[Media] ARPILLERA : Sebuah Seni Perca Untuk Perubahan

Oleh: Melly Amalia

Jarum jahit, jarum pentul, benang sulam, kain perca dan kain dasar menjadi rangkaian bahan pembuatan Arpillera. Dalam proses pembuatannya, biasanya kita berimajinasi dulu, membayangkan akan membuat apa dan pesan apa yang ingin disampaikan, lewat sebuah pola gambar yang bercerita. Bukan hanya sekedar memanfaatkan kain perca, tapi ada suatu maksud di balik itu. Melainkan seni perca untuk melakukan perubahan.

Penulisan Arpillera yaitu A-r-p-i-l-l-e-r-a, tapi pengucapannya menjadi ‘Arpiyera’. Arpillera adalah sarana menyampaikan pesan, mengekspresikan suatu maksud melalui media kain perca. Arpillera umumnya melukiskan kehidupan sehari-hari, kejadian atau peristiwa tertentu baik dari pengalaman pribadi maupun dari orang lain. Bisa juga mengandung rekaman suatu peristiwa sejarah. Dalam dunia aktivis, Arpillera biasa digunakan untuk mengatasi trauma
dan menjadi bagian dalam proses fasilitasi. 


Bagaimana asal muasal munculnya Arpillera? Arpillera berasal dari Chile, Amerika Latin. Bermula pada tahun 1973, ketika pemerintah yang sah, presiden sosialis Salvador Allende digulingkan oleh Augusto Pinochet melalui sebuah kudeta militer. Ribuan aktivis pro-Allende ditangkap dan sebagian besar dibunuh, dan ribuan orang hilang. Pembunuhan dan penculikan itu dilakukan terhadap kaum lelaki yang dicurigai sebagai pemberontak. Amnesty International di Amerika Latin, memperkirakan sebanyak 90.000 orang hilang di masa kediktatoran Pinochet dalam 20 tahun terakhir.

Akhirnya tinggal kaum perempuan, terutama para ibu yang merasakan dampak kehilangan suami atau anak lelakinya. Saat mencari informasi kehilangan sanak saudaranya, mereka saling bertemu dan bercerita satu sama lain mencurahkan isi hatinya. Pihak Gereja Katolik mulai menyadari kegelisahan ini dan lewat Vikariat Solidaritas menjadi wadah berkumpulnya para aktivis HAM, yang berani menyerukan pelanggaran HAM di masa kediktatoran militer.


Kaum ibu terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka mencari nafkah dengan menjahit. Jadi mereka bisa bekerja sambil mengasuh anggota keluarga yang masih kecil. Mereka menjahit sambil berbagi cerita dan berbagi informasi tentang anggota keluarganya yang hilang.

Dari sinilah lahir seni sulam Arpillera. Arti sesungguhnya Arpillera adalah 'kain goni', namun demikian dalam proses pembuatannya menjadi kain perlawanan. Curahan hati ibu-ibu yang dituangkan ke dalam potongan kain yang bercerita ini, kemudian diselundupkan ke luar negeri dan akhirnya meluas ke dunia internasional. Dalam Arpillera tersebut ada gambaran tentang bangunan yang hancur, proses penculikan yang terjadi, demo kaum ibu, juga harapan mereka tentang perdamaian, cinta dan keadilan.



Tahun 1990, rezim diktator Pinochet runtuh. Meskipun begitu, ibu-ibu pembuat Arpillera tetap melanjutkan perjuangan mereka, dengan menuliskan sejarah lewat kain perca, agar menjadi bukti bagi generasi mendatang.


Di Indonesia, dari beberapa cerita teman-teman aktivis, Arpillera digunakan untuk melakukan pendampingan terhadap korban bencana alam Tsunami dan gempa di Aceh, korban gunung Merapi di Jogja dan korban penggusuran di Jakarta. Pengalaman saya sendiri pertama kali membuat Arpillera bercerita tentang pemisahan tempat sampah. Latar belakang saya membuat ini karena rasa keprihatinan dengan sistem pengelolaan sampah yang ada. Kalaupun ada tempat sampah, pembuangannya selalu tercampur. Jadi pesan yang ingin saya sampaikan sangat sederhana, yaitu pisahkan sampah dari awal.

  




Pengalaman David, salah seorang staf Kail lain lagi. Dia pernah membuat Arpillera dengan tema kehidupan malam di perkotaan. Yang ingin dipaparkan adalah aktivitas manusia di malam hari, ada yang sudah tidur lelap dan di sisi lain ada yang masih hura-hura dengan datangnya malam. Ini menjadi pengalaman belajar tentang seni untuk menyuarakan kepedulian sosial. Walaupun pembuatan Arpilleranya belum selesai, tapi ini menjadi pengalaman belajar, dimana dia jadi tahu tentang adanya gerakan perubahan yang lembut namun sangat kuat. 



Membuat Arpillera tidak perlu keterampilan khusus, cukup dengan keterampilan menjahit menggunakan tusuk feston sebagai dasar ilmu menjahit dan keterampilan memadupadankan warna. Saya yakin setiap pasti bisa membuat Arpillera. Seni perca yang bukan sekedar berkreasi dengan kain, melainkan memiliki maksud dan pesan yang ingin disampaikan untuk membawa perubahan.





Melly Amalia
Penulis adalah ibu dua orang putri Rahima dan Raifa.
Aktivitas keseharian bermain bersama anak-anak, menjadi bagian keluarga besar Kail sebagai koordinator Pelatihan dan Lokakarya dan juga terlibat dalam kampanye zero waste YPBB.


No comments:

Post a Comment

Silakan berikan tanggapan di sini