RESENSI BUKU: Halaman
Rumah/Yard
Oleh: Kukuh Samudra
Judul : Halaman Rumah
Penyunting : Anwar Jimpe Rahman
Penerbit : Tanahindie Press
Halaman : x + 183
Lima puluh tahun lalu
di Karanganyar - sebuah kota kecil sebelah timur kota Solo - ukuran rumah
lazimnya besar. Luas tanah bangunan 500 m2 belum bisa dikatakan luas, itu pun
belum ditambah pekarangan atau kebun di belakang rumah.
Sekarang, dengan
ukuran yang sama di tempat yang sama, 500 m2 tanpa pekarangan sudah bisa
dianggap luas. Tidak perlu pekarangan, yang penting ada garasi.
Di kota Bandung
berbeda lagi. Di kampung-kampung kota, mulai sering dijumpai rumah dengan
ukuran lebih sempit. Pemiliknya pun tidak menganggap garasi atau pekarangan
sebagai hal penting; pagar rumah langsung mepet dengan jalan.
Sisi lain dunia
memiliki cerita yang berbeda lagi. Hidup di ruangan 5x4 meter untuk sekeluarga,
melakukan aktivitas apapun di ruangan yang sama.
Cerita mengenai ruang
bisa berbeda di berbagai tempat dan kebudayaan. Seperti yang disampaikan oleh
Koentjaraningrat, apa yang material (artefak kebudayaan) sesungguhnya merupakan
sublimasi dari sistem sosial dan mental masyarakat.
Dalam buku “Halaman”
ini, sebuah lokus bernama halaman coba “diperbesar” untuk mendapatkan fokus
yang lebih tajam.
Bermacam Narasi Mengenai Halaman
Terdapat 14 esai yang
tertuang dalam buku “Halaman Rumah”. Tidak semua tulisan secara spesifik
membahas mengenai halaman rumah, meski terdapat sebuah usaha untuk membidiknya.
Esai pertama berjudul
“Di Kota Kita Meraya, Di Halaman Kita Berjaya” ditulis Anwar Jimpe Rahman.
Seperti dimaksudkan sebagai esai pembukaan, Anwar memperkenalkan definisi awal
mengenai halaman dan pekarangan yang menurutnya “setara dan sedaya”; dipahami
sebagai tanah di sekitar rumah. Tulisan ini mencoba mendedah halaman dan
pekarangan terkait banyak konteks: filsafat, proses berkesenian, sosial, hingga
permenungan yang transenden.
Selanjutnya kita akan
disuguhi langsung tiga narasi mengenai tiga kampung di Makassar: Kampung
Paropo, Kampung Rama, dan Permukiman Jalan Sukaria. Ketiga tulisan ini secara
garis besar membahas tiga kampung dari segi yang sama: sejarah dan proses
perubahan sosial akibat modernisasi. Sesekali narasi mengenai halaman coba
diselipkan.
Esai-esai selanjutnya
menghubungkan halaman dengan berbagai tema. Terdapat beberapa benang merah topik: tradisi, interaksi sosial, dan ruang
hidup.
Kaitan antara tradisi
dengan halaman atau pekarangan tertuang dalam esai “Kesenian, Panggung, dan
Halaman yang Tersisa di Paropo” serta esai “Nam’a dan El’a bagi Orang Lewotala
di Kepulauan Solor”.
Esai pertama berbicara
mengenai kesenian tradisional yang berlangsung di Paropo yang kerap berlangsung
di lapangan. Sementara esai yang disebutkan kedua menjabarkan peran rumah adat
sebagai ruang publik tempat memperbincangkan dan menyelenggarakan urusan
publik-adat.
Halaman atau
pekarangan sebagai ruang hidup dijabarkan oleh dua esai dari Saleh Abdullah dan
Fitriani A Dalay. Esai dari Saleh Abdullah dengan tegas memposisikan
"kembali ke pekarangan" sebagai upaya melawan budaya kota yang
menurutnya sarat akan ketidakadilan dan telah “memutus solidaritas bersama
dengan melahirkan manusia-manusia kota yang impersonal”.
Melalui kegiatan
menanam makanan sendiri di pekarangan kita telah berupaya untuk mengurangi ketergantungan
kita terhadap budaya kota. Dia memberikan tekanan bahwa pekarangan tidak
sekadar berkaitan dengan kegiatan tanam-menanam, tetapi juga terkait dengan
wilayah kedaulatan politis. Sehingga, menggarap lahan “dengan begitu mempunyai
alasan eksistensial dan politis sekaligus” (hal. 87).
Perincian yang baik
ditulis oleh Fitriani A Dalay yang juga mengaitkan isu halaman/pekarangan
dengan ruang hidup. Dengan pencatatan yang baik, diperoleh data dari seorang
warga dari Desa Soga, Kabupaten Soppeng yang menghemat hingga 1,8 juta (dari
total 2,7 juta) per bulan untuk kebutuhan pangan. Sayang pencatatan tersebut
tidak mencantumkan luas lahan yang digunakan warga. Meski demikian, pemaparan
rincian kebutuhan pokok dalam bentuk tabel sangat mengena dalam memberikan insight tentang pemenuhan kebutuhan
secara mandiri.
Halaman rumah secara
langsung juga mempengaruhi interaksi dan perilaku manusia. Halim HD dan Askaria
Putri memotret kontras perubahan interaksi dan perilaku ini berdasarkan
kenangan mereka akan masa lalu.
Halim membandingkan
masa kecilnya ketika di Serang, Banten. Halaman rumah warga di kampung saat
itu, tak ubahnya panggung dan mimbar. Tempat interaksi berbagai budaya
berlangsung. Dari halaman rumah, Halim mengaku bisa mengetahui secara langsung
kesenian seperti Gambang Kromong, Keroncong, Wayang Golek, dan musik melayu.
Sesuatu yang susah dijumpai saat ini, ketika rumah menjadi arena terutup yang
cenderung mengisolasi anak terhadap pergaulan dengan sekitar.
Kenangan kehidupan
kampung dengan halaman juga dibeberkan oleh Asri. Ketika hidup di Jogja,
berbagai kegiatan bermain biasa dilakukan di pekarangan/halaman. Sementara
nasib berbeda harus dialami anaknya yang bersama Asri tinggal di komplek
perumahan tanpa ada tempat luas yang layak untuk bermain.
Usaha Dokumentasi Ingatan Ruang
Tidak mudah memadukan
empat belas esai dari orang-orang yang berbeda mengenai topik yang sama.
Konsistensi terhadap sebuah ide awal dan teori dasar, menjadi kendala pada buku
ini. Meski di judul buku adalah “Halaman Rumah”, esai pertama sebagai pembuka
telah memperluas cakupan buku menjadi “halaman” dan “pekarangan”.
Esai-esai selanjutnya
pun cenderung tidak konsisten terhadap tema “halaman” rumah. Alih-alih sebuah
pekarangan, ruang yang dimaksud pada esai “Kesenian, Panggung, dan Halaman yang
tersisa di Paropo” justru dengan gamblang menyebut kata “lapangan” di awal.
Jika esai di awal
menyebut ide bahwa “halaman” dan “pekarangan sebagai setara dan sedaya, esai
paling akhir yang ditulis oleh Yoshi Fajar Kresno Murti justru menyiratkan
pemahaman yang berlawanan.
Halaman rumah sebagai
entitas ruang mungkin belum baku, atau memang percuma untuk dibakukan.
Sementara garis besar buku ini terasa kental dengan nuansa romantisisme;
ingatan akan kondisi rumah dengan halaman atau pekarangan luas yang leluasa.
Hal ini dibenturkan
dengan perubahan sosial yang dialami masyarakat. Lahan yang menyempit karena
kepadatan penduduk meningkat atau karena mekanisme pasar membuat masyarakat
lokal tidak berdaya untuk mempertahankan tanahnya.
Namun, yang terbentuk
oleh puluhan atau mungkin ratusan tahun, tidak ingin tinggal diam. Tradisi
sosial yang telah hidup di masyarakat, tidak serta merta mati. Buku ini mereka
dengan baik hal tersebut. Ibu-ibu yang memanfaatkan ruang untuk pengajian, pelaku
kesenian yang berpentas di tanah lapang yang belum termanfaatkan, atau
masyarakat adat yang menyelesaikan masalahnya di depan rumah adat.
Memang ada beberapa
kekurangan dari buku ini. Soal koherensi maupun landasan teori. Namun, dalam
konteks masyarakat yang ‘memiliki ingatan pendek’, buku ini adalah mata air.
Anda pasti juga setuju setelah membaca buku ini ,bahwa dengan kata kunci
semangat, buku “Halaman Rumah” mengatasi
kendala-kendala teknis.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini