Sandang,
Pangan, dan Peradaban
Di awal tulisan ini saya ingin menegaskan bahwa saya bukan pakar di bidang fashion dan industri pertekstilan. Tulisan-tulisan saya, termasuk di Pro:Aktif Online, banyak berkutat di bidang pertanian dan pangan. Satu hal yang awalnya saya pikir sama antara pangan dan sandang adalah bahwa keduanya berangkat dari hasil bumi, sehingga saya bisa sedikit banyak bercerita tentang sejauh mana peradaban manusia telah mendorong pertanian dunia untuk menghasilkan kedua hal ini. Meskipun demikian, saat saya mencoba menelusuri lebih dalam tentang bagaimana dunia saat ini menghasilkan pakaian, perbedaan antara pangan global dan sandang global makin lama makin saru. Bahwa di tengah keglamoran dunia fashion ataupun industri makanan, tersembunyi sisi gelap yang melibatkan berbagai bentuk pengerukan, perusakan dan pencerabutan lingkungan hidup dan masyarakat dari akarnya. Kalau para pemerhati masalah pangan melihat film dokumenter Food, Inc.(2008) sebagai ikon kritik terhadap industri pangan modern, saya menyarankan teman-teman menonton The True Cost (2015) yang menjadi ikon kritik terhadap industri sandang modern.
Poster
The True Cost
|
Di dalam
beberapa paragraf ke depan, saya akan mencoba merefleksikan hasil bacaan saya
tentang industri sandang global, sambil sesekali mengunjungi beberapa temuan
saya di industri pangan global. Seperti di tulisan saya yang lain tentang
pangan (misal: link ke Pangan dalam
Cengkeraman Kapitalisme dan Pangan
sebagai Politik yang Menubuh), semoga akhir tulisan ini bisa sedikit
mencerahkan.
Saya mulai
cerita ini dari zaman dahulu kala. Sandang maupun pangan berperan besar di
dalam pembangunan peradaban masyarakat. Di saat manusia prasejarah berburu dan
meramu untuk memperoleh pangan, mereka juga mengembangkan pakaian untuk
menghangatkan badan mereka. Kulit hewan dan serat tumbuhan dipintal secara
sederhana menjadi kain pelindung tubuh. Saat produksi pangan ditopang oleh
pertanian fase awal, demikian halnya dengan sandang. Serat dari tanaman-tanaman
seperti kapas, kapuk, rami, dan linen mulai diolah menjadi lembar-lembar
pakaian sederhana. Pakaian juga dihasilkan dari bahan baku yang berasal dari
hewan seperti wol dan sutera[1].
Di sisi lain, pertanian
yang lebih kompleks dan rumit menghasilkan pakaian yang lebih mahal dan
berkelas. Pakaian para dewa dan raja-raja, sebagai contoh, dipintal dari sutera
alam yang halus, yang proses produksinya membutuhkan keahlian dan ketekunan
tingkat tinggi. Tidak banyak pengrajin yang bisa menghasilkan kain sekelas
sutera. Di titik ini, produksi yang terkonsentrasi di wilayah yang peradabannya
maju seperti China (sutera), India (katun) dan Eropa (linen)serta permintaan
yang kian tinggi dari penjuru dunia menjadi pondasi dibangunnya industri
sandang dalam skala global. Jalur sutera, orang-orang bilang, adalah jejak
nyata sandang di dalam peradaban manusia. Hal ini sejalan dengan perdagangan
komoditas pangan mewah seperti rempah-rempah, kopi, teh, kakao dan gula dari
pengrajin di Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk raja-raja di Eropa dan Timur
Tengah. Sandang, seperti pangan, memiliki fungsi pelengkap, tidak hanya
memenuhi kebutuhan dasar manusia, tetapi juga menjadi simbol identitas kelas.
Fase ini di
dalam cerita peradaban manusia tentunya belum seberapa gelap ketimbang saat
revolusi industri mulai menggeliat di abad ke-18. Kolonialisme yang dibangun di
atas pengerukan sumberdaya pertanian diperparah dengan upaya untuk
mentransformasi sumberdaya ini secara massal dan cepat. Apabila pemintal benang
dan perajut kain dulu dikenal sebagai artisan berketerampilan tinggi,
mesin-mesin industri saat itu mampu menggantikan produksi kain secara lebih
cepat, lebih seragam dan lebih efisien. Peran manusia direduksi menjadi sekedar
tenaga kerja. Hal ini berlaku baik untuk pangan maupun sandang. Kolonialisme
dan revolusi industri (yang nantinya juga diikuti dengan revolusi hijau) meninggalkan
petani dan pekerja tercerabut dari identitas unik mereka. Petani gurem, buruh
murah, mereka adalah kolateral dari efisiensi produksi. Mereka menjadi
tergantikan, dispensable.
Industri
Sandang Global dan Fast-Fashion
Maka sampailah
kita ke wajah industri sandang di dunia modern ini. Di depan mata, nama-nama
seperti GAP, CJ Penney, Marks & Spencer jamak dilihat sebagai brand-brand
besar yang menjual pakaian dengan harga premium. Apa yang menyebabkan mereka
bisa menguasai industri fashion global? Apakah teknologi yang mumpuni? Ataukah
asset produksi yang besar dengan mesin-mesin yang efisien? Sebelum menjawab
ini, kita perlu melihat dua bentuk rantai nilai global di dalam industri modern
kita. Gary Gereffi[i],
seorang sosiolog dari Amerika Serikat, menjelaskan bahwa ada industri yang didorong
oleh produsen, dan industri yang didorong oleh pembeli. Industri yang didorong
oleh produsen mengandalkan kehandalan teknologi dan asset produksi yang pada
akhirnya membangun pasar. Di sisi lain, industri seperti pakaian tidak
membutuhkan inovasi teknologi yang tinggi. Perusahaan-perusahaan ternama yang
saya sebutkan di atas bahkan tidak memiliki asset produksi. Mereka
mengedepankan aspek marketing, jalur ritel, ide desain fashion dan nilai jual brand
untuk menjamin penangkapan rantai nilai sebesar mungkin di rantai industri
globalnya. Laiknya industri pangan global yang dicirikan oleh makanan siap saji
(fast food), industri sandang global
dicirikan oleh pakaian siap saji (fast
fashion) -- industri yang mengedepankan pergantian mode yang cepat dan,
konsekuensinya, alur produksi yang cepat pula.
Wajar kiranya apabila
dibalik hingar bingar industri pakaian siap saji ini, di saat dunia fashion dan
retailer mengambil porsi nilai terbesar, para petani, buruh pabrik dan
pengusaha tekstil berebut nilai tambah dari sisa-sisa yang ada -- aktivitas yang
tidak jarang mengorbankan lingkungan hidup dan masyarakat lokal. Dalam banyak
tulisan[ii],
industri tekstil digadang sebagai penyumbang pencemaran lingkungan kedua
terbesar di dunia setelah industri minyak bumi. Ini yang disebut dengan
perlombaan menuju dasar (race to the bottom)
di dunia bisnis. Hal ini mengawali bagaimana kita membongkar sisi gelap dari
industri apparel (pakaian) dunia[iii],
sambil kita coba runut mata rantai demi mata rantai.
Rantai
nilai industry apparel
Jeratan
Hutang di Sektor Pertanian Kapas
Cerita gelap industri
sandang dimulai dari hulu, di bentangan lahan pertanian di pusat-pusat produksi
bahan baku tekstil dunia. Saya ingin mengangkat satu komoditas pertanian yang
menjadi bahan baku utama kain dunia: katun, yang terbuat dari tumbuhan bernama
kapas (Gossypium spp.). China adalah penghasil
kapas terbesar, disusul oleh India dan Amerika serikat. Ketika China
diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat dan produksi pertanian massal,
India memiliki cerita yang berbeda. Pertanian kapas di India memiliki
sejarah panjang dari 5000 tahun yang
lalu di lembah sungai Indus, dan dari sana industri katun berkembang di dunia. Semua
berjalan baik hingga masa kolonialisme di mana kerajaan Inggris menerapkan
politik dagang yang ketat terhadap katun di India. Sejak saat itu, sekalipun
industri katun di India berkembang baik, kesejahteraan petani semakin menurun.
Buku A Frayed History: The Journey of Cotton
in India tulisan Meena Menon dan Uzramma menceritakan secara gamblang
tentang perjalanan getir ini.
Untuk
mengilustrasikan ini lebih jauh, coba teman-teman cari di Google menggunakan
kata kunci ‘farmer’s suicide’, dan
berita pertama yang keluar adalah kisah tentang para petani kapas di India. Sejak
tahun 1995, telah ada lebih dari 200.000 kasus bunuh diri petani. Menurut
artikel yang ditulis di kantor berita CNN[iv], ada
2-3 orang petani di India yang bunuh diri setiap harinya! Keterjeratan para
petani dengan hutang adalah penyebab utamanya. Iklim muson sangat berpengaruh terhadap
produksi kapas, disertai rentannya kapas akan hama yang menuntut penggunaan
pestisida besar-besaran. Saat cuaca tidak bersahabat, produksi kapas bisa
hancur seketika. Di sisi lain, saat produksi membaik, harga kapas seringkali
anjlok di bawah harga dasar bagi petani. Pengenalan kapas transgenik, yang
semula diharapkan memberi solusi, justru memperburuk keadaan karena petani
semakin terikat oleh harga bibit kapas transgenik dan hama ulat buah yang mulai
menunjukkan resistensi, sebagaimana dilansir kantor berita The Guardian[v].
Merefleksikan
fenomena ini pada produksi pangan dunia, cerita petani India dan kapas adalah
kisah klasik petani yang bergantung pada komoditas global. Di Indonesia, cerita
ini jamak didengar untuk komoditas seperti kopi, kakao, karet, pala atau
cengkeh, yang harganya mengikuti harga internasional, sehingga para petani
bergantung pada pasar yang berada di luar jangkauan mereka, dan mereka tidak bisa mengkonsumsi produk itu
sendiri. Hasil akhirnya adalah keadaan di mana para petani menjadi price-taker dan sangat rentan terhadap
berbagai faktor di luar kuasa mereka. Hal yang sama juga bisa kita lihat pada
para buruh di pabrik-pabrik tekstil.
Perlombaan
ke Dasar di Industri Tekstil dan Konveksi
Kini kita
bergeser ke bagian tengah dari rantai industri sandang. Industri tekstil
menerima kapas, wol, linen atau kepompong sutera dari para petani, memintalnya
menjadi benang, menenun dan mewarnainya menjadi kain siap olah. Industri
konveksi kemudian memola, memotong, menjahit dan menyablon kain ini menjadi
pakaian siap pakai. Di sepanjang proses ini, industri menekan biaya produksi
hingga serendah-rendahnya atas dasar efisiensi. Bahan baku ditarik dari
pusat-pusat produksi yang paling efisien (atau yang mau menawarkan harga paling
murah), dan oleh karena itu menyebabkan banyak petani menjadi korban.
Semi-mekanisasi produksi membutuhkan tenaga kerja tanpa keterampilan khusus
(buruh pabrik) yang dapat dibayar semurah mungkin. Studi Gereffi tentang
industri sandang global menunjukkan bahwa manufaktur tekstil dan konveksi akan
cenderung mengarah pada negara-negara yang dapat menawarkan harga tenaga kerja
termurah. Alhasil, industri pakaian di Jepang, China dan Korea meng-outsource-kan produksinya ke India,
Bangladesh, dan negara-negara Asia tenggara (termasuk Indonesia), industri
Eropa ke Afrika, dan Amerika Serikat dan
Kanada ke Amerika Latin. Saat undang-undang ketenagakerjaan di negara-negara
tersebut diperketat, perusahaan akan bereaksi dengan memindahkan pabriknya ke
negara lain.
Banyak tulisan
telah menunjukkan bahwa race to the
bottom untuk tenaga kerja di industri tekstil dan konveksi telah banyak
memakan korban. Kebakaran besar di pabrik garmen di Amerika Serikat sekira satu
abad yang lalu yang menewaskan lebih dari 100 pekerja menjadi catatan sejarah
kelam. Satu abad kemudian, kejadian serupa terjadi di Rana Plaza di Bangladesh
di mana runtuhnya bangunan pabrik menewaskan lebih dari 1000 pekerja (10 kali
lipat dari kejadian di AS). Polanya serupa. Pengusaha tidak memerhatikan
kondisi bangunan dan keselamatan pekerja demi mengejar keuntungan. Kejadian di
Rana Plaza tahun 2013 lampau membukakan mata banyak orang tentang kondisi kerja
dan kesejahteraan para buruh pabrik di banyak negara-negara berkembang di mana
industri tekstil dan konveksi bertahan. Belum lagi apabila kita hitung segala
dampak dari limbah bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai pemutih, pewarna,
dan enzim untuk tekstil atau pewarna sablon yang dibuang ke badan sungai di
banyak tempat, termasuk di sekitar Bandung.
Tanggung
Jawab Konsumen di Ujung Rantai
Baik pertanian
serat maupun industri garmen mungkin bisa disalahkan di balik segala kerusakan
lingkungan dan eksploitasi buruh di negara-negara berkembang di dunia. Akan
tetapi, kita sebagai konsumen memiliki andil yang sama besarnya. Perlombaan
menuju dasar di dalam industri sandang bersumber dari pola hidup masyarakat
yang serba cepat dan murah. Ada harga yang mahal di balik pakaian murah yang
kita beli di pasar. Meskipun demikian, pakaian mahal juga tidak menjamin bahwa
produk yang kita beli lebih berkelanjutan. Retailer dan industri fashion mengambil nilai sangat banyak
dari tren dan mode tanpa mengindahkan para pelaku usaha di bagian hulu mereka.
Jadi, harga mahal yang kita bayarkan mungkin tidak pernah kembali kepada para
petani dan buruh pabrik. Lebih parah lagi, fashion
yang cepat berganti berimplikasi pada perputaran barang yang semakin cepat
pula. Ujung dari rantai industri ini adalah tempat pembuangan sampah akhir yang
dipenuhi oleh bergulung-gulung pakaian-pakaian bekas yang bisa jadi masih layak
pakai. Semua mungkin hanya karena tren mode tahun ini sudah berbeda dengan apa
yang in tahun lalu.
Menjadi konsumen
pakaian yang bertanggung jawab di Indonesia, di masa sekarang, memang lebih
sulit ketimbang menjadi konsumen pangan yang bertanggung jawab. Dalam hal
pangan, kita selalu bisa mulai dari tanaman di pekarangan kita sendiri, atau
membeli produk-produk dari petani lokal. Tapi bagaimana dengan pakaian? Apakah
membeli baju dari toko di sebelah rumah berarti bahwa kita telah membantu
memutus mata rantai industri sandang global? Atau apakah kita perlu memintal
benang dan menenun kain sendiri agar bisa lebih berkelanjutan? Tentunya tidak
semudah itu pula.
[1]Minyak bumi
datang belakangan, menghasilkan produk serat sintetik seperti polyester, nilon,
dan spandex.
[i]Gereffi, G. (1999).
International trade and industrial upgrading in the apparel commodity
chain. Journal of international economics, 48(1),
37-70.
[ii] Salah satu tulisan tentang
kontribusi industri tekstil terhadap pencemaran lingkungan dapat dilihat di https://www.alternet.org/environment/its-second-dirtiest-thing-world-and-youre-wearing-it
[iii]Gereffi, G., & Memedovic,
O. (2003). The global apparel value chain: What prospects for upgrading
by developing countries(pp. 5-6). Vienna: United Nations Industrial
Development Organization.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini