Jujur, pengalaman saya menjadi relawan tidaklah banyak, tapi dari
pengalaman yang hanya beberapa itu kemudian saya merasa ketagihan. Mungkin terdengar
agak berlebihan, tapi rasanya benar-benar ada kepuasan tersendiri ketika tahu
bahwa sedikit saja bantuan kita ternyata bisa meringankan beban orang lain. Dan
nyatanya tidak semua orang bisa mengerti akan situasi itu jika tidak
merasakannya sendiri.
Beberapa teman dekat saya bilang “Ngapain
sih kamu capek-capek kerja buat orang lain tapi gak dibayar?” Padahal sebenarnya saya mengharap sesuatu yang lain
dari hanya sekedar materi. Saya ingin mendapat berbagai pengalaman dan ilmu
baru, punya banyak teman baru untuk saling berbagi, bahkan kesempatan terekspos
dengan segala hal yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Hidup itu, kan,
bukan hanya tentang uang, semua ini membuat saya lebih bersyukur dan menghargai
hidup.
Bagi saya, menyumbangkan waktu, tenaga dan pikiran dengan menjadi relawan
adalah salah satu upaya untuk aktualisasi diri selain hobi. Jika hobi hanya terkait
dengan urusan di dalam diri sendiri, kerelawanan mengondisikan kita untuk
berhubungan dengan orang lain. Ini penting karena manusia adalah mahluk sosial.
Namun, jika siap menjadi relawan juga harus siap menghadapi cermin sosial yang
berkembang di masyarakat sekitar kita. Orang-orang terdekat seperti keluarga,
teman atau tetangga bisa saja memberi komentar negatif terhadap pilihan menjadi
relawan. Kadang, tanggapan kurang menyenangkan juga datang dari pihak yang kita
bantu secara sukarela. Tapi sepanjang niat kita baik dan tidak merugikan orang
lain, terbukti selama ini saya selalu sukses dan mendapat kebahagiaan dengan menjadi
relawan.
Saya masih ingat di awal tahun 2012, saya bertemu seorang bapak dari Australia
bernama Chris Hindes. Beliau menuturkan bahwa, menjadi relawan telah memberikan
kepuasan batin di masa tuanya, setelah di masa muda beliau sibuk menjadi
pekerja kantoran sampai tidak menyadari putrinya tiba-tiba saja menjadi dewasa
lalu menikah dan meninggalkan ayahnya. Cerita ini menyadarkan saya bahwa
menjadi relawan itu termasuk kebutuhan tiap orang, bahkan bagi para karyawan
yang bekerja dengan rutinitas.
Testimoni beberapa teman yang pernah atau masih menjadi relawan
menyatakan hal yang sama dengan di atas, yaitu sebagai berikut :
“Menjadi volunteer itu menyenangkan.
Karena bisa bertemu orang baru, berjumpa orang dengan pemikiran baru. Bisa mempelajari
cara pandang yang berbeda maupun ilmu baru. Kita bisa ketemu orang dengan background yang berbeda, jadi bisa
belajar.” Menurut Puput, seorang mahasiswi jurusan Psikologi Unpad
yang aktif berkegiatan di TedX Bandung.
“Pertama jadi volunteer di tahun
2001, saya menjadi dokter pendamping ke Kalimantan. Sebenernya pada awalnya
saya takut, tapi kemudian saya banyak belajar, berinteraksi dengan masyarakat
asli. Apalagi wilayah kerja saya di daerah konflik. Saya jadi volunteer yang dikirim ke daerah-daerah
konflik di dalam hutan. Saya rasa menjadi volunteer
adalah kebutuhan manusia yang paling tinggi tingkatnya. Saya belajar ikhlas dan
dengan demikian jadi bahagia. Juga, bisa ketemu temen
baru, belajar hal baru.” Tutur Desmond, seorang mantan relawan daerah konflik yang sekarang
bekerja mengurus relawan di museum Asia Afrika Bandung.
Seorang teman yang juga pegiat lingkungan menuturkan, “Dengan menjadi
volunteer, kita pun melakukan proses
pengembangan diri. Pengembangan diri bisa dilakukan dengan berbagai cara,
misalnya melalui outbound atau
jalan-jalan. Namun, nilai tambah dari volunteering
adalah manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Daripada ikut outbound dan jalan-jalan, belum tentu
bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Bahkan bisa menambah jejak karbon.” Terlihat jelas bahwa
kegiatan menjadi relawan apalagi di bidang yang sesuai dengan ketertarikan akan
membawa pada kesadaran dan kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan.
Bila kita menengok Kota Bandung yang sekarang menjadi kota dengan
segudang aktivitas dan acara hore-hore
khas anak muda, fenomena volunterisme ikut menjadi tren seiring meningkatnya
jumlah acara tersebut. Banyak yang menyayangkan bahwa “anak-anak gaul Bandung”
ikut-ikutan menjadikan kerelawanan sebagai gaya hidup dengan motivasi ingin
sekadar “numpang nampang”. Seperti kata seorang teman yang mengatakan bahwa, “Saya
berharap
makin banyak orang yang tertarik jadi relawan, karena sungguh tertarik dengan
tema yang diusung. Bukan jadi relawan di mana-mana tapi tidak jelas apa yang
menjadi ketertarikannya.”
Persoalan maraknya “relawan event”
dadakan ini juga sempat dibahas juga oleh
Anilawati Nurwakhidin, seorang aktivis lingkungan dari YPBB Bandung. Dia
mengatakan, “Yang lebih penting adalah semangatnya, bahwa seseorang jadi relawan
karena memang dia mau, dan akhirnya tujuan jadi relawannya bisa meningkat dari
yang semula ingin tahu, hingga akhirnya dia muncul keinginan untuk memperjuangkan
sesuatu. Karena banyak orang yang di awal minatnya ingin nampang, tapi nggak apa-apa, orang-orang seperti itu
mesti tetap difasilitasi, nanti pelan-pelan dia akan menyadari bahwa gerakan
yang dia lakukan ini memang penting.” Kurang lebih saya setuju dengan pendapatnya, semua hal
besar bisa dimulai dari yang kecil.
Jadi apapun motivasi dari setiap orang menjadi relawan, tidak ada salahnya
untuk mencoba hal baru dan menemukan keasyikan di dalamnya. Dan dari semua
orang yang saya temui dan pernah menjadi relawan, saya menyimpulkan bahwa
mereka merasakan lebih banyak suka cita daripada duka lara selama malang
melintang menjadi relawan. Tidak perlu wajah rupawan secantik Miss Universe,
otak seencer bensin, atau sekaya Bill Gates untuk menjadi relawan, cukup dengan
semangat saling berbagi, ikhlas dan mau mencoba.
(Selly Agustina)
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini