[Masalah Kita] Mengangkat Seni Sebagai Ekspresi Keprihatinan Masyarakat


Oleh: Navita Astuti

“Kesenian sekarang 90% bisu. NIR POLITIK. Lembaga seni dikuasai birokrat jejadian, atau seniman mediocre, sehingga mereka menjadi hamba sahaya.”

Pernyataan tersebut dicetuskan oleh seorang seniman pelukis dan budayawan, R. Soehardi (62 tahun) dalam jawaban kuesioner yang kami sebarkan ke sekian banyak seniman di Indonesia. Sebuah pernyataan yang mengkritik dunia seni jaman sekarang, terutama di nusantara ini. Apa pasal dunia seni Indonesia menjadi bisu?

Gaya hidup masa kini yang serba instan dan praktis bisa saja menjadi salah satu penyebabnya. Sesuatu yang instan, didapatkan secara cepat,
namun dinikmati sementara saja. Kenikmatan yang dihasilkan pun hanya menyentuh permukaan, tak membekas hingga ke dalam sanubari. Karya seni pun dipandang dari permukaannya saja. Orang lebih suka membahas kecanggihan alat, kerumitan pembuatan maupun kecanggihan teknik yang digunakan dalam sebuah karya seni. Orang-orang mengabaikan pembahasan mengenai roh dan latar belakang yang menggerakkan seniman dalam menghasilkan karya seni tersebut.

Di sisi lain, gerusan arus komersialitas turut mempengaruhi karya para seniman. Seniman-seniman tak lagi berkarya sesuai idealisme masing-masing, melainkan mengejar keuntungan demi memuaskan selera pasar.

Anggapan masyarakat luas bahwa berkiprah di bidang seni itu tak menjanjikan masa depan, turut mempengaruhi kebisuan karya seni di Indonesia. Karya seni dianggap tak ada manfaatnya, selesai dinikmati, lalu dibuang begitu saja. Karya seni adalah sampah. Inilah anggapan umum yang turut menyumbang pada kebisuan dunia seni Indonesia.

Karya Seni yang Peduli
Meski kesenian di Indonesia mengalami kebisuan, namun ada beberapa seniman yang justru menjadikan seni sebagai ‘senjata’ untuk menyuarakan keprihatinan mereka terhadap fenomena sosial kemasyarakatan. Mereka menganggap karya seni merupakan media yang tepat untuk menggerakkan masyarakat untuk peduli pada isu sosial, politik maupun lingkungan hidup. Sejumlah 4 orang seniman dari sekian banyak seniman yang kami kirimi kuesioner, menyatakan hal tersebut.

Vivera Siregar (fotografer), sebagai salah satu responden kami menjelaskan, dalam fotografi terdapat genre human interest, yang mengabadikan fenomena sosial kemanusiaan. Karya fotografi seperti ini dapat menjadi media yang tepat untuk menggambarkan kondisi lingkungan, serta beragam manusia dengan segala aktivitasnya.

Fotografi human interest, karya Vivera Siregar

Responden lainnya menyuarakan keprihatinan mereka melalui seni lukis. Namun, tak hanya sekedar corat-coret di atas kanvas, karya lukis yang mereka hasilkan menyiratkan makna. Pelukis Hardi, responden kami yang lain misalnya, pada tahun 1978 membuat karya grafis berupa foto dirinya sebagai presiden sebagai bentuk kritiknya terhadap tekanan pemerintah Orde Baru yang represif dan militeristik. Tetap konsisten dengan suara hatinya, di tahun 2011, beliau melakukan demo melukis di depan gedung DPR sebagai pernyataan menolak dibangunnya gedung baru.  

Dari Pergulatan Hingga Solusi untuk Masa Depan
Berbagai dampak dituai atas hasil karya seni yang dimaksud di atas. Ada banyak apresiasi maupun geliat masyarakat atas karya seni tersebut, namun tak jarang mendapat kecaman, bahkan penangkapan karena karya seni yang dianggap terlalu vokal. Pelukis Hardi pun mengalami penangkapan tersebut di tahun 1978, ketika ia memasang lukisan grafis foto dirinya dengan pakaian jenderal serta mengenakan bintang, serta memberi judul lukisan tersebut “Presiden tahun 2001”.

Aksi Melukis R. Soehardi di depan gedung DPR. Sumber : www.portaltigaimage.com

Tantangan lainnya yang dihadapi antara lain adalah kurangnya apresiasi dari masyarakat terhadap karya seni yang dihasilkan. Patricia Siswadi, responden kami menyatakan, “…tingkat kegencaran dalam menggulirkan kreasi seni yang mengangkat masalah-masalah keprihatinan (sosial kemasyarakatan, red.) tersebut kurang. Tantangannya adalah bagaimana pelaku seni yang memiliki keprihatinan sosial memiliki kreativitas untuk mengajak masyarakat luas lebih menyukai dan lebih memilih seni –seni yang bernuansa keprihatinan sosial daripada isu-isu romantika saja.

Ungkapan senada juga diucapkan oleh Vivera Siregar sebagai seniman fotografi, “Tidak semua orang mempunyai kepekaan terhadap seni, tidak semua orang bisa memahami pesan yang terkandung dalam sebuah foto. Dan tugas fotografer lah untuk menyampaikan pesan tersebut, mengemasnya dengan cara terbaik, agar pesan dapat diterima oleh masyarakat.”

Menjawab tantangan tersebut, maka para responden kami memberikan saran-saran agar karya seni yang menyuarakan keprihatinan sosial kemasyarakatan dapat semakin menggugah keberpihakan masyarakat, yaitu sebagai berikut :

Baiknya, para pekerja seni itu down to earth, mensosialisasikan "seni"-nya kepada lingkungannya; membumikannya, mengajak sekitar untuk turut "merasakan" seni. Dengan demikian, seni akan menjadi baur dengan masyarakat umum dan bukan hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.” ~ Vivera Siregar, fotografer human interest.
“… yang jelas, para penggiat seni harus peka terhadap persoalan-persoalan sosial yang ada di masyarakat, dan secara intensif mengadakan event-event kesenian untuk meningkatkan apresiasi masyarakat.” Buletin Kamuning, seni lukis.

“… berkarya dengan cerdas, populer, dan berani menyebut dirinya SENIMAN.” ~ Pelukis Hardi.

Peduli pada persoalan sesama dan lingkungan adalah hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan bermasyarakat. Bentuk kepedulian pun bermacam-macam bentuknya. Entah itu dalam bentuk aksi solidaritas yang sesuai dengan profesi setiap orang, memberikan donasi maupun sumbangan, atau mengekspresikannya dalam media tertentu seperti seni.

Segala bentuk solidaritas tentu memiliki tantangannya masing-masing. Namun demikian, bukanlah perjuangan jika tanpa hambatan maupun tantangan. Jika perjuangan tak dijalani, maka ia tak akan membawa makna dan perubahan bagi pelakunya. Oleh karena itu, meski jalan yang ditempuh terjal dan mendaki, inilah tugas yang sebaiknya diemban oleh para seniman Indonesia. Menjadikan karya seni mereka sebagai karya yang membumi dan menyatu di masyarakat. Membuat masyarakat mencintai karya-karya seni di sekitar mereka, agar turut serta bergerak dan berpihak kepada kaum tertindas dan terpinggirkan.

Semoga.




Navita Kristi Astuti
Penulis adalah ibu dari dua anak. Menyenangi dunia tulis menulis dan craft. Ia ingin sekali dapat berbagi kepada orang lain melalui tulisan.



No comments:

Post a Comment

Silakan berikan tanggapan di sini