Di
bulan Mei tahun 2011, Abrar harus mengikuti sebuah hajatan besar yang
diselenggarakan oleh orang dewasa. Selain Abrar, ada hampir lima juta anak lainnya,
siswa-siswa SD kelas 6 (Kemendikbud, 2011/2012) yang harus mengikuti hajatan
yang sama. Hajatan tersebut bernama Ujian Nasional (UN).
Untuk
menghadapi UN, anak menjadi semakin sibuk. Jam belajar mereka di sekolah
bertambah. Sesekali mereka menginap di sekolah untuk melakukan istighosah, shalat malam, dan
berdoa bersama menghadapi UN. Tak jarang mereka juga mengikuti bimbingan
test. Bermaknakah kegiatan-kegiatan
tersebut? Tidak juga.
Jam
belajar anak ditambahkan tapi yang dipelajari hanya latihan soal, biasanya
berupa pilihan ganda. Anak bukan didorong untuk belajar mengobservasi alam,
mencari data dari sekitar, membuat penelitian, membuat karya seni, membaca
karya sastra bermutu ataupun menulis karya sendiri. Kegiatan istighosah yang dilakukan sebelum
menghadapi UN seakan-akan melihat UN sebagai sesuatu yang sakral. Siswa
dilelahkan dengan kegiatan bimbingan test sehingga tak sempat lagi menjaga
kebugaran tubuh dengan berolah raga, mengasah jiwa dengan kegiatan kesenian,
maupun terjun ke masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan sosial. Penalaran
pun tak diasah karena siswa hanya sibuk mengerjakan soal-soal yang menguji
kemampuan berpikir tingkat rendah seperti hapalan.
UN menyebabkan
kehidupan anak diisi dengan kegiatan-kegiatan yang tidak bermakna Itu saja
sudah menyedihkan. Namun, apa yang terjadi pada Abrar jauh lebih menyedihkan
lagi. Demi UN, Abrar dipaksa untuk melawan kata hatinya sendiri.
Dalam
sebuah film berjudul “Temani Aku Bunda” yang dibuat oleh Yayasan Kampung
Halaman, digambarkan bagaimana Abrar dipaksa gurunya untuk menandatangani
sebuah surat kesepakatan. Surat kesepakatan tersebut bertujuan agar kecurangan
UN yang terjadi di sekolahnya tidak diketahui oleh orang lainnya. Dalam film
tersebut Abrar menyampaikan isi dari surat kesepakatan tersebut. Isinya sebagai
berikut:
“Saya berjanji tidak memberitahukan apapun
yang terjadi saat UN sampai dewasa. Bila saya membocorkan rahasia ini, saya
akan mendapatkan hukuman yang berat.”
Abrar
sendiri ingin jujur. Dia tidak ingin terlibat dalam kecurangan UN dan kata
hatinya menyatakan bahwa ada yang salah dengan surat kesepakatan tersebut.
Kenapa anak-anak harus diminta menandatangani surat kesepakatan untuk tidak
sesuai kata hati mereka?
Berdasarkan
kesadarannya sendiri, Abrar memutuskan untuk melanggar kesepakatan tersebut.
Dia menceritakan apa yang terjadi di sekolahnya kepada ibunya. Kisahnya pun
akhirnya didengar juga oleh masyarakat yang lebih luas melalui film Temani Aku
Bunda.
Konsekuensinya?
Abrar memang mendapatkan hukuman yang berat. Tak jarang Abrar diejek sebagai
“sok pahlawan” oleh guru dan teman-temannya sendiri. Pernah Abrar diancam untuk
tidak diterima di sebuah SMP negeri karena dianggap mencemarkan nama baik
sekolah dan secara tidak langsung juga mencemarkan nama baik pendidikan di DKI
Jakarta.
Apa
yang terjadi pada Abrar pada dasarnya adalah bentuk-bentuk kekerasan pada anak.
Meskipun bukan kekerasan fisik, hal-hal seperti memaksa anak menandatangani
kesepakatan yang tidak disetujuinya, mengejek anak, maupun mengancam anak,
merupakan bentuk-bentuk kekerasan verbal maupun psikologis.
***
Apa
yang dilakukan Ibu Winda Lubis (ibunda dari Abrar) dalam menghadapi kasus di
atas? Ada banyak. Pertama, beliau berbicara dari hati ke hati dengan anaknya.
Tujuannya adalah agar beliau bisa lebih memahami isi hati anaknya. Yang Abrar
inginkan sebenarnya sederhana. Abrar hanya ingin jujur. Abrar juga merasa tidak
diperlakukan dengan adil.
Berikutnya
Ibu Winda Lubis mendatangi pihak sekolah, meminta kejelasan mengenai kasus
tersebut.. Menanyakan pihak sekolah mengapa kasus tersebut bisa terjadi. Beliau
juga mendatangi berbagai pihak lain, termasuk Dinas Pendidikan DKI, Wakil
Gubernur DKI, Komisi Perlindungan Anak, dan beberapa tokoh pendidikan untuk
meminta kasus tersebut diusut. Sampai kini, kasus tersebut belum diusut secara
tuntas, dan Ibu Winda terus memperjuangkannya.
Yayasan Kampung Halaman meminta izin Ibu Winda untuk membuat film dokumenter mengenai kasus Abrar. Awalnya, Ibu Winda menolak, tapi kemudian mengizinkan Yayasan Kampung Halaman untuk membuat film tersebut. Baginya, itu kesempatan untuk menyuarakan beberapa hal yang esensial. Di antaranya mengenai perlindungan anak di Indonesia yang masih lemah juga mengenai carut marut sistem pendidikan Indonesia, termasuk sistem UN.
Saya
sempat menceritakan perjuangan Ibu Winda Lubis kepada seorang orang tua.
Katanya, “Kalau saya menjadi orang tua dari Abrar, saya tidak akan melakukan
itu. Dengan ‘bersuara’ itu berarti menempatkan anak saya pada posisi yang
beresiko. Bisa saja dia kesulitan melanjutkan sekolah, di-bully, dan masa depannya jadi hancur. Saya akan lebih memilih untuk
mengabaikan sistem dan menyekolahkan anak saya di sekolah yang mau menerimanya,
sekolah swasta, misalnya. Kenapa mau menempatkan anaknya sendiri dalam resiko
yang begitu besar?”
Ibu
Winda Lubis memang akhirnya memilih untuk “tidak bermain aman”. Apa yang
dilakukkannya memang perlu keberanian. Beliau tahu bahwa dengan menyuarakan apa
yang terjadi pada anaknya, akan banyak tantangan yang dihadapi. Akan ada banyak
pihak yang tidak suka, Ibu Winda dan juga anak-anaknya pasti akan mendapat
tekanan dari berbagai pihak baik dalam bentuk ejekan, ancaman, dan sebagainya
baik dari teman-teman sekolah anakny baik dari beberapa guru dan orang tua,
dinas pendidikan, dan sebagainya. Untungnya Ibu Winda Lubis dan anaknya telah
berkomunikasi dari hati ke hati. Ibu Winda menjelaskan kepada anaknya bahwa
perjuangan yang dilakukan bukanlah perjuangan yang mudah. Abrar sendiri, pernah
menyampaikan kepada ibunya bahwa dia tidak ingin ibunya menyerah. Ibunya harus
tetap berjuang untuk memperjuangkan apa yang dirasa benar. Abrar pun begitu,
terus memperjuangkan nilai-nilai yang memang diyakininya. Sungguh mengagumkan
bahwa anak yang masih begitu muda bisa seberani dan setegar itu menghadapi
semua tantangan yang terjadi.
Dalam
diskusi Film “Temani Aku Bunda” yang diselenggarakan di rumah KAIL pada 1 Juni
2014 yang lalu, Ibu Winda sempat menyampaikan bahwa suaranya disampaikan bukan
demi kepentingan anaknya semata, tapi juga demi kepentingan anak-anak Indonesia
yang lainnya. Banyak juga anak-anak lainnya juga mengalami hal yang dialami
Abrar namun mereka tidak punya kesempatan untuk bersuara. Semua anak di
Indonesia seharusnya tidak mengalami hal-hal seperti itu. Di sisi lain, Ibu
Winda sebenarnya juga mengajak para orang tua untuk lebih ‘melek’ terhadap
sistem persekolahan yang ada di Indonesia. Bahwa ada banyak yang perlu
diperbaiki dan pada dasarnya orang tua bisa bersatu untuk memberikan tekanan
untuk mendorong pemerintah dalam memberikan lingkungan pendidikan yang lebih
layak bagi semua anak. “Orang tua sebenarnya punya kekuatan yang sangat besar,”
kata Ibu Winda Lubis saat itu.
Di
satu sisi, Ibu Winda Lubis mungkin terlihat ‘egois’ karena perjuangannya
menempatkan anaknya dalam menghadapi resiko yang besar. Namun, kalau dilihat
dari sisi lainnya, Ibu Winda sebenarnya mencontohkan keberanian, kegigihan, dan
kepeduliannya yang tinggi terhadap hak anak dan pendidikan pendidikan. Beliau
peduli, bukan hanya pada hak dan pendidikan anaknya sendiri tapi juga hak dan
pendidikan anak-anak lain yang ada di Indonesia.
Jangan pernah takut menjunjung tinggi kejujuran. Suatu saat, ada masanya ketidakjujuran kandas hingga ke akar2nya. Selamat berjuang seluruh anak2 Indonesia untuk menjunjung tinggi kejujuran sampai kapanpun.
ReplyDelete