[OPINI] Merenungkan Peran dan Beban Ganda Perempuan

Oleh: Theresia Sri Endras Iswarini

http://mariapandu.files.wordpress.com/2011/02/peranganda200410-1.jpg
 Hari ini keponakan saya lahir.  Semua bahagia. Sebagaimana biasa, lahirnya anggota keluarga baru membawa aura kegembiraan tersendiri meski tugas dan tanggungjawab orangtua bertambah. Bangun tengah malam, mengganti popok jika pipis, memberi minum jika haus atau sekedar menidurkannya jika tiba-tiba si kecil bangun. Semua dilakukan dengan kesadaran bahwa ini adalah sebuah tanggungjawab atas apa yang telah dipilih. Menjadi orangtua. Tentu saja tugas menjadi orangtua tidak hanya tugas ibu melainkan juga sang ayah. Itu sebabnya jauh hari saya sudah mengatakan pada adik saya untuk berbagi tugas domestik karena sulit bagi sang ibu untuk melakukannya sendiri karena pada saat yang sama dia juga harus mendapatkan istirahat yang cukup mengingat tugas reproduksi yang tidak mudah. Sang ibu harus menyusui dan demi mendapatkan susu yang sehat dan berlimpah maka sang ibu harus mendapatkan istirahat yang cukup, relaks dan gizi yang cukup. 

Lalu setelah beberapa waktu, perempuan akan kembali bekerja di luar rumah untuk mencukupi kebutuhan hidup. Meski mungkin penghasilannya tidaklah besar, perempuan merasa tetap harus bertanggungjawab secara ekonomi. Pergi pagi, pulang malam adalah hal biasa dilakukan oleh perempuan dengan syarat bahwa perempuan tetap harus menyiapkan seluruh keperluan keluarga sebelum berangkat kerja dan menyiapkan makan malam jika pulang.  Sungguh, memiliki peran ganda, menjadi ibu dan pekerja bukanlah perkara mudah di tengah tuntutan ekonomi dan sosial yang semakin tinggi terhadap keluarga saat ini, apalagi jika tidak mendapatkan dukungan dari pasangannya.  Meski demikian, peran ganda tersebut bukanlah hal yang asing dilakukan bahkan dalam sejarahnya negara telah melegitimasi peran tersebut dalam konsep ‘ibu-isme’ yang mana perempuan ideal dilabelkan sebagai perempuan yang mampu bekerja baik di rumah maupun di luar rumah, menjadi ibu dan mengurus seluruh keluarga dan pada saat yang sama harus patuh dan tunduk pada suami. Itu sebabnya jika perempuan bergaji lebih tinggi dari suaminya maka suami akan merasa ‘terintimidasi’ karena bagaimanapun penghasilan istri hanyalah penghasilan tambahan. 

Apakah peran ganda adalah suatu yang ideal meski dipuja-puja sebagai kekuatan perempuan? Dibentuk pandangan sistematis dan terstruktur bahwa perempuan idaman adalah perempuan yang mampu menjadi ‘super woman’.  Jauh di dalam hati, dengan melihat berbagai pengalaman perempuan yang saya temui, saya katakan peran ganda perempuan sebenarnya juga tidak sepenuhnya sehat. Karena dia memunculkan konsekuensi adanya beban ganda bahkan multi yang bisa mempengaruhi kualitas hidup seseorang.


Peran Ganda Permpuan
Bayangkan jika seseorang harus bekerja hampir 24 jam sehari, tidak memiliki waktu istirahat yang cukup dan makan yang kurang karena menomorsatukan yang lain. Orang itu, secara fisik dan mental, akan mudah sakit! Itu pula yang akan terjadi pada perempuan yang bekerja siang dan malam tanpa mengindahkan kesehatan jiwa dan raga. Perempuan akan gampang tersinggung, mudah emosi, cenderung lebih suka mengalah karena sudah terlalu lelah untuk berdebat, dan lebih patuh karena sudah kehabisan energi untuk menentang.  Akibatnya perempuan kemudian dicap sebagai manusia ringkih, emosional, gampang menangis, pasif dan karena itu harus dilindungi.  Akibat lebih jauhnya, perempuan akan mengalami penyakit-penyakit seperti kanker payudara yang terbukti dipicu juga oleh stress yang diakibatkan dari adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki.

Sedangkan laki-laki yang lebih banyak berperan sebagai pemimpin di rumah dan publik, memiliki banyak pengetahuan karena pertemuannya dengan berbagai macam orang sehingga memiliki ruang lebih banyak untuk mengaktualisasikan diri. Laki-laki kemudian menjadi lebih aktif, lebih tegas, lebih didengarkan, lebih cepat membuat keputusan karena dibiasakan untuk memimpin. Cap tersebut kemudian menjadi sesuatu yang baku, tidak bisa diubah, ‘sudah dari sononya’ karena diamini dan dilakukan selama bertahun-tahun. Akibat selanjutnya adalah pemahaman yang salah tentang peran perempuan dan laki-laki.  Pemahaman yang salah tersebut kemudian disosialisasikan dari orangtua terutama ibu kepada anak-anaknya, dari generasi ke generasi.

Apakah peran ganda hanya berdampak pada perempuan? Bagaimana dengan laki-laki yang juga manusia dengan kualitas yang sama dengan perempuan saat dilahirkan? Jika direnungkan lebih jauh, peran ganda perempuan sebenarnya memberikan kontribusi pada matinya sisi feminin laki-laki. Mengapa demikian? Mari kita bayangkan laki-laki yang melulu hanya dilayani oleh perempuan maka dia tidak akan mampu mengembangkan kemampuan lainnya terutama dalam melengkapi tugas sebagai ayah dan suami.  Menjadi ayah atau suami sebenarnya tidak hanya membutuhkan kualitas dan maskulinitas semata seperti memperbaiki atap rumah atau mengisi bak mandi tetapi sisi feminim pun seharusnya dikembangkan. Jika sisi feminitas tersebut tidak dikembangkan maka ayah atau suami akan luput memahami kebutuhan sang anak akan afeksi. Ayah atau suami tidak cukup sensitif memahami perubahan perilaku dan pikiran dari anak-anak terutama mereka yang sedang beranjak remaja.  Saya membayangkan jika sang ayah juga bersedia untuk memasak sarapan pagi untuk keluarga maka anak akan belajar bahwa ayahnya memiliki rasa cinta yang sama dengan ibunya. Pada gilirannya, pembagian kerja yang adil di rumah akan menyumbang pada kedewasaan anak.  Anak akan memiliki pemahaman baru bahwa pekerjaan domestik dapat dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki.

Pertanyaan berikutnya, sulitkah membangun dunia baru yang lebih adil bagi perempuan dan laki-laki? Jawabannya: tidak ada kata yang sulit jika kita mau dan bersedia untuk melakukan perubahan! Setidaknya mulailah dari diri sendiri, lalu keluarga dan akhirnya lingkar terdekat kita.  Lalu apa saja yang diperlukan untuk mendukung perubahan tersebut? Pertama, kesadaran; kedua, keterbukaan untuk menerapkan dan ketiga adalah ketahanan. Kesadaran bahwa ketimpangan pembagian kerja di rumah akan berkontribusi pada matinya kemampuan untuk menjadi diri sendiri, tidak berkembangnya sisi feminin dan maskulin dari kedua pihak dan berkembangnya pemahaman yang salah tentang peran perempuan dan laki-laki.  Begitu kesadaran itu tumbuh dan berkembang maka tantangan berikutnya adalah membangun keterbukaan untuk menerima dan menerapkan hal baru yang mungkin menantang seluruh bangunan kultural.  Disinilah dibutuhkan ketahanan tingkat tinggi sekaligus kelenturan untuk terus-menerus mempraktekkan perspektif baru tentang pembagian kerja yang adil di rumah dan di luar rumah. Akan ada banyak protes, cemoohan, ejekan, terhadap praktek baru ini seiring juga munculnya pujian atau acungan jempol karena berani berubah. Berani melakukan sebuah revolusi! Anda mau mencoba? Silakan dan sangat disarankan karena dampaknya akan sangat terasa baik pada diri sendiri maupun pada seluruh keluarga. Membayangkan banyak keluarga akan menjadi lebih sehat jiwa, raga dan psikologis tentu akan memberikan warna tersendiri bagi dunia ini.  Selamat mencoba!


No comments:

Post a Comment

Silakan berikan tanggapan di sini