Tiga puluh enam tahun sebelum Komisi Stiglitz dibentuk,
seorang muda dari sebuah negeri yang berada di “atap dunia”, yang berbatasan
dengan Tibet, Cina dan India, serta jauh dari hiruk pikuk lalu lintas ekonomi
mainstream, telah melakukan kritik terhadap Produk Domestik Bruto. Dia adalah
Jigme Singye Wangchuck, raja keempat dari Kerajaan Bhutan. Dia menciptakan istilah Gross National
Happiness (GNH) atau Kebahagiaan Nasional Bruto sebagai upaya menentukan
indikator untuk mengukur kualitas hidup atau kemajuan sosial secara lebih
holistik daripada sekedar capaian ekonomis seperti Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Wangchuck, pertumbuhan ekonomi tidak selalu mengarah pada kepuasan
warga negara. Baginya, ada hal lain yang lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi,
yakni kebahagiaan. Gagasan ini berangkat dari semangat ajaran Budha, yang
menekankan bahwa kebahagiaan tidak tergantung dari apa yang kita miliki, tapi kualitas diri.
Konsep GNH melingkupi empat pilar, yakni pemerintahan yang
baik dan akuntabel, pembangunan sosial-ekonomi yang berkelanjutan, pelestarian
budaya, dan konservasi lingkungan. Empat pilar ini kemudian diperinci menjadi
sembilan domain, yang meliputi : kesejahteraan (kualitas) psikologis,
kesehatan, pendidikan, penggunaan waktu, keragaman dan ketahanan budaya,
pemerintahan yang baik, vitalitas masyarakat, keragaman dan ketahanan ekologi,
dan standar hidup. Sembilan domain ini dianggap mewakili komponen kebahagiaan
di Bhutan, dan semuanya mempunyai posisi sama penting dan seimbang. Dari sembilan
domain ini, diurai kembali menjadi 33 indikator dan dalam penghitungannya
nanti, 33 indikator tersebut diurai lagi dalam beberapa sub-indikator dan
pertanyaan-pertanyaan kunci.
Menurut The Centre for Bhutan Studies, yang termuat dalam
website GNH (www.grossnationalhappiness.com), indeks GNH secara umum
merefleksikan kebahagiaan dan kualitas hidup yang lebih akurat dan luas
daripada pengukuran secara moneter. Lantas, bagaimana mengukurnya? The Center
for Bhutan menguraikannya sebagai berikut.
GNH dikonstruksi dalam dua langkah. Langkah pertama adalah
melakukan Identifikasi, sedang langkah kedua adalah melakukan Agregrasi.
Identifikasi, adalah langkah untuk menentukan apakah setiap rumah tangga telah
mencapai kecukupan di masing-masing sembilan domain. Hal ini dilakukan dengan
menetapkan titik batas (cut-off) di setiap domain. Seperti dalam mengukur
kemiskinan, yang menggunakan garis kemiskinan, dimana ada keluarga yang berada
di atas garis dan ada yang di bawah garis kemiskinan. Untuk menentukan kecukupan
di setiap domain juga begitu. Garis kecukupan diatur lebih tinggi dari garis
kemiskinan. Dalam beberapa indikator, telah dipasang level teratas pencapaian
dari indikator tersebut. Seseorang diidentifikasi memiliki kualitas hidup yang
cukup jika capaiannya dalam indikator melebihi titik batas. Jika capaiannya
melebihi titik batas, maka capaian yang sebenarnya orang tersebut diganti oleh
tingkat 'kecukupan', atau dipatok dalam tingkat kecukupan. Misalnya, jika
seseorang itu pendapatan sebenarnya 1000, dan titik batas kecukupan adalah 150, maka seseorang itu diperlakukan
pendapatannya 150. Dengan demikian, capaian di atas titik batas kecukupan tidak
kemudian meningkatkan skor GNH seseorang. Penetapan titik batas kecukupan
mungkin bisa saja problematik dan sulit, tapi ini bisa dijadikan topik diskusi
publik. Yang penting, jangan sampai mengaburkan pengukuran titik batas
kecukupan yang wajar.
Pertanyaan yang muncul kemudian, lantas bagaimana
mengidentifikasi siapa yang bahagia? Indeks GNH ingin menghormati keragaman dan
kebebasan pilihan dan mengakui keterbatasan ukuran kuantitatif. Untuk itu,
ukuran siapa yang bahagia itu tidak harus memenuhi kecukupan dalam 9 domain,
tapi cukup 6 dari 9 domain, atau 66% dari indikator yang telah ditetapkan. Ini
mengisyaratkan keragaman dalam jalan yang berbeda-beda. Pertama, tidak semua
indikator relevan untuk setiap orang. Kerusakan satwa (kehidupan) liar untuk
dijadikan lahan pertanian atau tanaman lain mungkin tidak relevan untuk
penduduk kota. Kedua, setiap orang mungkin tidak perlu mencapai
kecukupan 100% dari semua indikator
untuk menjadi bahagia, mereka dapat fokus pada beberapa area saja, tergantung
pada nilai-nilai mereka sendiri dan keterampilan. Ketiga, jika orang telah
memiliki inti dari pencapaian, mereka mungkin dapat mengompensasi secara
internal untuk defisit lainnya. Seseorang tanpa pendidikan atau listrik dapat
menemukan rute lain untuk GNH.
Langkah kedua, melakukan agregasi terhadap data populasi ke
dalam sebuah ukuran yang terperinci yang sensitif terhadap kedalaman dan
keluasan dari capaian. Indeks GNH didesain untuk memberikan insentif
kebijakan 1) meningkatkan kebahagiaan
dan 2) meningkatkan tingkat kecukupan yang dinikmati warga yang belum bahagia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah (melalui The Centre for Bhutan
Studies) menghitung indeks GNH dengan melihat kekurangan-kekurangan GNH.
Secara sederhana, rumus indeks GNH adalah GNH=1-HA. H adalah warga dan direpresentasikan dengan
persentase warga yang tidak menikmati kecukupan dari 6 domain atau lebih.
Sedangkan A adalah proporsi rata-rata domain warga yang belum berbahagia yang
tidak berkecukupan. Ini memperlihatkan keluasan dari kekurangan. Agar
pengukuran bisa komprehensif dan memberi masukan pada kebijakan apa dan dimana
akan dilakukan, maka perlu dibandingkan GNH satu kabupaten dengan kabupaten
lain. Juga perlu diukur GNH lintas waktu, agar diketahui apakah menurun atau
naik.
Dari waktu ke waktu, GNH di Bhutan telah mengalami berbagai
perbaikan dalam metodologinya. Bahkan pada tahun 2007 telah dilakukan survey
pertama secara nasional dengan menggunakan variabel-variabel yang telah
disempurnakan dan kuisoner yang telah diperbaiki. Dalam survey ini, setiap
enumerator membutuhkan sekitar 5-6 jam untuk menyelesaikan kuesionernya. Pada
tahun 2010 juga dilakukan survey secara nasional dan kali ini waktu yang
dibutuhkan oleh enumerator lebih sedikit, hanya sekitar 3 jam untuk
menyelesaikan kuesioner. Perbaikan dari tahun ke tahun ini akan menjadikan GNH
semakin mudah dioperasionalkan dan
direplikasi,serta secara teknis menjadi solid.
Prakarsa Bhutan tentang GNH yang telah berumur empat puluh
tahun itu, kini menjadi inspirasi banyak negara. GNH telah menjadi sebuah
perangkat bagi pemerintah untuk melakukan sebuah tindakan atau kebijakan agar
kualitas hidup dan kebahagiaan warganya meningkat. Awalnya memang banyak pihak
yang tidak peduli dengan gagasan ini bahkan menganggapnya tidak bisa sebagai
ukuran. Tapi dalam sepuluh tahun terakhir, berbagai pimpinan negara Barat,
seperti Inggris, Perancis, Jerman, serta praktisi bisnis di Amerika mulai
membicarakannya. Mereka mulai menyadari perlunya instrumen dan tolok ukur lain
bagi sebuah kesejahteraan atau kemajuan.
Memang jika diukur menurut ekonomi mainstream, Bhutan
dimasukkan sebagai negara yang relatif miskin, atau negara berkembang yang
basis ekonominya disandarkan pada hasil hutan, hewan ternak, pertanian subsisten, hasil bumi dan turisme.
Tapi, menurut Happy Planet Index, Bhutan masuk dalam 20 negara yang berbahagia
pada tahun 2006-2009. Walaupun begitu,
ada hal yang mengkhawatirkan yang perlu dicermati, karena setelah televisi
dibiarkan masuk, peringkat Bhutan menjadi turun, bahkan di tahun 2009 kalah
dengan Indonesia. Kehadiran televisi dianggap telah memicu meningkatnya
konsumsi warga Bhutan sehingga indikator-indikator di berbagai domain menurun.
Belajar dari apa yang dilakukan Bhutan, untuk menjadi negara
yang warganya berbahagia, perlu keseimbangan di berbagai sisi kehidupan. Negara
yang dikatakan maju dengan konsumsi yang tinggi tidak menjamin warga negaranya
akan bahagia. Dengan demikian, sudah
selayaknya pencapaian dan fokus pada kualitas hidup serta pencarian kebahagiaan
lebih diutamakan dari kepemilikian materi, konsumsi dan produksi.
(Arie Ujianto)
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini