Berbicara tentang pendidikan
anak memang tak ada habisnya. Sebut saja contoh beberapa masalah terkait kurikulum
yang selalu berubah setiap kali ada pergantian menteri, penambahan jam belajar
sekolah plus beban tugas anak sekolah yang sangat menyita kesempatan bermain,
membatasi ruang interaksi sosial anak dengan keluarga, teman sebaya di
lingkungan terdekat, belum lagi akses pendidikan anak yang terbatas terhadap
lembaga pendidikan. Kekhawatiran tersebut tentu saja sangat merisaukan beberapa
orangtua yang anak-anaknya memasuki usia sekolah.
Berangkat dari permasalahan
pendidikan yang ruwet ini Sri Wahyaningsih
menggagas perlunya ide-ide pendidikan yang sesungguhnya, yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi anak untuk bebas berekspresi dan bereksplorasi dalam menemukan pengetahuan, dengan memanfaatkan potensi lingkungan terdekat sebagai media belajar. Bu Wahya, begitu ia biasa disapa, dan beberapa orang yang juga memiliki keprihatinan yang sama tentang pendidikan di negeri ini mendirikan Sanggar Anak Alam (Salam) – sebuah perkumpulan yang bergerak di bidang pendidikan berbasis komunitas yang independen, terbuka dan tidak terikat dengan lembaga dana manapun, termasuk pemerintah.
menggagas perlunya ide-ide pendidikan yang sesungguhnya, yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi anak untuk bebas berekspresi dan bereksplorasi dalam menemukan pengetahuan, dengan memanfaatkan potensi lingkungan terdekat sebagai media belajar. Bu Wahya, begitu ia biasa disapa, dan beberapa orang yang juga memiliki keprihatinan yang sama tentang pendidikan di negeri ini mendirikan Sanggar Anak Alam (Salam) – sebuah perkumpulan yang bergerak di bidang pendidikan berbasis komunitas yang independen, terbuka dan tidak terikat dengan lembaga dana manapun, termasuk pemerintah.
Secara geografis, Salam
berada di tengah perkampungan dan dikelilingi persawahan di wilayah Kabupaten
Bantul. Tepatnya di kampung Nitiprayan, pedukuhan Jomegatan, Kelurahan
Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Salam mengawali kegiatannya pada tahun 2000 di Nitiprayan, Bantul,
DIY dengan program pendampingan remaja. Kemudian pada tahun 2004
menyelenggarakan Kelompok Bermain.
Seiring dengan perkembangan
anak-anak dan kebutuhan orangtua untuk keberlanjutan pendidikan anak-anak
mereka, Salam memulai program Taman Anak (TK) pada tahun 2006 dan Sekolah Dasar
(SD) pada 2008. Tahun ini adalah semester ke-2 untuk program setara SMP.
Melalui program tersebut Sanggar Anak Alam berkeinginan membuka ruang belajar
untuk masyarakat luas dari semua
kalangan dan rentang usia, dengan proses yang terbuka, menyenangkan, penuh
kesederhanaan serta mengutamakan lokalitas dan persahabatan dengan alam dan
lingkungan sekitar. Harapannya adalah Sanggar Anak Alam dapat menjadi bagian
dari perubahan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia, terutama pendidikan
anak-anak.
Sanggar Anak Alam, banyak
orang sering menyebutnya sebagai sekolah alternatif, atau sekolah alam.
Nyatanya bukan konsep berbasis alam yang membuat sekolah ini berbeda, tetapi di
Salam setiap siswa dilatih agar mampu menghadapi realitas kehidupan. Belajar
dari kebiasaan yang sehari-hari lekat dengan kehidupan mereka, kebutuhan dasar
untuk bisa menolong diri sendiri, sesama, dan semesta.
Di Salam, anak-anak belajar
membaca, menulis dan berhitung melalui peristiwa yang terjadi dan kegiatan yang
sengaja dirancang untuk mengantarkan mereka pada pemahaman terhadap ilmu yang
akan mereka temukan sendiri dengan pendampingan dan motivasi dari fasilitator.
Sehingga para fasilitator (guru/ pendidik) tidak perlu mencekoki dan menjejali
anak-anak dengan segala macam bentuk hafalan.
Anak-anak juga dikenalkan
pada makanan, cita rasa, dan manfaat
makanan melalui kebiasaan makan siang yang memang sengaja
diselenggarakan setelah kegiatan sekolah usai. Pada kesempatan ini anak-anak
belajar mengenali apa saja yang mereka makan, mengapa perlu makan, belajar
mengukur kebutuhan makannya, mengelola sisa makanan, belajar menghargai makanan
dan semua pihak yang terlibat dalam proses tersedianya makanan yang terhidang
di hadapan mereka.
Melalui kebiasaan piket
sehari-hari di sekolah pada pagi hari, anak-anak belajar tentang arti
bertanggung jawab, kerjasama dan disiplin pada diri sendiri, bagaimana harus
mengatur waktu, membagi peran dan tugas dengan teman lain dalam satu kelompok
Secara historis kultural,
Indonesia adalah negara agraris dengan sederet kisah manis pada masa kejayaan
di sektor pertanian. Pernah dinobatkan sebagai negara penghasil beras terbesar
hingga bisa swa-sembada beras bahkan mengimpor beras ke luar negeri. Bersyukur
Salam berada sangat dekat dengan lingkungan persawahan. Di tempat inilah
anak-anak belajar tentang sejarah budaya bangsa ini juga tentang kearifan lokal
dari komunitas petani yang bersama dengan Sanggar Anak Alam menghidupkan
kembali tradisi “wiwit panen”, yaitu sebuah ritual yang selalu dilakukan para
petani ketika akan memulai masa panen padi sebagai ungkapan syukur atas berkah
Tuhan atas hasil panen mereka.
Melalui kegiatan-kegiatan
tersebut anak-anak juga belajar memahami nilai-nilai religiusitas secara
langsung, kontekstual dan riil, misalnya tentang menghargai diri sendiri, teman
(sesama), lingkungan dan mensyukuri karunia Tuhan Yang Maha Esa. Orangtua,
fasilitator/ guru, dan masyarakat bagi Salam adalah warga belajar yang terlibat
secara aktif dalam proses pembelajaran yang terjadi di Salam. Dengan begitu
semua pihak akan saling mendukung dalam kerangka dinamika proses belajar yang
tak akan pernah ada habisnya.
Semesta dan kehidupan ini
telah menyediakan begitu banyak sumber ilmu dan temukan keajaiban yang
tersimpan di dalamnya. Mendengar, saya lupa; Melihat, saya ingat; Melakukan,
saya paham; Menemukan sendiri, saya kuasai; adalah salah satu motto yang selalu
diterapkan dalam proses pembelajaran Salam di sekolah kehidupan.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini