Oleh: Ari Ujianto
Masalah pemenuhan hak atas
tempat tinggal yang layak bukanlah masalah sederhana yang bisa dijelaskan dalam
beberapa halaman tulisan saja karena ada keterkaitan antara masalah perumahan
dengan masalah lain, seperti kebijakan pengadaan tanah, rencana tata ruang dan
wilayah, dan tentu saja persoalan pembiayaan agar bisa terjangkau oleh
masyarakat miskin (pemerintah biasanya menggunakan istilah Masyarakat
Berpenghasilan Rendah). Selain itu juga ada perbedaan antara yang dihadapi
masyarakat di perkotaan dengan yang di pedesaan. Tulisan ini mencoba mendedah
masalah yang biasa dihadapi masyarakat perkotaan, dan mencoba memberikan
alternatif penyelesaian dari masalah tersebut.
Masalah Pemenuhan Hak Atas Perumahan
Kegagalan negara dalam
pemenuhan hak atas tempat tinggal di Indonesia, khususnya bagi masyarakat
berpenghasilan rendah atau miskin sudah menjadi rahasia umum. Alih-alih
memenuhi hak atas perumahan, acapkali justru menghancurkan upaya yang dilakukan
oleh warganya sendiri dalam memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal melalui
penggusuran. Kondisi penuh ironi ini terus berlanjut dari tahun ke tahun, dari
pemerintahan satu ke pemerintahan selanjutnya.
Salah satu kerumitan masalah
perumahan bisa dilihat dari data backlog
kepemilikan rumah di Indonesia. Menurut hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, angka backlog
kumulatif sebesar 11,4 juta unit[1].
Dari jumlah backlog tersebut,
pemerintah dan pengembang swasta rata-rata hanya bisa memenuhi 400.000 unit
setiap tahun, sedangkan pertambahan kebutuhan rumah setiap tahun mencapai
800.000 sampai 1 juta unit. Dengan melihat data ini, amatlah mustahil negara
bisa memenuhi kebutuhan warga akan rumah yang layak dengan menggunakan
cara-cara atau tindakan seperti yang biasa dilakukan.
Beberapa sebab dari gagalnya
penyediaan rumah layak bagi warga, khususnya yang berpendapatan rendah adalah
alasan pembiayaan dan penyediaan lahan. Berbagai kebijakan untuk mendukung
pembiayaan perumahan rakyat telah dikeluarkan, sejak jaman Soeharto sampai SBY
dan semuanya gagal menyelesaikan persoalan. Bahkan beberapa kebijakan yang
awalnya untuk membantu masyarakat miskin mendapatkan perumahan rakyat justru
ditunggangi oleh pemodal untuk mengeruk keuntungan, sedangkan masyarakat miskin
yang menjadi target penghuni perumahan tersebut malah tersingkir.[2]
Pembiayaan pengadaan
perumahan yang layak akan semakin tinggi jika pembangunan perumahan tidak ada
perubahan atau keberanian politik dalam kebijakan pengadaan lahan.
Lokasi-lokasi strategis di pusat kota-kota dan pinggiran sudah dikuasai oleh
korporasi pengembang properti. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lahan-lahan
ribuan hektar di kawasan Jabodetabek dikuasai oleh pengembang kelas kakap
seperti Sinarmas Land Group, Ciputra Group, Lippo Karawaci, PT. Alam Sutera
Tbk, dan PT. Summarecon Agung Tbk[3].
Para pengembang tersebut kemudian membangun kota-kota baru di kawasan tersebut
dan perumahan yang dibangun di kawasan-kawasan tersebut harganya sudah tidak
bisa dijangkau oleh kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Kita bisa ketahui
bersama bahwa sampai sekarang tidak ada rejim pemerintahan yang berani
mengambil risiko politik untuk mengubah ketimpangan dan ketidakadilan ini.
Selain soal penyediaan lahan
yang mahal, penyediaan perumahan layak jika masih mengandalkan bahan-bahan bangunan
seperti yang dilakukan para pengembang atau Perumnas, maka tak pelak harganya
juga semakin tinggi. Bahan-bahan
bangunan rumah seperti semen, kayu, batu, batu bata, baja akan semakin langka
dan mahal harganya. Bahan-bahan tersebut diambil dari alam dan bukan merupakan
sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Sedangkan upaya menggunakan
bahan-bahan daur ulang tidak kunjung menjadi kebijakan dan semakin hilang dari
tradisi. Jadi, dilema yang terjadi dengan upaya mengurangi backlog kepemilikan rumah akan mempercepat pula kerusakan alam.
Masalah pemenuhan perumahan yang layak semakin rumit
dengan kebijakan pemerintah yang keliru, khususnya pemerintah daerah, yang
demikian mudah melakukan penggusuran dengan berbagai alasan, seperti untuk
ketertiban umum, keindahan kota, alih fungsi lahan, dan sebagainya. Penggusuran
yang terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, telah menyebabkan banyak
warga kehilangan tempat tinggal. Menurut laporan LBH Jakarta tahun 2016, ada
5.726 keluarga di Jakarta yang kehilangan tempat tinggal karena penggusuran di
tahun 2016 (LBH Jakarta, 2016 : 30). Sebagian dari mereka ditempatkan di rumah
susun sewa, sebagian pulang kampung, dan banyak pula yang mencari lahan-lahan
informal baru untuk ditempati. Kebijakan penggusuran ini telah menghancurkan
upaya mandiri warga dalam membangun dan mengembangkan rumah yang layak yang
dilakukan bertahun-tahun. Tentu saja tidak hanya rumah atau tempat tinggal yang
hilang, tapi juga pekerjaan, ikatan sosial, budaya, dan sejarah komunitas.
Terobosan dari Dua Aras
Untuk memenuhi hak atas
perumahan yang layak bagi semua warga, khususnya yang berpendapatan rendah,
beberapa terobosan perlu dilakukan, baik oleh negara maupun kalangan masyarakat
sipil. Seperti yang sudah dipaparkan di muka, bahwa kebijakan terkait
penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah sudah dilakukan
sejak era Soeharto sampai sekarang telah terbukti gagal. Untuk itu tidak bisa
hal ini hanya mengandalkan negara sendiri, tapi ada sinergi terobosan dari dua
aras : negara dan masyarakat sipil.
Dari aras negara, kebijakan
perlu dilakukan, pertama, menghentikan penggusuran dan mencari
alternatif-alternatif penataan perumahan rakyat. Penggusuran yang banyak
dilakukan seringkali tidak menyelesaikan masalah, justru memperparah masalah,
khususnya dalam pemenuhan hak atas perumahan. Mereka yang tergusur tidak semua
bisa ditampung di rumah susun sewa, sebagaimana kebijakan yang pernah dilakukan
di Jakarta. Beberapa alternatif yang dikemukakan oleh United Nations Economic
and Social Commission for Asia and the Pacific dan United Nations Human
Settlement Programme (selanjutnya ditulis UN ESCAP & UN Habitat) tahun 2008
bisa dijadikan rujukan. Menurut UN ESCAP & UN Habitat, ada 3 alternatif
selain penggusuran : (1) membiarkan warga tetap di tempat tinggalnya sekarang
dengan memberikan kepastian hukum dan perbaikan permukiman; (2) berbagi dalam
penggunaan lahan; dan (3) melakukan permukiman kembali.
Pertemuan jaringan kampung JRMK Jakarta membicarakan
program CAP (community action plan) untuk menata permukiman rakyat miskin kota
di Jakarta. Sumber foto :
https://web.facebook.com/photo.php?fbid=1109669345854140&set=pcb.1109689605852114&type=3&theater
Alternatif lain dengan berbagi dalam penggunaan lahan juga jalan yang layak dilakukan. Apalagi sudah ada preseden soal ini di Makassar, yakni di Kampung Pisang. Warga dipindah dari lokasi yang sebelumnya ke lokasi yang jaraknya sangat dekat, dan di situ warga berbagi dengan pengusaha. Pemerintah memfasilitasi dan memediasi pembagian lahan dan kemudian membantu dalam penyediaan fasilitas-fasilitas permukiman.
Terkait dengan
alternatif-alternatif selain penggusuran, kebijakan yang kedua yang perlu dilakukan
adalah negara perlu mendukung
pembangunan perumahan swadaya yang menyeluruh, khususnya dalam
penyediaan lahan. Sebagian besar rumah-rumah di negeri ini dibangun secara
swadaya oleh warga. Mereka dengan kemampuan diri maupun komunitas membangun rumah
sendiri dengan berbagai siasat, yang kadang mulai dari sangat sederhana dan
pelan-pelan dibenahi menjadi semakin layak. Selama ini memang sudah ada
kebijakan untuk mendukung pembangunan rumah swadaya, misalnya pembiayaan
perumahan swadaya di pemukiman kumuh. Tapi ini belumlah cukup, hanya sporadis
menjangkau warga. Dibutuhkan kebijakan tidak sekedar pembiayaan, tapi juga
penyediaan lahan atau memberikan kepastian hukum terhadap lahan-lahan yang
sekarang ditempati rakyat miskin,baik di kota maupun di desa. Untuk itu
diperlukan keberanian politik bagi pemerintah yang berkuasa, karena biasanya
lahan-lahan, di kota khususnya, menjadi incaran dan perebutan korporasi
properti atau pemilik modal yang menggunakan berbagai cara dalam menguasai
sebuah lahan di lokasi strategis di kota. Dan diketahui bahwa para “Naga”
properti tersebut acapkali menjadi
sumber pendanaan bagi kekuatan politik yang bertarung dalam pemilu (Jo Santoso
dalam Abidin Kusno, 2012: 151).
Kebijakan penyediaan lahan
yang harus dilakukan negara ini sebaiknya tetap mengacu pada syarat-syarat
tempat tinggal yang layak, khususnya tentang lokasi yang mempunyai akses
terhadap berbagai pilihan tempat kerja, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
fasilitas sosial lain. Pilihan lokasi ini yang kadang menjadi alasan utama
rakyat miskin perkotaan untuk bertempat tinggal di kawasan kumuh, informal, dan
berbahaya tapi dekat dengan tempat kerja mereka, yang biasanya ada di tengah
kota.
Dari aras masyarakat sipil, khususnya dari kelompok-kelompok masyarakat marjinal yang selama ini kesulitan memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang layak juga dibutuhkan upaya-upaya yang tekun dalam melakukan pengorganisasian dan advokasi. Rakyat miskin kota yang tinggal di kawasan informal dengan kondisi perumahan sangat tidak layak dan terancam dari penggusuran seringkali dalam kondisi yang mudah dipecah-belah, dan baru bergerak ketika ancaman sudah ada di depan mata. Kondisi seperti itu akan memudahkan kelompok yang mempunyai kekuatan ekonomi maupun politik meminggirkan mereka dan memanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya lokasi yang dulunya ditempati warga miskin perkotaan dan setelah mereka digusur kemudian dibangunlah pusat perbelanjaan, dan permukiman kaum elit.
Melalui pengorganisasian setidaknya rakyat yang selama ini ringkih dan terpecah belah mulai menyatukan diri, mempunyai kepedulian terhadap situasi dan kondisi lingkungan atau kampung mereka, dan mencoba memahami masalah dan menyelesaikan secara bersama-sama. Termasuk di sini adalah masalah pemenuhan atas rumah yang layak. Tentu dibutuhkan pula kerjasama dengan masyarakat sipil lainnya yang mempunyai kepedulian tulus untuk mewujudkan pemenuhan hak atas rumah yang layak, misalnya organisasi non pemerintah, akademisi, para profesional, dan sebagainya.
Selama ini sudah terlalu banyak para profesional atau akademisi yang direkrut para pengembang properti untuk menjadi konsultan, tapi masih terlalu sedikit yang mau menjadi mitra bagi rakyat miskin. Beberapa yang sedikit misalnya kerjasama dalam pembangunan permukiman rakyat miskin di Kampung Pisang, Makassar, yang dilakukan oleh warga Kampung Pisang, Komite Pembebasan Rakyat Miskin (KPRM), Urban Poor Consortium (UPC), Arsitek Komunitas (ARKOM), dan lain-lain. Selain itu juga mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial dan Pemerintah Kota Makassar.
Proses pertemuan warga untuk penataan pemukiman di
Kampung Pisang (Makassar)
Pengorganisasian perlu
dibarengi dengan advokasi yang disokong dengan konsep atau pemecahan alternatif
dalam pemenuhan atas perumahan yang layak. Dalam hal ini kriteria dari UN
Habitat tentang tempat tinggal yang layak bisa menjadi panduan bagi advokasi
kebijakan dalam pemenuhan atas tempat tinggal bagi rakyat miskin. Ada tujuh
kriteria yang menentukan tempat tinggal disebut layak, yakni: (1) adanya
jaminan kepemilikan lahan, (2) adanya pelayanan dasar dan infrastruktur, (3)
harus terjangkau dari segi biaya, (4) dapat ditinggali, (5) bisa diakses oleh
semua kelompok, (6) lokasi memiliki akses terhadap berbagai pilihan tempat
kerja dan fasilitas sosial, (7) serta mencerminkan budaya penghuninya (UN ESCAP
& UN Habitat, 2008:11).
Kasus yang disebutkan sebelumnya yang terjadi di Jakarta (CAP) dan di Makassar (Berbagi Lahan), tidak akan terjadi jika tidak ada upaya advokasi yang dilakukan dengan konsep alternatif yang matang. Konsep alternatif tersebut terkait dengan lokasi, desain, bahan bangunan, dan proses pembangunan, yang selain memenuhi kriteria layak juga dilakukan secara partisipatif dan berkelanjutan. Di dua kota tersebut advokasi yang dilakukan sampai dalam tahap kontrak politik antara warga dengan calon kepala daerah.
Peletakan batu pertama pembangunan Kampung Pisang
(Makassar) dengan Konsep Terpadu
Terakhir, proses
pengorganisasian dan advokasi yang dilakukan harus berbarengan dengan upaya
mengembangkan jaringan baik horizontal maupun vertikal agar kekuatan warga
semakin besar dan konsep alternatif yang ditawarkan bisa diterima dan menjadi
kebijakan daerah.
Jika dua aras ini bisa berpadu, setidaknya ada harapan bahwa pemenuhan terhadap hak atas tempat tinggal yang layak akan terwujud. Tinggal selanjutnya dibutuhkan kebijakan yang komprehensif agar penduduk desa tidak terus berbondong-bondong datang dan tinggal di kota besar. Jika tidak ada keseimbangan populasi warga dengan daya dukung ruang dan daya dukung alam, tentu tempat tinggal yang layak juga tidak bisa terwujud. Dibutuhkan sebuah kebijakan negara dan upaya masyarakat sipil yang terpadu pula sehingga penduduk desa juga punya hak untuk tetap tinggal di desa dengan sejahtera dan kualitas hidup yang terus meningkat.
[1]
https://properti.kompas.com/read/2017/09/29/073058721/september-2017-realisasi-program-sejuta-rumah-capai-623344-unit
[2] Program 1000 Tower atau
1000 rusunami (rumah susun milik) yang dicanangkan Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono pada tahun 2006 ini akhirnya berakhir dengan kegagalan. Rusunami
tidak terjadi malah akhirnya menjadi apartemen untuk kelas menengah. (Lihat
Abidin Kusno, 2012 :51)
[3] Sejumlah Naga Properti Kuasai
Ribuan Hektar Lahan di Jadebotabek, http://properti.kompas.com/read/2015/10/05/220000721/Sejumlah.Naga.Properti.Kuasai.Ribuan.Hektar.Lahan.di.Jadebotabek?page=all
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini