapa yang menjadikannya peluang, siapa lagi kalau bukan kita?
(Hilda Lionata)
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini