[PIKIR] Tantangan dan Peran Ibu Masa Kini



http://www.ajcebeats.com/maa/
Kita hidup di jaman modern. Modernitas sering dimaknai sebagai kemajuan dalam tatanan masyarakat saat ini. Masyarakat kita pun disebut masyarakat modern. Masyarakat seperti ini diidentikkan dengan masyarakat yang menguasai teknologi, memiliki gaya hidup yang serba cepat dan praktis, dengan tingginya tuntutan pemenuhan kebutuhan untuk menjawab modernitas itu. Semua ini membawa perubahan dan dampak dalam wajah keluarga jaman ini. Khususnya, peran ibu dan budaya pengasuhan serta pendidikan dalam keluarga.


Tantangan modernitas bagi ibu

Dulu ibu dikenal sebagai pelaku utama pekerjaan domestik atau wilayah kerumahtanggaan. Kini ia tidak lagi menjadi satu-satunya ruang yang ditempati ibu untuk keluarganya. Banyak pihak kini dapat mengambil peran domestik ini, misalnya ayah, anggota keluarga yang lain, atau bahkan asisten rumah tangga. Sebaliknya, juga makin banyak ibu mengambil pekerjaan ‘non-domestik’ – artinya pekerjaan di luar wilayah kerumahtanggaan, baik untuk mencari uang ataupun motif non-finansial (misalnya kerja sosial). Pekerjaan non-domestik ini bisa dikerjakan secara fisik di luar rumah, ataupun secara fisik tetap di dalam rumah.


Dengan demikian secara umum ada tiga kategori; (a) ibu yang mengambil peran domestik sepenuhnya; (b) ibu yang mengambil pekerjaan non-domestik di luar rumah; dan (c) ibu yang mengambil pekerjaan non-domestik dari dalam rumah. Ketiga kategori peran ini berbeda secara mendasar – demikian juga implikasinya. Pergeseran peran ini bisa karena pilihan bebas atau tanggungjawab, tetapi juga bisa disebabkan oleh ‘keterpaksaan’ yang diakibatkan oleh modernitas tadi – misalnya tuntutan ekonomi, sosial, budaya, bahkan teknologi. Ibu yang mengambil pekerjaan non domestik, misalnya, seringkali terjadi karena tuntutan ekonomi, meskipun ada juga ibu yang memilih bekerja karena alasan lain baik personal maupun keluarga.

Biaya hidup yang makin tinggi, tidak mencukupinya penghasilan yang ada kerap menjadi pendorong ibu harus bekerja mencari uang dan meninggalkan (seluruhnya atau sebagian) peran kerumahtanggaannya. Fenomena ‘working mother’ secara umum dipahami dalam konteks ini. Namun ada juga ibu yang meski harus mencari nafkah tetap ingin berdekatan dengan keluarganya, atau tetap menjalankan peran domestiknya meski terbatas. Mereka ini dikenal sebagai ‘working-at-home mother’. Peran teknologi modern khususnya teknologi informasi amat besar untuk membantu para ibu yang bekerja dari rumah. Sementara itu, ibu yang mengambil peran kerumahtanggaan sepenuhnya sering disebut sebagai ‘stay-at-home mother’ (sebelumnya, ‘full-time mother’). Mereka secara purna-waktu mengambil peran dan tanggungjawab domestik bagi keluarganya.

Seluruh pengistilahan di atas barangkali populer, namun kadangkala menyesatkan dan menimbulkan perdebatan yang tidak produktif (misalnya ‘stay-at-home/full-time mother’ kerap dipertentangkan dengan ‘working/working-at-home mother). Istilah-istilah tersebut diperkenalkan di sini hanya untuk menjelaskan fenomena di atas sebagai tantangan paling kontekstual yang dihadapi para ibu saat ini.

Asah, asih, asuh’, adalah pepatah yang melekat erat pada peran ibu dalam keluarga. Semua ibu –baik yang mengambil peran domestik sepenuhnya atau sebagian, yang sepenuhnya mengurus kerumahtanggaan ataupun yang bekerja baik di luar maupun dari rumah—perlu memahami bahwa mereka punya peran sosial sangat besar. Merekalah fondasi bangunan sebuah generasi bangsa yang baru. Peran multidimensi yang disandang oleh ibu dalam keluarga dan masyarakat menjadi demikian penting di balik ketahanan sebuah bangsa.

Ibu menjadi titik tolak pembangunan generasi yang bijak teknologi, yang memiliki tingkat kepedulian sosial tinggi dan terlibat dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan lingkungan yang menjadi perhatian dunia saat ini. Ibu juga berperan sentral melahirkan generasi antikorupsi yang dibutuhkan bagi bangsa ini agar mampu berdikari dan bermartabat. Generasi-generasi di atas hanya mampu dihasilkan dari keluarga yang memiliki kepedulian tinggi untuk membangun karakter anak-anaknya. Dan ibu memegang peran sentral di sini. 

Sejauh mana kesadaran ini dipahami?


Memilih: Kebebasan atau keterbatasan?

Hampir pasti, banyak ibu –khususnya ibu masa kini—memiliki kesadaran tersebut di atas. Persoalannya bukan pada kesadaran, namun pada pilihan menyikapi kesadaran tersebut. Banyak yang mengira kemajuan hari ini membawa kebebasan, namun tak banyak yang paham bahwa apa yang dianggap ‘bebas’ sebenarnya terbatas. Misalnya, kebebasan memilih makanan atau minuman sangat ditentukan oleh keterbatasan apa yang tersedia di pasar; kebebasan memilih acara televisi sangat ditentukan oleh stasiun televisi apa saja yang bisa ditangkap.

Proses memilih ini menjadi sangat penting karena berbagai tantangan kehidupan jaman modern saat ini. Setidaknya dua pertimbangan mungkin berguna dalam memilih: (a) apakah bentuk keinginan atau kebutuhan? (b) apakah untuk mencapai ke-“cukup”-an atau membiarkannya jadi berlebihan? Beberapa hal berikut ini berangkat dari pengalaman dan refleksi saya pribadi, yang mungkin bisa menjadi catatan bersama bagi kita, para ibu, dalam menentukan pilihan.

a. Bijak teknologi
Tak terbantahkan lagi bahwa di masa kini, dalam tumbuh kembang anak, teknologi bagai pisau bermata dua. Kecanggihan teknologi dan kemampuan adaptasi anak yang tinggi terhadap perkembangan harus secermat mungkin diberi perhatian oleh orang tua. Seringkali kita terjebak dalam mengidentifikasi kemajuan perkembangan anak melalui interaksinya dengan teknologi. Penguasaan teknologi (mulai dari komputer sampai dengan robotik) umumnya mengindikasikan berkembangnya fungsi kognisi. Padahal tumbuh kembang anak yang utuh dan seimbang mencakup tak hanya kognisi, melainkan juga motorik dan emosi.

Menjadi generasi bijak dalam teknologi media, bukanlah sebuah keterampilan hidup yang turun dari langit pada anak-anak kita. Di sinilah letak peran orangtua khususnya ibu dalam mendampingi anak –yakni untuk menyeimbangkan perkembangan kognitif dengan kematangan aspek motorik dan emosinya. Intinya adalah memberikan arahan dan aturan yang tidak sekedar bersifat membatasi interaksi anak dengan teknologi, tetapi justru memperkaya aspek dan pembangunan karakter lainnya misalnya membangun dialog yang saling memenangkan (win-win solution), membangun komitmen, menentukan prioritas, sekaligus melatih anak-anak untuk terampil dalam menyaring informasi yang demikian cepat dan demikian beragam  ketika bersentuhan langsung dengan media baik lewat televisi dan internet. Informasi yang tak terbendung dapat kita pilah dan pilih, salah satunya melalui “Saringan Socrates”, yakni : apakah informasi yang diberikan itu mengandung kebenaran, apakah ia memberikan kebaikan, dan terakhir apakah informasi tersebut memberikan manfaat dalam kehidupan kita.

Dialog yang terbuka antara anak dan orangtua khususnya ibu atas apa yang dialami dan dipelajari anak melalui teknologi menjadi penting untuk membantu anak memberikan makna atas pengalaman dan pembelajaran yang didapat. Teknologi adalah penanda kemajuan dan selalu punya dua sisi. Kepekaan melihat sisi ‘baik’ teknologi yang bisa digunakan untuk kebaikan dan kemampuan untuk memahami bagaimana sisi ‘gelap’ teknologi juga bisa digunakan untuk keburukan menjadi sangat penting. Maka penting bertanya: apakah memilih menggunakan satu teknologi tertentu adalah keinginan atau kebutuhan? Untuk apa dan mengapa, serta apa dampaknya? Ungkapan ‘technology savvy’ dalam hal ini merujuk bukan pada penguasaan teknis atas teknologi, tetapi pemahaman utuh, termasuk aspek-aspek non teknis, dari teknologi.

Upaya lain untuk menyeimbangkan dampak negatif dalam berteknologi, anak-anak tetap harus didorong untuk juga melakukan aktivitas dan permainan yang bersifat fisik dan berinteraksi secara sosial di samping ber-teknologi.

b. Mawas konsumsi
Pilihan-pilihan sadar untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari menjadi sebuah pembelajaran yang harus dipahami oleh para ibu, bahwa hal ini akan mengendap dan tinggal dalam memori anak dan ini menjadi fondasi kebiasaan yang akan dibawa hingga dewasa. Bayangkan setiap hari tuntutan kebutuhan demikian tinggi dan semakin banyak orang mencari kenyamanan melalui pilihan yang serba memudahkan, cepat dan praktis: mulai dari mengkonsumsi makanan instan, hingga belanja instan di supermarket atau gerai-gerai waralaba. Memang, kebutuhan hidup akan barang dan jasa makin mudah didapat melalui proses fabrikasi. Cara kita memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sudah demikian dipengaruhi dan dibentuk oleh pasar lewat iklan yang memainkan insting, selera, dan rasa kita sebagai konsumen. Siapa sasaran empuknya? Perempuan dan anak. Jelas, kita perlu menyikapi dengan bijak.

Ambillah contoh soal makanan, satu kebutuhan dasar manusia. Dorongan industri makanan begitu luar biasa: dari makanan cepat saji yang tersebar di mana-mana hingga mudah diakses, hingga industri makanan beku dan instant yang menawarkan kepraktisan. Hal ini membuat orang, khususnya para ibu, tak perlu lagi repot setiap hari ke pasar dan menghabiskan banyak waktu di dapur. Ditambah dengan iklan yang dipapar  di televisi dan menjadi konsumsi pikiran, manifestasinya dalam tindakan cara memilih pangan menjadi nyaris otomatis. Bayangkan iklan produk makanan yang tinggal sobek, tinggal cemplung, tinggal panaskan dengan microwave, tinggal tuang air panas, atau tinggal digoreng. Jargon-jargon ini menjadi mantra industri makanan modern yang langsung diaminkan banyak ibu, yang kini tanpa susah-payah harus masak dari bahan mentah. Apakah hal ini salah?

Pola di atas kerap menjadi jawaban bagi ibu-ibu yang sibuk tetapi juga harus menyediakan makanan bagi keluarganya. Peran ibu di masyarakat modern lantas begitu lekat dan identik dengan kepraktisan pengolahan dan penyajian makanan. Tetapi sadarkah kita bahwa hal ini menempatkan anak-anak kita pada ketidaktahuan dan ketidakpedulian tentang asal usul makanan yang mereka konsumsi? Ini terkait tidak saja dengan aspek kesehatan mereka sendiri, namun pembentukan selera dan kesadaran mengkonsumsi: apakah mengkonsumsi sesuatu karena memang butuh atau karena sekedar ingin? Kenyamanan dan kemelekatan yang menjadi adiksi akan menjadi kebiasaan/habit yang sulit dihentikan. Akibat lain adalah bahwa dengan semakin mudahnya kita membeli dan mengkonsumsi, kita makin jauh berjarak dengan kesadaran berproduksi, termasuk misalnya berproduksi pangan dari pekarangan yang dulu demikian lazim dilakukan para ibu untuk membantu ekonomi keluarga dan media pembelajaran yang paling efektif bagi anak.

c. Sadar keber-cukup-an
Hidup sederhana dengan sadar dan rela barangkali justru salah satu hal paling susah di jaman ini. Kalaupun ada yang hidup sederhana, hal itu dimaknai sebagai ‘pas-pasan’ dan lebih karena ‘keterpaksaan’ daripada pilihan sadar. Mengapa? Satu sebabnya: sulit, malah hampir tak bisa, untuk berkata ‘cukup’ untuk diri sendiri dan keluarga. Cukup, untuk penghasilan yang didapatkan; cukup untuk barang dan jasa yang dikonsumsi; cukup untuk kepemilikan atas berbagai barang dan properti lain. Namun mengatakan dan bersikap cukup memang tidak mudah. Alih-alih malah kita merasa terasing dari masyarakat modern kapitalistik di sekitar kita yang memang tidak pernah merasa cukup –khususnya dalam mengkonsumsi. Mereka yang hidup di kota besar barangkali mengenal istilah ‘Gaji 15 koma’ artinya ‘… setelah tanggal lima belas, keuangan pun koma’ – alias menjadi tidak berdaya di setengah sisa bulan. Konsumsi seakan menjadi dorongan yang tak terhindarkan, bahkan sampai mengabaikan kemampuan berproduksi atau mendapatkan pemasukan. Maka makin jelas, bahwa pilihan-pilihan mendasar menjawab kebutuhan lewat konsumsi harus semakin kita kaji dan pertimbangkan sungguh-sungguh.

Pola konsumsi kita seharusnya mulai berubah. Tak hanya mencukupkan diri dalam berbelanja apa yang sungguh dibutuhkan dan bukan sekedar diinginkan, tapi juga dalam hal konsumsi pangan. Sadarkah kita bahwa makanan yang paling sederhana pengolahannya (mentah, hanya dikukus, atau direbus dengan bumbu alami) justru adalah hal yang paling mewah bagi tubuh kita? Sebaliknya, yang seolah mewah dan rumit serta penuh tambahan (digoreng, dibakar dengan berbagai penyedap rasa dan pengawet) justru sering menjadi perusak badan?

Konsumerisme adalah ‘konsumsi yang mengada-ada’. Manusia perlu mengkonsumsi, namun konsumsi yang mengada-ada, dibuat-buat, semata-mata demi keinginan, adalah konsumerisme. Ibu punya peran kunci menanamkan nilai-nilai penting untuk melawan konsumerisme dengan mencukupkan diri dengan yang ada,  bukan berlomba mencari dan menambah dengan mengada-ada. Hari-hari ini, memperbaiki apa yang rusak dan bukannya membuang dan menggantinya tak lagi menjadi bagian dari nilai keluarga kita. Barang apapun yang rusak, yang sebenarnya bisa kita perbaiki sendiri, begitu mudah kita buang dan kita beli yang baru sebagai penggantinya. Ibu bisa mengembalikan nilai itu dalam keluarga.


d. Sadar lingkungan untuk generasi hijau

Dengan pola konsumsi yang kita miliki, sadarkah kita bahwa  rumah tangga berkontribusi menghasilkan sampah sekitar 2,5 liter per per hari per kepala (KLH, 2012). Pengelolaan sampah rumah tangga dengan sistem kumpul-angkut-buang sudah tak bisa lagi menjawab persoalan sampah. Kesadaran baru pengelolaan sampah melalui 3R; Reduce, Reuse, Recycle,[T1]  yang sudah dilakukan perlu terus didukung. Selain itu perlu Rethink - yakni bahkan sebelum mengkonsumsipun kita sudah harus mulai memikirkan sampah akhir yang akan diproduksi dari konsumsi tersebut. Jika bisa, hindarilah penambahan volume sampah non organik, mulai dengan mencari alternatif hingga menggantinya dengan produk yang ramah lingkungan. Konsep Reuse perlu mendapat perhatian lebih pada usaha Repair – yakni barang yang rusak tidak selalu harus langsung dibuang tetapi diusahakan memperbaikinya. Gagasan lain yang perlu dipikirkan adalah Recover – yakni aktif mengusahakan sumber-sumber daya baru yang terbarukan dalam konsumsi kita.  Keluarga yang peduli akan pengelolaan sampah akan menyumbangkan jawaban atas persoalan hidup keberlanjutan.

Ibu bisa menjadi aktor kunci untuk sadar lingkungan dari dalam keluarga dan lingkungan sekitar, melalui tindakan-tindakan sederhana. Mulailah dari hal sederhana, mengajarkan dan memberikan contoh pada keluarga khususnya anak-anak untuk bisa memilah sampah dan melakukan diet plastik. Sampah organik selanjutnya dapat dijadikan pupuk kompos, sedangkan yang non-organik dapat didaur atau digunakan ulang. Ibu juga bisa menjadi garda depan gerakan peduli pola konsumsi pangan yang berbasis tanaman, alami, lokal, dan non transgenik atau non-GM (genetically modified). Mulai dari dapur dan rumah sendiri, ibu bisa membangun kesadaran seluruh anggota keluarganya untuk mencari bahan pangan lokal (bukan impor) dan alami (tanpa pestisida, bukan hasil rekayasa genetika, dan diproduksi tanpa pengawet buatan). Gerakan berkebun atau menanam sayur di pekarangan, lahan kosong, atau bahkan berkreasi dengan pot atau hidroponik, yang bisa dilakukan di rumah, sekolah atau lahan tidur. Menghijaukan lingkungan tempat kita tinggal atau tempat bekerja untuk memberi udara bersih, memberikan kesejukan dan mendapatkan manfaat langsung berupa buah dan sayuran dari tanaman produktif di sekitar, merupakan usaha baik untuk mengurangi pemanasan global.

Mengenalkan pasar tradisional bukan hanya soal konsumsi, melainkan membangun kesadaran lebih luas akan dampak pola konsumsi terhadap lingkungan khususnya pangan lokal. Pasar tradisional bisa menjadi ajang pembelajaran dampak sourcing pangan lokal pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Terobosan-terobosan menggunakan kembali berbagai produk rumah tangga dengan bahan sealami mungkin, misalnya mengganti deterjen dengan lerak, garam, cuka, baking soda dan jeruk nipis. Tak hanya untuk kesehatan, namun hal semacam ini secara langsung berkontribusi menurunkan jejak karbon konsumsi kita.


Catatan penutup
Satu tanda kemajuan adalah kecepatan. Dunia makin cepat bergerak, informasi makin cepat masuk, beragam pilihan makin cepat tersaji. Namun kemampuan kita mencerna dan memilih seringkali tidak sama cepatnya. Apalagi anak-anak. Ibu punya peran besar untuk membantu anak-anak menanggapi cepatnya dunia yang berputar di sekitar mereka. Apa yang saya sampaikan di atas hanyalah refleksi sederhana mengenai peran seorang ibu –semua ibu: entah working mother, work-at-home mother ataupun stay-at-home mother—di jaman modern ini. Peran utamanya adalah untuk menyuntikkan kesadaran terhadap segala kecepatan kemajuan jaman ini. Ibu harus semakin mampu menyuarakan kesadaran baru lewat aksi yang nyata dalam pilihan bagi keluarganya yang sebenarnya akan menjadi kesadaran kolektif sebagai fondasi keberhasilan menghasilkan generasi bangsa yang lebih peduli, lebih bijak dan lebih bermartabat bagi negara besar ini.


No comments:

Post a Comment

Silakan berikan tanggapan di sini