Oleh: Selly Agustina
Bagi saya, sebagai pengamat dan pelaku seni, adalah suatu kesenangan dan kepuasan hati ketika dapat menuangkan ekspresi diri saya dalam kegiatan melukis, bermain musik atau menulis. Kenikmatan dalam mengekspresikan diri melalui seni tentu dialami oleh orang lain juga. Orang-orang yang menyebut dirinya seniman, mengekspresikan diri melalui seni, dan mencapai aktualisasi di bidang ini.
Bagi saya, sebagai pengamat dan pelaku seni, adalah suatu kesenangan dan kepuasan hati ketika dapat menuangkan ekspresi diri saya dalam kegiatan melukis, bermain musik atau menulis. Kenikmatan dalam mengekspresikan diri melalui seni tentu dialami oleh orang lain juga. Orang-orang yang menyebut dirinya seniman, mengekspresikan diri melalui seni, dan mencapai aktualisasi di bidang ini.
Namun demikian, pernahkah pembaca berpikir bahwa seni bisa mempengaruhi suatu tatanan politik dan sosial di dalam masyarakat? Meski
banyak kalangan seniman mempertahankan karya seninya bebas nilai, namun
perkembangan seni kontemporer saat ini
tidak terlepas dari pengaruh sistem sosial dan politik yang ada.
Kita ingat pada masa revolusi kemerdekaan di tahun 1945,
bahwa
seni muncul di tembok-tembok bangunan dengan kata-kata bersifat agitatif seperti: “Merdeka ataoe mati!” “Oesir Kompeni!” dan lain-lain. Kata-kata dengan esensi yang sama juga muncul pada karya Affandi yaitu “Boeng, ajo Boeng!” Kekuatan perpaduan antara gambar dan kata-kata bisa menggerakkan kepekaan seseorang terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Di sini kita lihat fungsi seni sebagai media komunikasi.
seni muncul di tembok-tembok bangunan dengan kata-kata bersifat agitatif seperti: “Merdeka ataoe mati!” “Oesir Kompeni!” dan lain-lain. Kata-kata dengan esensi yang sama juga muncul pada karya Affandi yaitu “Boeng, ajo Boeng!” Kekuatan perpaduan antara gambar dan kata-kata bisa menggerakkan kepekaan seseorang terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Di sini kita lihat fungsi seni sebagai media komunikasi.
Seni kontemporer muncul dari sekelompok seniman yang mencetuskan
jalan alternatif sebagai bentuk perlawanan terhadap seni modern yang terkesan
ekslusif. Meskipun hanya sebagai alat atau media, seni ternyata juga berperan
dalam propaganda atau advokasi yang berpotensi mempengaruhi perubahan sosial. Akhir-akhir ini, kita sering melihat
seni pertunjukan (performance art)
pada kegiatan demonstrasi para aktivis, dan hal ini mengundang rasa ingin tahu
khalayak.
Seni mural atau graffiti adalah bentuk perlawanan lainnya.
Namun, ada pihak tertentu menganggap bahwa seni mural adalah bentuk vandalisme,
merusak estetika bangunan dan fasilitas umum. Ada
yang menganggap graffiti lahir karena kurangnya ruang publik untuk berekspresi
di tengah arus komersialisasi oleh korporasi atas ruang-ruang publik. Di sisi lain, saat ini ruang-ruang publik
kita sudah dipenuhi oleh polusi visual berupa baliho caleg ataupun iklan-iklan
produk yang mendorong pada budaya konsumerisme.
Seni Mural di Babakan Siliwangi, Bandung. Sumber : www.bandungview.info |
Seni yang disebut di atas muncul dan berkembang pesat di
belahan bumi lain seperti Eropa dan Amerika sejak tahun 80-an, yang dikenal
dengan istilah street art. Salah satu
yang menjadi favorit saya yaitu Banksy, seorang seniman jalanan sekaligus
aktivis yang vokal menyuarakan isu politik maupun lingkungan melalui karyanya
di jalanan London. Seniman graffiti tersebut tidak pernah diketahui wujud aslinya tetapi ketenarannya melebihi
selebriti sehingga karyanya memiliki nilai jual sampai jutaan dolar.
Di Bandung sendiri ada nama Arman Jamparing yang mengundang
kekaguman saya berikutnya. Seniman yang sudah aktif turun ke jalan sejak masa
reformasi itu lebih memilih untuk menyalurkan keprihatinannya terhadap kondisi
sosial-politik lewat coretan-coretan di ruang publik. Akhir November lalu saya
berkesempatan menghadiri pameran seni karya Arman Jamparing di sebuah galeri
seni besar dan terkenal di Bandung. Pameran seperti ini tentu memberi peluang bagi keprihatinan
Arman Jamparing untuk disebarluaskan kepada khalayak, bahwa ruang publik pun
dapat dimanfaatkan secara elegan untuk meneriakkan keprihatinan sosial politik
melalui seni. Keprihatinan tak lagi hanya dimiliki oleh seniman tersebut,
tetapi meluas ke audiens yang menghadiri pameran tersebut.
Di bidang musik, ada Kartika Jahja atau lebih dikenal dengan
panggilan Tika, seorang vokalis dari sebuah grup musik Tika and The Dissidents. Selain menjadi
vokalis, Tika dikenal sebagai aktivis perempuan yang concern terhadap isu gender dan persamaan hak. Tika menulis sendiri
lirik dalam lagu-lagunya. Sebut saja lagu “Mayday” yang bermuatan kritik
politik yang tajam dalam membela kaum buruh. Mungkin banyak yang kurang
mengenalnya di dalam negeri, tetapi lagunya menarik perhatian banyak orang di
mancanegara bahkan menjadi lagu resmi serikat buruh di Detroit pada hari buruh.
Tidak perlu disangsikan lagi kualitas musikalitas dan intelektualitas Tika yang
merupakan lulusan Seattle ini. Dia mendapat banyak pujian dari para kritikus
musik karena berhasil menggabungkan berbagai macam aliran music seperti jazz,
blues, dan tango, dengan lirik yang kritis.
Yayak Yatmaka, seorang seniman lukis yang juga menciptakan
lagu-lagu yang berpihak pada masyarakat. Lukisan-lukisannya mencerminkan kritik
kerasnya terhadap pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru. Lagu-lagu
ciptaannya dinyanyikan dan disebarluaskan oleh para aktivis mahasiswa maupun
pendamping masyarakat, bahkan sering dinyanyikan pada saat demonstrasi untuk
menyalakan semangat para demonstran, seperti lagu “Topi Jerami”, “Rakyat
Bersatu”, “Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan” dan lainnya.
Beliau tahu betul, bahwa media seni, dalam hal ini ia
menggunakan media gambar sebagai ‘senjata’nya untuk berjuang menyuarakan
keprihatinan sosial dan politik. Berikut adalah cuplikan tulisan dari buku yang
ditulisnya, “Aku berharap segala
pemahaman yang diperoleh dari buku ini bisa menjadi landasan untuk menentukan
pilihan keberpihakan dan penyadaran diri serta selalu awas. Setidaknya menjadi
bahan untuk katarsis. Jadi tahu, bahwa di sebalik gambar, memang nyata
persoalan hidup mati manusia. Bisa menjadi alat untuk memperjuangkan kehidupan bersama
menjadi lebih bermartabat.”
Karya Yayak Yatmaka. Sumber : yayak-yatmaka.blogspot.com |
Tak sedikit karya seni yang menyuarakan keprihatinan sosial
maupun lingkungan mendapat kecaman dari pihak yang merasa digugat. Bahkan tak
sedikit pula yang dikejar-kejar oleh pihak berwenang di jaman itu, dengan
maksud untuk membungkam ekspresi seniman tersebut. Penguasa yang diktator tentu tak ingin rakyat bangkit melawan
penindasan dan ketidakadilan.Seniman yang berpihak pada rakyat lemah memandang seni sebagai corong ekspresi
jiwa, meneriakkan kegelisahan yang mereka rasakan. Mereka turut peduli dengan
fenomena sosial, lingkungan maupun politik melalui karya seni mereka.
Kesemuanya itu adalah ekspresi kegelisahan jiwa mereka atas peristiwa maupun
fenomena yang tengah berlangsung di sekitar mereka.
Di sisi lain, masyarakat memang perlu diajak untuk peduli.
Masyarakat perlu menuntut hak mereka untuk terlaksananyapemerataan keadilan,
terhindar dari penindasan dan terlepas dari perbudakan. Menggugah masyarakat
melalui sebuah karya seni adalah salah satu pilihan, dan sesungguhnya adalah
suatu bentuk kebebasan dalam berekspresi setiap warga negara.
Adalah pekerjaan rumah bagi kita semua, untuk mempertahankan karya
seni yang mampu menyuarakan keprihatinan masyarakat. Para seniman dengan karya
seninya bersama-sama dengan rakyat perlu bersatu pada arah perjuangan yang sama.
Seni dan masyarakat perlu saling melengkapi, karena seni merupakan ekspresi
yang otentik dari jiwa manusia. Seni sebagai alat untuk memanusiakan manusia.
Seni yang hakiki adalah seni yang peduli pada pemerataan keadilan dan pemenuhan
hak asasi manusia.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini