Oleh: Yosepin Sri
Pernahkah kita mengetahui dari manakah asal baju yang kita kenakan? Atau
pernahkah kita menanyakan bagaimana baju yang kita pakai dihasilkan dan bisa
dijual dengan harga yang sangat murah ketika sedang ada diskon besar-besaran di
pusat perbelanjaan, pameran, atau toko-toko baju pinggir jalan.
Baju yang kita kenakan terbentuk
dari berbagai macam tekstil, yakni tekstil yang terbuat dari jalinan
benang/serat dan ada juga tekstil yang dicetak seperti bahan plastik dan karet
yang dibuat untuk baju-baju tahan air, tahan angin atau keperluan khusus
lainnya. Berdasarkan tampilannya, jenis tekstil dapat terbagi menjadi tiga
yakni reka latar, reka rakit, dan campuran keduanya. Reka latar adalah cara
menampilkan corak pada tekstil setelah bahan tekstil sudah tersedia seperti
batik, lukis kain, celup ikat, sablon dan printing mesin. Reka rakit adalah
cara menampilkan corak pada kain bersamaan dengan proses pembentukan kainnya
seperti tenun, rajut, anyam, macramé, dan tapestri. Berdasarkan material
penyusunnya tekstil dapat terbagi menjadi tekstil organik dan anorganik. Tekstil
organik yakni tekstil yang terbuat dari serat alami seperti sutera, katun,
linen, rami, kulit, dan serat alami lainnya. Sedangkan tekstil anorganik adalah
tekstil yang terbentuk dari material buatan seperti polyester, lycra, plastik,
karbon, dan material rekayasa lainnya. Selanjutnya tekstil tersebut diolah oleh
para penjahit untuk dijadikan sebagai busana dan didistribusikan ke para
penjual.
Sebelum ditemukannya mesin pintal
pada era revolusi industri di Inggris abad ke 17 oleh Richard Arkwright (mesin
pintal dengan tenaga air), James Hargreaves (spinning jenny), dan Samuel Crompton (spinning mule), pembuatan busana masih membutuhkan waktu lama dan
mahal karena pembuatannya masih manual. Setelah ditemukannya mesin pemintal
maka bahan-bahan tekstil dapat dipintal dalam jumlah yang lebih besar dan
kecepatan produksi busana meningkat. Semenjak era revolusi Industri mesin-mesin
berperan dalam menggantikan tenaga manusia dan produksi menjadi semakin murah.
Perkembangan di dunia fashion dari abad ke abad terus meningkat dengan penemuan mesin jahit dan pola kertas pada abad ke-19. Dengan penemuan ini produk busana dapat dibuat dalam skala besar dengan tampilan yang persis sama. Hal tersebut menjadi pendorong munculnya industri busana dengan produksi massal. Salah satu produk massal pertama untuk jenis busana perempuan adalah shirtwaist yang diproduksi oleh lebih dari 450 pabrik yang mempekerjakan 40.000 orang. Namun dengan adanya produk massal, tidak semua perempuan membeli busananya, masih terdapat perempuan-perempuan yang menjahit sendiri dengan membeli mesin jahit rumahan. Skill menjahit menjadi skill rumahan yang diturunkan dari generasi ke generasi, disinilah tradisi membuat busana berubah yang tadinya manual dengan metode pintalan dan jahit tangan menjadi membeli kain di toko dan menjahitnya dengan mesin di rumah. Kemunculan industri busana juga membawa perubahan seperti tersedianya lapangan kerja baru bagi perempuan dan juga disiplin ilmu yakni ilmu tata busana. Salah satu sekolah yang mengajarkan tata busana yakni Iowa State College berdiri pada tahun 1871 yang mengajarkan para perempuan tentang Kurikulum Ekonomi Rumah yang mengajarkan memasak dan menjahit bagi para perempuan.
Desain Shirtwaist yang populer abad ke-19 (Fashioning Yourself: A Story of Home Sewing, National Women’s History Museum) |
Penemuan
teknologi dan sistem kerja industri busana massal tersebut berkembang di Eropa
dan Amerika dan kemudian menyebar ke negara-negara jajahan sebagai lokasi
produksi dengan upah tenaga kerja yang lebih murah. Perkembangan tersebut memunculkan Tiongkok sebagai negara dengan
potensi ekonomi terbesar saat ini karena mereka mampu memproduksi dalam skala
yang lebih banyak dan upah yang paling rendah. Situasi ini dikenal dengan
istilah fast fashion, situasi di mana
busana dihasilkan dalam waktu cepat dan harga busana menjadi sangat murah agar
bisa terjual dengan mudah. Ini merupakan jawaban dari pertanyaan di awal,
busana bisa dijual dengan harga kurang dari Rp 50.000,- dengan corak batik di
pasar-pasar grosir di Indonesia. Selama lebih dari satu abad, konsumen dididik
untuk menjadi konsumtif tanpa melihat bagaimana produk yang mereka kenakan bisa
sampai ke tubuh mereka sementara pusat-pusat perbelanjaan terus gencar
memberikan promo-promo diskon banting harga tanpa memberikan informasi lebih
akan produknya selain harga dan merk busana.
Gambar (kanan)
diskon busana di salah satu pusat perbelanjaan dalam artikel berjudul “Cari
Diskon Pakaian Anak di Bogor, disini Tempatnya” oleh Lingga Arvian Nugroho pada
11 Desember 2015;(kiri) diskon busana corak batik dalam artikel berjudul “8
hal menarik di INACRAFT 2015” oleh Johana Purba pada 9 April 2015.
Sumber kiri
ke kanan:
https://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/89434-8-hal-menarik-di-inacraft-2015Bagaimana dengan dampak dari fast fashion tersebut? Industri busana adalah industri kedua dengan dampak polusi terbesar di dunia. Sisa pewarnaan busana yang dibuang ke tanah dan air menjadi racun bagi ekosistem di dalamnya dan selanjutnya berdampak ke manusia yang mengkonsumsi air serta tanaman yang tumbuh di area tersebut. Kebutuhan akan kain secara cepat memaksa lahan untuk dapat menumbuhkan pohon kapas sebagai bahan utama katun. Hewan seperti domba, sapi dan kambing menjadi hewan industri yang digunakan kulit dan bulunya untuk produksi berbagai produk seperti wool dan kulit. Hasil industri minyak dalam skala besar digunakan untuk menciptakan alternatif tekstil non-organik yakni polyester, meskipun hemat air, namun material ini membutuhkan minyak bumi dan ketika dibuang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk dapat terurai oleh bumi. Selain produk, industri fashion juga menimbulkan permasalahan lain seperti kemasan yang tidak ramah lingkungan serta isu-isu sosial seperti mempekerjakan anak di bawah umur untuk menekan biaya produksi dan juga memunculkan fenomena anoreksia yakni keadaan tubuh para model yang kurang gizi sebagai akibat tuntutan pola tubuh ideal menurut industri mode dalam menampilkan koleksi busana mereka.
Gambar
(kiri) situasi ruang pemintalan kapas di salah satu pabrik tekstil di India,
(kanan) foto citra satelit danau Aral pada tahun 1989 dan 2014. Kedua gambar
diperoleh dari artikel berjudul “Crisis in our closets: The Environmental
Impact of Fast Fashion” oleh prospectjournalucsd pada 24 Mei 2017.
Sumber:
Sebagai respon terhadap situasi
ketidakberlanjutan ini, muncullah orang-orang dari berbagai background mencoba mengangkat isu ini ke
permukaan dan mengembangkan disiplin ilmu dalam dunia fashion dikaitkan dengan
isu lingkungan yakni Sustainable Fashion.
Dalam keilmuan ini para ilmuwan mencari berbagai alternatif tekstil pengganti
katun, seperti hemp, kain dari
selulosa, kain dari endapan teh dan berbagai material lainnya. Pewarnaan
dilakukan dengan cara eco-print yakni memanfaatkan warna-warna
yang berasal dari alam seperti warna biru dari indigofera/ pohon tarum, warna
merah dari akar mengkudu, warna kuning dari kunyit, warna hijau dari daun mangga,
dan masih banyak pewarna alami lainnya yang ternyata sudah ada sejak lama namun
tidak diketahui oleh masyarakat saat ini karena informasi tersebut tenggelam
oleh industrialisasi selama berabad-abad. Bentuk respon terhadap isu negatif
dunia busana terbagi menjadi dua yakni upaya penelitian dengan
teknologi-teknologi dari negara maju dan pola hidup kembali ke alam bagi
negara-negara yang masih memiliki tradisi pembuatan tekstil dan busana secara
manual.
Sebagai bentuk kelanjutan dari
respon tersebut, dalam beberapa dekade terakhir berkembanglah industri busana
yang menyertakan informasi sebagai bagian dari penjualan produk mereka akan
pembuatan produk yang lebih ramah lingkungan dan sosial, dimana para pekerja
dipekerjakan dengan sistem yang sangat berbeda yakni memberdayakan masyarakat
sekitar, pola produksi sesuai dengan ritme alam, serta menggunakan model
seperti normalnya ukuran tubuh manusia. Industri busana ini tentunya tidak
dapat menghasilkan busana secara massal dan bahkan tidak bisa sama persis
tingkat kepekatan warna antar produk tekstilnya. Harga dari produknya dapat
dihitung berdasarkan harga produksi normal satuan busana sebagai akibat dari
pembayaran upah yang sesuai bagi para pekerjanya. Industri-industri ini muncul
dengan skala rumahan dengan jumlah pekerja yang sedikit dan produk yang lebih
eksklusif. Beberapa brand pelopor
dari industri ini di Indonesia adalah Kana Goods dan Bixa Batik.
KANA Goods muncul pada tahun 2007 dengan label
awal bernama Kanawida dengan latar belakang mengisi waktu luang anak muda
dengan kegiatan yang lebih berguna sekaligus dapat melestarikan warisan budaya.
Dari inisiator Sancaya Rini yang biasa dipanggil Ibu Rini, mencoba mengajak
anak muda di sekitaran rumahnya untuk mengisi waktu luang mereka dengan
kegiatan membatik dengan gambar-gambar yang sederhana agar dapat dikerjakan
lebih mudah oleh anak muda namun menggunakan pewarna alam indigo/ daun tarum.
Pada tahun 2009, brand ini
mendapatkan penghargaan KEHATI Award
karena hanya menggunakan warna-warna
alam, kemudian label ini banyak hadir dalam berbagai pameran dan mendapatkan
respon yang sangat positif dari masyarakat.
Pada tahun 2011, Kana Goods
mengikuti ajang Indonesia Fashion Week dan menambah jenis produk mereka yang
tadinya hanya menjual kain-kain saja menjadi label dengan produk ready-to-wear/ busana siap pakai.
Inspirasi produknya berasal dari hal-hal yang sederhana seperti daun jatuh di
halaman lalu dijiplak dan dikembangkan oleh anak-anak muda menjadi corak yang
lebih variatif. Kana Goods semakin berkembang karena dapat melihat peluang
bahwa Indonesia kaya akan potensi budaya dalam corak dan warna alamnya. Dengan
target market lebih ke anak muda dengan tujuan mengedukasi anak muda dari sisi
budaya dan lingkungan, label ini menawarkan produk dengan ciri khas corak
sederhana yang dapat dengan mudah diterima oleh anak muda dan label Kanawida
kemudian merubah namanya menjadi Kana Goods pada tahun 2013. Kana sendiri bila
diartikan dalam berbagai macam bahasa sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu
cantik. Keunggulan dari label ini selain ramah budaya dan lingkungan, label ini
dibangun dengan berbagai keterbatasan yang dapat diolah sebagai keunggulan.
Keterbatasan produksi dalam slow fashion
diolah kedalam desain-desain yang eksklusif dan bisa memberikan keunikan di
setiap produknya hingga menambah nilai jual dari produk-produk Kana.
Label
lainnya adalah Bixa Batik, yang diinisiasi oleh Hendri Suprapto dengan latar
belakang peneliti pewarna alam di Balai Besar Batik. Dengan profesi tersebut
Hendri Suprapto berkesempatan untuk mengunjungi banyak wilayah di Indonesia dan
melakukan riset terhadap tanaman-tanaman lokal yang berpotensi menjadi pewarna
alam tekstil. Setelah melakukan penelitian, Ia bertugas juga dalam melatih para
pengrajin lokal agar dapat kembali menggunakan pewarna alam seperti kain-kain
yang terdahulu sebelum ditemukannya pewarna kimia. Dalam riset-risetnya Hendri
Suprapto melakukan berbagai eksperimen dengan penggolongan tipe pewarna alam
untuk menemukan zat mordan/ zat yang berfungsi untuk mengikat warna dengan
tekstil agar warna bisa tahan lama selayaknya tekstil dengan pewarna kimia. Sesuai
dengan latar belakang tersebut, Hendri Suprapto yang awalnya membangun tempat
pelatihan bagi anak muda di Yogyakarta yang tergabung dalam karang taruna untuk
belajar membatik dengan proses pewarnaan dari bahan alami, kemudian berkembang
menjadi industri yang memproduksi kain-kain batik dan tenun dengan pewarna alam
dari berbagai tanaman di Indonesia. Di dalam rumah yang berlokasi di daerah
Bantul, Yogyakarta tersebut siapapun bisa datang dan belajar tentang pewarna
alam yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hingga saat ini tamu-tamu yang tertarik
untuk belajar tidak hanya dari Indonesia namun juga dari berbagai negara
seperti Inggris, Polandia, Jepang, dan berbagai negara lainnya. Nama Bixa pada
label Bixa Batik sendiri berasal dari nama tumbuhan Bixa orellana yang dapat
menghasilkan warna merah pada tekstil dan dulunya banyak tumbuh di daerah Pulau
Jawa.
Gambar pelatihan yang dilakukan oleh Bixa Batik untuk para pengrajin songket di Sentra Industri Tenun Nagari Tigo Jangko, Lintau Buo, Tanah Datar, Sumatera Barat (https://www.instagram.com/bixabatik/?hl=en) |
Berkat adanya label-label yang
tidak hanya sekedar menjual produk namun juga mengedukasi pasar memunculkan
semangat baru dalam industri busana di Indonesia. Label serupa sebenarnya tidak
hanya muncul di Indonesia, namun juga muncul di negara-negara lainnya karena
latar belakang yang sama, yakni kekhawatiran terhadap dampak dari industri fast fashion. Label-label ini selain menjual
produk juga berbagi keterampilan dalam menghasilkan produknya lewat pelatihan
yang diadakan baik di tempat produksinya maupun di tempat-tempat lain seperti
pusat-pusat pelatihan yang sekarang marak disebut dengan maker’s space. Keuntungan dari adanya maker’s space adalah masyarakat bisa mendapatkan akses untuk
belajar membuat berbagai hal dari masing-masing ahlinya. Para ahli diundang dan
memberikan workshop sesuai waktu yang dibutuhkan dalam menghasilkan produk/
mempelajari suatu teknik dan disiplin ilmu. Dengan mengetahui cerita dibalik
proses pembuatan produk apapun tidak hanya fashion, masyarakat menjadi lebih
menghargai keberadaan suatu produk serta dampak yang ditimbulkannya bagi bumi.
Sumber:
Fashioning Yourself: A Story of Home Sewing, National Women’s History
Museum
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini