Oleh: David Ardes Setiady
Seni untuk individu berguna untuk mengasah rasa sehingga hidup menjadi berwarna-warni dan lebih bersemangat. Sementara di sisi lain, seni memiliki fungsi sosialnya sebagai media komunikasi, yaitu untuk menyebarkan pesan-pesan sosial. Bilamana kemudian posisinya di tengah masyarakat, apakah memihak rakyat atau menjadi alat propaganda penguasa semata, menjadi hal lain yang dapat diperdebatkan. Namun, seni perlu dilihat lagi dalam perspektif manfaat bagi perkembangan diri manusia, di mana manusia semakin menemukan dirinya melalui seni.
Seni untuk individu berguna untuk mengasah rasa sehingga hidup menjadi berwarna-warni dan lebih bersemangat. Sementara di sisi lain, seni memiliki fungsi sosialnya sebagai media komunikasi, yaitu untuk menyebarkan pesan-pesan sosial. Bilamana kemudian posisinya di tengah masyarakat, apakah memihak rakyat atau menjadi alat propaganda penguasa semata, menjadi hal lain yang dapat diperdebatkan. Namun, seni perlu dilihat lagi dalam perspektif manfaat bagi perkembangan diri manusia, di mana manusia semakin menemukan dirinya melalui seni.
SENI
DAN MANUSIA
Seni
merupakan proses kreativitas manusia, yang berasal dari ide, gagasan, luapan
perasaan
yang diekspresikan melalui media tertentu, sehingga orang lain dapat turut menikmatinya dan dapat turut mengapresiasi pesan yang disampaikan oleh pembuat karya seni tersebut. Manusia sangat erat dengan pesan-pesan, yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui seni, manusia mewariskan pesan-pesan kehidupan, sebuah kebijaksanaan untuk mengatasi tantangan kehidupan. Metafora alam diceritakan dengan penuh pesona dalam sebuah cerita legenda, ataupun diterjemahkan ke dalam tari-tarian ataupun juga nyanyian.
yang diekspresikan melalui media tertentu, sehingga orang lain dapat turut menikmatinya dan dapat turut mengapresiasi pesan yang disampaikan oleh pembuat karya seni tersebut. Manusia sangat erat dengan pesan-pesan, yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui seni, manusia mewariskan pesan-pesan kehidupan, sebuah kebijaksanaan untuk mengatasi tantangan kehidupan. Metafora alam diceritakan dengan penuh pesona dalam sebuah cerita legenda, ataupun diterjemahkan ke dalam tari-tarian ataupun juga nyanyian.
Seni adalah produk
budaya manusia yang usianya sudah sangat tua, di setiap peradaban pasti
menunjukkan bentuknya. Memang tidak semuanya mengalami nasib yang cukup baik
untuk bisa sampai di tangan generasi masa kini, sebagian rusak tidak terawat,
bahkan sebagian dimusnahkan karena alasan kepercayaan. Namun, seni terus
mengalir dari generasi ke generasi, memperbaharui bentuknya yang kontekstual
terhadap jaman. Misalkan, lakon Odiesus yang tersohor dari jaman Yunani kuno,
hingga masa kini kerap dipentaskan oleh grup-grup teater. Ataupun, cerita Romeo
dan Juliet yang hingga hari ini menjadi simbol kisah percintaan yang tragis.
Karya seni tersebut berjalan menembus ruang dan waktu, mendapatkan tempatnya di
generasi masa kini.
SENI VS KEKUASAAN
Seni yang sejatinya
adalah kegiatan mengekspresikan ide, gagasan, bahkan perasaan, terkesan tidak
memiliki hubungan apapun dengan yang namanya politik. Namun, sejarah di
beberapa tempat, memperlihatkan betapa seni bisa terasa menakutkan bagi pihak
berkuasa hingga ia dirasakan perlu untuk dibungkam. Larangan diberlakukan
dengan tegas dan keras, yang melanggar akan langsung ditahan tanpa proses
peradilan, atau bahkan dihilangkan seolah-olah tidak pernah lahir.
Seni sangatlah
subjektif, namun memiliki kekuatannya yang masif ketika ia disebarkan untuk
dinikmati dan diresapi pesan yang terkandung. Tak heran, pihak berkuasa
berulang kali mengupayakan sebuah pengendalian terhadap seni, hasilnya?
Majalah TEMPO edisi
30 September 2013, menurunkan edisi khusus tentang LEKRA, yaitu Lembaga
Kebudayaan Rakyat, yang dalam perjalanan sejarah disalahpahami sebagai bagian
dari PKI. LEKRA, dalam ulasan TEMPO, disebutkan memiliki sikap kebudayaan bahwa
seni untuk rakyat. Lebih lanjut, dipaparkan aktivitas para seniman dan
pendidikan seni yang dilakukan kepada para pelaku seni dengan “turun ke bawah”,
yang kemudian disingkat menjadi “turba”. Hal ini bertujuan agar seniman
terhubung dengan realitas kehidupan masyarakat sehingga dalam berkesenian,
karya seninya memiliki arti yang sungguh hidup. Memang prinsip yang dipegang
LEKRA cukup keras, karena pendirinya menganggap “bila seniman hanya
menghasilkan seni untuk dirinya sendiri, ia tidak memiliki arti”. Pada masa
itu, LEKRA mendorong seni benar-benar hidup di masyarakat dan hidup untuk
masyarakat. Berbagai pagelaran dan pameran diadakan pada hari-hari peringatan
besar seperti HUT Kemerdekaan, HUT PKI, dan HUT LEKRA. Dari catatan TEMPO,
kehidupan seniman berada pada taraf yang “layak” karena disokong oleh LEKRA,
tentu dengan aturan yang harus diikuti.
Cerita
lain, yang sudah cukup sering didengar adalah kisah seorang Pramoedya Ananta
Toer, novelis yang telah diakui oleh dunia luar. Novel almarhum sarat nilai
historis dan unsur budaya yang kental, memotret feodalisme yang kerap
membelenggu masyarakat Indonesia. Sayang, pemerintah malah menganggap
novel-novel Pram (panggilan Pramoedya Ananta Toer) sebagai ancaman, sehingga
diberangus dan bahkan Pram sendiri dipenjara tanpa proses peradilan. Pramoedya
Ananta Toer, masih memiliki hubungan dengan LEKRA karena ketika masih muda
pernah bergabung dengan tim redaksi Harian
Rakjat, harian yang berada di bawah naungan LEKRA. Hidup Pram mungkin tidak
pernah tenang pada rezim Orde Baru, namun produktivitasnya tetap tajam pada
masa “pembuangan” oleh pemerintah. Goresan pena menggurat tajam menjadi novel Bumi Manusia, yang dijadikan salah satu
bahan belajar mengenai sastra Indonesia. Pemerintah bisa berupaya membungkam
kegiatan seni Pram, namun kreativitas terus mengalir bahkan di balik jeruji
besi. Novel-novel yang dituliskan oleh Pram berisikan pesan yang kuat tentang
kesewenang-wenangan pemerintah. Novel tersebut bukan sekedar hiburan semata,
yang membuat pembaca terenyuh lalu menutupnya tanpa kesan yang mendalam. Novel
Pram meninggalkan kesan yang mendalam untuk para pembacanya, mengingatkan para
pembacanya tentang salah satu episode kehidupan di bumi Indonesia pernah ada
kesewenang-wenangan.
Masih banyak kisah
pembungkaman terhadap seni yang dilakukan oleh para pihak berkuasa, biasanya
karena menganggap karya seni tersebut adalah ancaman bagi kekuasaan. Para
pelaku seni ditangkap, bahkan dibunuh hanya demi membungkam seni yang bisa
memacu gelora perubahan. Kepekaan dan kegelisahan para pelaku seni terhadap
situasi yang memasung kreativitas, dikhawatirkan memantik semangat perlawanan
terhadap kesewenang-wenangan. Seni pada masanya tidak pernah hanya sekedar seni
yang dikagumi semata, namun menghadirkan kesadaran tentang apa yang terjadi
pada lingkungannya.
SENI DALAM KEHIDUPAN
Seni pada posisi
tertentu memiliki dimensi yang begitu luas, sedangkan bagi mata yang awam,
mungkin seni dipandang hanya pada produk lukis semata. Padahal, produk seni
begitu beragam. Namun yang paling penting bukanlah produk seninya, melainkan
proses kreatif yang terjadi. Seni membantu manusia untuk memahami dirinya,
sesamanya, dan dunianya. Mungkin akan ada pihak-pihak yang merasa terganggu
dengan karya seni yang dihasilkan, dengan berbagai alasan. Namun, kita harus
ingat bahwa proses kreatif sejatinya tidak dapat dibendung.
Memang di masa
sekarang ini, produk teknologi sedang diagung-agungkan, begitupun dengan
aktivitas ekonomi yang menjadi kegiatan utama kehidupan dari sejak lama. Ketika
manusia abai terhadap seni yang menjadi wadah untuk meneduhkan jiwanya yang
sedang gundah dan penuh tanda tanya, manusia menjadi sakit karena tidak mampu
mengendalikan amarahnya. Kita lihat di kota-kota besar seperti Jakarta,
sangatlah mudah untuk memantik kerusuhan, sedikit gesekan yang dibumbui dengan
embel-embel penistaan agama sudah bisa menjadi kekacauan sosial. Masyarakat
Indonesia saat ini sering goyah karena jarang berkesenian, seni jauh dari
keseharian. Kebanyakan memosisikan diri sebagai penonton ketimbang pelaku,
banyak alasan yang dikemukakan. Mulai dari tidak berbakat, tidak mampu, tidak
pantas, dll.
David Ardes Setiady
Lahir di penghujung tahun 1984. Tertarik dengan tema pengembangan diri, menyadari memiliki sisi introvert yang
cukup kuat. Menjejakkan kaki di Bandung sejak tahun 2003 untuk melanjutkan
pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Pernah belajar
tentang hipnoterapi yang seutuhnya dipergunakan membantu orang-orang yang
membutuhkan. Saat ini menjadi staff KAIL, secara khusus sebagai trainer Cara
Berpikir Sistem.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini