Kita beruntung hidup di zaman yang
menawarkan begitu banyak kemudahan di dalam hidup kita. Kurang dari seratus tahun
yang lalu, generasi kakek nenek kita mungkin masih mengganggap bahwa pakaian adalah
harta yang sangat berharga. Pada saat itu pakaian yang mereka miliki mungkin tidak
lebih dari hitungan jari. Beberapa dari mereka bahkan menggunakan bahan yang
pada masa sekarang ini dianggap tidak layak disebut sebagai pakaian.
Saat ini, hampir semua orang sudah memiliki
pakaian. Kebanyakan orang kemungkinan memiliki pakaian sejumlah yang lebih dari
yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.
Sebagian lagi mungkin memiliki sejumlah pakaian baru setiap hari raya,
setiap musim atau setiap model baru keluar. Sebagian lagi membeli pakaian yang
mengisi lemari mereka, tetapi kemudian tidak pernah mereka gunakan.
Hal ini dapat terjadi dengan kemajuan teknologi.
Teknologi memungkinkan kita mengambil sumber-sumber bahan baku pakaian secara
massif, baik langsung dari alam maupun melalui proses budidaya. Teknologi juga memungkinkan
percampuran serat alam dan serat sintetis sehingga lebih banyak pakaian dapat dihasilkan
dalam waktu yang sama. Lebih banyak pakaian dihasilkan berarti ketersediaan pakaian
makin melimpah. Sayangnya, kelimpahan pakaian ini juga membawa sejumlah konsekuensi.
Di satu sisi, ketersediaan pakaian yang
melimpah merupakan sesuatu yang bagus dan patut disyukuri. Di sisi lain, ada persoalan
distribusi. Penggunaan pakaian tersebut belum merata dinikmati semua orang di
seluruh dunia. Saat ini, ada sekelompok kecil orang mungkin memiliki pakaian jauh
lebih dari cukup dari yang ia butuhkan. Sementara sisanya ada yang belum memiliki
pakaian yang layak. Sementara sebagian dari kita dapat membeli pakaian dengan harga
yang relatif murah, sebagian lainnya harus membelinya dengan harga yang jauh lebih
mahal.
Koleksi pakaian: keinginan atau kebutuhan? |
Implikasi lain dari produksi pakaian yang
melimpah adalah eksploitasi sumber daya yang semakin massif untuk mencari dan atau
membudidayakan bahan pakaian tersebut. Untuk beberapa jenis sumberdaya yang
dapat diperbarui, keberlanjutan eksploitasi sumberdaya dibatasi oleh batas daya
dukungnya. Eksploitasi sumberdaya yang berlebihan menyebabkan ambang batas daya
dukung semakin lama semakin menurun. Ini berarti ketersediaan sumber daya bahan
baku pakaian semakin berkurang dari hari ke hari. Kemampuan alam untuk menyediakan
bahan baku penghasil pakaian pun semakin menurun.
Konsekuensi lain dari konsumsi pakaian yang
berlebih adalah adanya limbah pakaian. Limbah pakaian yang ada perlu diolah sedemikian
rupa sehingga tidak mencemari bumi. Sayangnya hal ini belum terjadi secara maksimal.
Banyak sekali limbah pakaian yang belum dapat terolah di tempat sampah. Bahkan sebagian
limbah pakaian yang dibuang sebetulnya merupakan pakaian yang masih layak pakai.
Belum lagi limbah kemasan yang digunakan untuk membungkus pakaian-pakaian tersebut.
Berapa banyak kantong plastik, kertas, perekat yang akhirnya dibuang setelah produk
yang kita beli kita buka kemasannya.
KAIL mengadakan bazaar barang bekas setiap tahunnya.
Salah satu barangnya adalah pakaian bekas layak pakai yang kami peroleh dari sumbangan
dari berbagai pihak. Selama empat kali menyelenggarakan bazaar, kami kerap menemukan
bahwa pemiliknya pun belum sempat menggunakannya. Jadi labelnya masih tergantung
seperti baru, meskipun statusnya barang bekas.
Suasana stand pakaian bekas di bazaar Kail: kesempatan mendapatkan pakaian layak pakai dengan harga super murah. |
Saat ini, kecukupan pakaian ternyata baru dapat
dinikmati oleh segelintir orang. Lalu bagaimana dengan mereka yang biasa saja? Yang
penghasilannya pas-pasan. Yang hanya bisa membeli pakaian baru hanya jika baju
yang sudah ada sebelumnya sudah rusak/sobek? Atau kalaupun sudah sobek masih diupayakan
untuk ditambal-tambal pula. Adakah hal-hal yang menghambat kita mengambil keputusan
yang lebih berkelanjutan terkait pakaian? Jika ada, apa sajakah itu?
Berikut ini adalah sejumlah masalah yang
mungkin menghambat kita untuk memilih konsumsi pakaian lebih berkelanjutan:
1. Pengaruh iklan
2. Terdorong membeli
baju baru karena diskon.
3. Memperbanyak kombinasi
pakaian.
4. Hadiah dari teman
atau saudara.
5. Sayang kalau tidak
dibeli karena modelnya bagus.
6. Memperbanyak koleksi.
7. Adanya anggapan bahwa
hidup yang lebih keren adalah yang seringkali gonta ganti warna dan model
pakaian.
Keseluruhannya menyebabkan jumlah produksi dan
konsumsi pakaian meningkat dari waktu ke waktu. Persoalan-persoalan tersebut sulit
diselesaikan karena kultur yang ada saat ini mendorong semakin banyak konsumsi sumberdaya.
Nilai yang diajarkan adalah: semakin banyak konsumsi sumberdaya berarti semakin
keren. Padahal sebaliknyalah yang terjadi, semakin boros sumberdaya, semakin banyak
persoalan seperti yang dijabarkan di atas.
Bagaimana caranya mengubah situasi tersebut?
- Menghidupi nilai “keren” adalah hidup yang berkecukupan, bukan berlebihan.
- Tidak mudah terpengaruh dengan tawaran-tawaran dari luar untuk mengkonsumsi pakaian yang tidak dibutuhkan.
- Memiliki kemampuan untuk secara tajam melihat apakah hal itu merupakan kebutuhan atau keinginan.
- Mengabaikan konsumsi yang didasarkan pada keinginan semata, dan bukan kebutuhan.
- Mengajak kawan menyadari persoalan-persoalan di atas dan menyelesaikannya mulai dari diri sendiri.
Baju diskon: peluang atau godaan? |
Untuk dapat melakukan keempat hal di atas,
kita perlu dapat bertahan hidup dan merasa oke meskipun dengan jumlah pakaian
yang lebih sedikit. Berikut ini adalah beberapa tips agar tetap “keren” meskipun
dengan pakaian yang lebih sedikit.
- Mampu memilih jenis, corak dan tekstur pakaian yang dapat digunakan dalam waktu lama.
- Mampu membuat kombinasi baru dari beberapa komponen pakaian yang ada (kemampuan untuk memadupadankan pakaian-pakaian yang ada).
- Menguasai teknik pemeliharaan pakaian sehingga awet digunakan dalam waktu yang lama.
- Mampu mengolah limbah pakaian menjadi sesuatu yang berguna.
- Mampu memperbaiki pakaian yang rusak sedikit sehingga tetap masih dapat digunakan.
- Menggunakan pakaian bekas yang layak pakai, ketimbang membeli baju yang baru.
- Tetap percaya diri meskipun menggunakan baju yang itu-itu saja atau pun menggunakan baju bekas.
1. Menyumbangkan sebagian
pakaian yang kita miliki, terutama untuk pakaian-pakaian yang sebetulnya jarang
atau bahkan tidak pernah kita gunakan.
2. Buat batasan untuk
mengurangi dan bahkan berhenti membeli pakaian baru. Misalnya dengan menetapkan
syarat pembelian pakaian baru. Misalnya, tidak membeli pakaian baru sebelum ada
pakaian lama yang rusak.
3. Memberitahukan kawan
dan sahabat yang sering memberi hadiah agar tidak memberikan hadiah dalam bentuk
pakaian. Apalagi pakaian baru yang berkemasan, yang akhirnya menimbulkan sampah.
4. Mengorganisir penggunaan
pakaian bersama agar pemanfaatan dan umur pakainya lebih lama. Misalnya untuk jenis
pakaian yang durasi pemakaiannya pendek, seperti pakaian bayi atau anak-anak balita.
Setelah dipakai oleh anak yang satu, pakaian tersebut dapat diwariskan kepada anak
yang lain dan seterusnya. Jadi pakaian beredar secara bergantian untuk mereka
yang membutuhkan.
Misalnya untuk jenis pakaian yang durasi pemakaiannya pendek, seperti pakaian bayi atau anak-anak balita. Setelah dipakai oleh anak yang satu, pakaian tersebut dapat diwariskan kepada anak yang lain dan seterusnya. Jadi pakaian beredar secara bergantian untuk mereka yang membutuhkan.
Demikianlah beberapa persoalan seputar
konsumsi pakaian zaman sekarang dan beberapa alternatif penyelesaiannya. Semoga
berguna!
***
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini