Oleh: Anggayudha A. Rasa
Sumber gambar:http://www.todaysviral.com/wp-content
|
Dahulu laki laki dikenal hanya sebagai orang yang
bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Pekerjaannya adalah berburu, mencarikan
makanan untuk keluarga. Urusan meramu makanan dan merawat
keluarga adalah urusan para kaum wanita. Termasuk mendidik anak.
Tapi tampaknya paradigma tersebut mulai berubah, meskipun baru perlahan-lahan. Maraknya tindak kejahatan,
kekerasan pada remaja, pelecehan seksual, narkoba dan berbagai bentuk tindak
kriminalitas lainnya menuntut para orangtua bertindak lebih hati-hati dalam mendidik anak. Peran ibu saja kini tak
cukup untuk mengawal tumbuh kembang anak.
Menurut psikolog anak Elly Risman, peran ayah dan
ibu sama pentingnya dalam mendidik serta mengasuh anak. Adanya keseimbangan
pengasuhan oleh ayah dan ibu akan membentuk perilaku yang positif bagi anak.
Sisi feminis dan maskulin pada diri anak, baik anak laki laki maupun perempuan
perlu ditumbuh-kembangkan secara optimal agar tidak terjadi 'kelainan
kepribadian' pada diri anak. Agar tidak ada anak laki laki yang lebih feminim
dan anak wanita yang lebih tomboy.
Pentingnya peran ayah juga menjadi catatan penting
dalam sebuah penelitian internasional yang dimuat di
situs artikel sains, Science Daily edisi 12 Juni 2012. Penelitian tersebut
menyebutkan bahwa kasih sayang ayah sama penting—bahkan bisa lebih
penting—dengan kasih sayang ibu dalam pembentukan kepribadian anak.
Oleh sebab itu semestinya sudah tidak ada lagi
alasan bagi setiap ayah untuk cuci tangan dalam pengasuhan serta pendidikan
anak. Ayah perlu mengambil peran dalam mendidik anak baik secara langsung atau
tak langsung. Demi terciptanya generasi berikutnya yang lebih baik dan kokoh.
Beberapa waktu yang lalu sempat diluncurkan sebuah
buku berjudul Ayah
Ada
Tapi
Ayah
Tiada'
yang diterbitkan oleh lembaga Ayah Untuk Semua. Buku itu berisi
tulisan tulisan anak anak tentang apa yang mereka rasakan terhadap keberadaan
ayah di rumah. Buku itu bercerita tentang jeritan hati anak anak usia 6-12
tahun yang 'memprotes', kecewa, marah dan sedih atas ketiadaan orangtua mereka
dalam kehidupan mereka.
Berikut ini nukilan puisi yang dituliskan olehsalah seorang anak
dalam buku 'Ayah ada, ayah tiada' yang disunting oleh Irwan Setiadi,
AYAH KEMANA
Kantukku
telah tiba
Ayah dan bunda ada dimana
Aku ingin kita bertatap muka
Kenapa setiap hari begini saja
Ayah dan bunda ada dimana
Aku ingin kita bertatap muka
Kenapa setiap hari begini saja
Kantukku
telah tiba
Aku kembali bertanya
Kenapa aku dibiarkan tidur sendiri saja
Padahal aku ingin berbagi cerita
Aku kembali bertanya
Kenapa aku dibiarkan tidur sendiri saja
Padahal aku ingin berbagi cerita
Kantukku
telah tiba
Tempat tidur yang sepi tanpa cinta
Selimut yang dingin tanpa kata-kata
Bantal dan guling tak bisa bicara
Tempat tidur yang sepi tanpa cinta
Selimut yang dingin tanpa kata-kata
Bantal dan guling tak bisa bicara
Adanya fenomena ayah ada tapi ayah tiada seperti yang
dikutip oleh Irwan Rinaldi - praktisi
pendidikan keayahan- seharusnya menjadi cambuk bagi kita semua tentang
betapa mirisnya kondisi pengasuhan oleh ayah saat ini. Fenomena ayah yang pergi
sebelum Matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam yang semakin
lumrah terjadi semakin memperparah keadaan. Besarnya tuntutan pekerjaan memang
membuat kondisi semakin dilematis. Antara tanggung jawab menafkahi keluarga yang
'mengharuskan' para ayah terjebak dalam rutinitas tersebut dan tanggung jawab
mengasuh serta mendidik anak yang juga harus dipenuhi. Tidak mudah memang. Tapi
kita yakin akan selalu ada solusi atas setiap permasalahan.
Sebagai seorang ayah yang memiliki tanggung jawab
penuh terhadap kehidupan dan keberlangsungan keluarganya saat ini di masa yang
akan datang, maka sudah semestinya kita tidak memisahkan begitu saja antara
kewajiban mencari nafkah dan mengayomi keluarga (termasuk mengawal istri kita
mendidik anak). Tidak bijak rasanya menjadikan kewajiban mencari nafkah sebagai
alasan untuk cuci tangan dari kewajiban mendidik anak. Sebab bagaimanapun masa
depan anak dan keluarga adalah tanggung jawab kita juga. Sebab bagaimanapun
kelak kita juga yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kehidupan mereka.
Sumber gambar: http://www.deanthebard.com/blog/ wp-content/uploads/2014/04/father-and-daughter-silhouette-494x329.jpg |
Mari kita luangkan waktu meski sejenak untuk
menyapa, menemani, memeluk, mengecup buah hati kita, sesibuk apapun urusan kita
mencari nafkah. Mari kita luangkan sedikit saja waktu untuk menelponnya,
berbincang dengannya, menanyakan apa kabarnya hari ini, apa aktivitas yang baru
ia jalani, dan pertanyaan pertanyaan ringan lainnya, di sela sela padatnya
aktivitas kita. Mari luangkan waktu sebentar saja untuk membacakannya
sebuah cerita yang sarat akan makna kejujuran, kebaikan, ketegasan dan
mengantarkan tidurnya hingga ia terlelap.
Rasanya tak muluk muluk untuk bisa meluangkan waktu
meski hanya 5 menit saja untuk melakukan aktivitas aktivitas itu. Sekalipun
tentu akan lebih baik jika kita meluangkan lebih banyak waktu untuk mendidik
anak kita.
Apalah artinya meluangkan 5 menit di antara ratusan menit yang kita sisihkan untuk
pekerjaan?
Apa gunanya bersikukuh dengan pekerjaan jika anak sendiri tak mampu kita
bahagiakan?
Jika kita berdalih mencari nafkah untuk mereka, lantas mengapa kita tak luangkan hati dan waktu yang kita punya untuk mereka meski sedikit saja?
Jika kita berdalih mencari nafkah untuk mereka, lantas mengapa kita tak luangkan hati dan waktu yang kita punya untuk mereka meski sedikit saja?
Materi masih bisa kita cari bahkan kita beli, tapi kebahagiaan, masa depan anak dan istri takkan dapat terganti.
Sebab tanggung jawab kita tak hanya sekedar mencari nafkah, melainkan mengemban amanah.
Renungan atas diri sendiri,
Anggayudha A. Rasa
Anggayudha A. Rasa
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini