Pada bulan Mei 2012, saya beruntung mendapat kesempatan
berkunjung ke desa Kalibening, Salatiga dan berjumpa dengan teman-teman
pengurus Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). SPPQT merupakan gabungan
kelompok tani yang beranggotakan lebih dari 16.000 orang yang tersebar di
seluruh provinsi Jawa Tengah. Di sana saya melakukan wawancara dan Focus Group Discussion kepada banyak
petani. Dari mereka, saya banyak
belajar kearifan lokal masyarakat perdesaan. Banyak dari mereka yang memiliki
semangat dan cita-cita tinggi di balik segala keterbatasan. Setelah menginap
beberapa hari di rumah-rumah warga, saya disarankan untuk melihat-lihat sebuah
sekolah alternatif yang merupakan salah satu cabang kegiatan dari SPPQT.
Sekolah ini digagas oleh Ahmad Bahruddin yang merupakan salah
satu pendiri SPPQT. Berawal dari kesulitan keuangan beberapa warga desa
Kalibening untuk mendapatkan sekolah berkualitas dengan biaya terjangkau, maka
Bahruddin sebagai Kepala RW saat itu nekat mendirikan sekolah yang tidak mengacu pada kurikulum nasional. Sekolah
berbasiskan murid sebagai subjek utama dan guru hanya memfasilitasi murid yang
belajar sesuai keinginan mereka. Tidak seperti sekolah pada umumnya yang kita
tahu, mereka dibebaskan memilih sendiri pelajaran apa yang mereka sukai,
belajar di mana saja mereka mau, pada jam berapa bahkan menilai sendiri hasil
pekerjaan mereka.
Mas Bahruddin dan karya anak-anak SPPQT |
Berbincang bersama Mas Bahruddin terasa sangat menginspirasi.
Semangatnya yang menggebu-gebu seakan menular dan memberi energi positif pada
saya. Dia adalah contoh anak bangsa yang tidak hanya melontarkan kritik pedas
kepada pemerintah tetapi membuat inovasi sekaligus memberdayakan warga. Saya
ingat kritik beliau tentang suatu program yang mengirimkan mahasiswa-mahasiswa
mengajar ke daerah terpencil di Indonesia, yang sebetulnya saya pernah tertarik
mendaftar. Beliau mengatakan, bahwa
sesungguhnya yang dilakukan oleh seorang guru bukanlah mengajari murid,
melainkan guru dan murid bersama-sama belajar dan tidak ada yang lebih pintar
dalam hal ini. Dengan posisi yang setara, guru dan murid justru bisa mendapat
banyak ilmu dari proses tersebut. Itulah sebabnya, beliau tidak pernah menyebut
dirinya guru atau kepala sekolah.
Saya diajak berkeliling ke sebuah bangunan baru berlantai
lima yang berfungsi sebagai kelas. Di lantai paling atas terdapat asrama.
Lantai dasar merupakan sebuah ruangan luas yang sering dipakai anak-anak untuk
menghasilkan karya serta memajangnya.
Sungguh saya terkagum-kagum dibuatnya ketika melihat hasil
karya (seni) anak-anak di sana. Banyak lukisan indah, sketsa, karikatur,
keramik, dan benda-benda seni lainnya. Iklim kreativitas sangat pekat membius
diri saya. Dalam hati, saya sedikit menyesali masa-masa sekolah dahulu ketika
saya memaksa diri untuk terus-menerus mengasah otak kiri agar bisa berprestasi
di bidang akademik. Berbeda dengan anak-anak di Qaryah Thayyibah yang di usia
belia mantap dengan pilihan minat dan bakatnya masing-masing lalu berkembang
menjadi dirinya yang terbaik.
Staff Kail di depan kelas SPPQT |
Potensi dan ketertarikan setiap orang itu berbeda-beda,
setiap kita adalah unik. Hal itu yang sepertinya dicoba dikembangkan di sekolah
alternatif QT. Saya sempat berkenalan dengan beberapa anak di sana. Ada sinar
harapan yang memancar dari mata mereka juga kepercayaan diri yang tinggi dalam
berekspresi. Mereka disiplin dengan pilihan mereka dan bertanggung jawab
terhadap diri mereka sendiri. Kalau sudah bahagia dengan menjadi yang terbaik
bagi diri sendiri sehingga kualitas hidup tercapai, rasanya tidak ada gunanya
lagi ijazah sekolah formal. Namun, output
yang dihasilkan bukan sembarangan. Contohnya buku-buku yang mereka tulis dan
terbitkan sendiri terbukti berkualitas dan sangat berisi. Ketika saya membaca
salah satu buku, saya bahkan tidak percaya bahwa penulisnya adalah seorang anak
yang masih berumur 13 tahun. Tak heran ada penerbit besar yang kemudian
tertarik menerbitkan buku-buku tersebut. Sepertinya memang saya harus belajar
banyak dari anak-anak cerdas itu, dari sekolah alternatif Qaryah Thayyibah, Mas
Bahruddin,dan Desa Kalibening. Maka ketika saya pamit dan ditawari untuk live in di sana, alangkah antusiasnya
saya menyambut tawaran emas itu!
(Selly Agustina)
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini