Oleh : David A. Setiady
Sumber: pelajaranilmu.blogspot.com |
Sebagai
manusia, kita semua terlahir dari sebuah keluarga, dalam bentuk yang paling
sederhana yakni ayah dan ibu.
Keluarga…
Kita
mengenal keluarga tertua di dunia ini adalah keluarga Adam dan Hawa, menurut
cerita yang ada di dalam kitab suci agama samawi (Kristiani, Islam, Yahudi), di
mana diyakini bahwa mereka adalah manusia pertama yang ada di muka bumi ini.
Adam dan Hawa membentuk keluarga dengan kedua anak mereka yang bernama Kain dan
Habel, jadilah mereka keluarga pertama di dunia. Tentunya menurut kisah kitab
suci tersebut.
Terlepas
apa pun keyakinan Anda, kita tahu bahwa dengan komposisi yang membentuk sebuah keluarga, tidak
memiliki banyak perubahan dari jaman dahulu hingga sekarang. Sebuah keluarga
pada umumnya terdiri dari seorang ayah dan seorang ibu, serta anak-anak, inilah
yang disebut sebagai keluarga inti.
Kemudian ada juga yang disebut keluarga konjugal, di mana keluarga inti
berinteraksi dengan kerabat lainnya dari salah satu atau kedua pihak orang tua,
misalnya paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya.
Selanjutnya ada yang disebut sebagai keluarga luas yang ditarik berdasarkan
garis keturunan yang ada di atas keluarga inti, artinya mencakup seluruh rantai
keluarga dari ayah dan ibu.
Bentuk-bentuk
keluarga demikian dihubungkan oleh pertalian darah ataupun perkawinan.
Perubahan Bentuk Keluarga
Namun
kemudian seiring dengan perkembangan jaman ataupun dalam praktek di masa lalu,
kita juga mengenal keluarga yang tidak melulu dikaitkan dengan pertalian darah
ataupun perkawinan. Misalnya pengangkatan anggota keluarga, yang mungkin cukup
lazim kita temukan adalah anak angkat-orang tua angkat. Pengangkatan di sini
berbeda dengan adopsi, di mana proses adopsi melibatkan proses hukum sehingga
ada persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh calon orang tua.
Sementara pengangkatan keluarga biasanya bersifat informal hanya didasarkan
pada kesepakatan verbal antara kedua belah pihak, yang (salah satunya)
tercermin melalui panggilan.
Di sisi
lain, faktor ekonomi telah menggerakkan masyarakat untuk berubah, baik gaya
hidup maupun kondisi keluarga yang membentuk masyarakat itu sendiri. Dulu,
dengan pola pembangunan yang cenderung berpusat di pulau Jawa, maka banyak
pemuda-pemuda dari berbagai kampung merantau ke perkotaan yang ada di pulau
Jawa. Tidak sedikit pula, para ayah ada di dalam rombongan perantauan yang
terpaksa meninggalkan keluarga mereka di kampung demi mencari sesuap nasi
ataupun mengambil peluang untuk mengubah peruntungan keluarga. Bahkan mereka
yang tinggal di kota-kota pun kadang merasa harus merantau ke kota yang lain
karena tidak menemukan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan diri mereka.
Kondisi tersebut mempengaruhi bentuk keluarga yang ada, di mana anak-anak tidak
merasakan kehadiran “ayah” mereka pada salah satu episode hidup mereka. Di
sini, kondisi keluarga tanpa ayah menjadi hal yang cukup wajar ditemukan.
Sementara
di beberapa daerah tertentu, keluarga-keluarga malah harus kehilangan sosok ibu
yang merantau ke negeri jiran menjadi asisten rumah tangga yang kita kenal
sebagai TKI. Ketiadaan sosok ibu dalam keluarga, terutama dalam proses tumbuh
kembang sang anak, tentu sangatlah berat di mana mereka masih sangat
membutuhkan kasih sayang dari sang ibu. Namun situasi yang sangat tidak ideal
ini dijalani juga oleh sebagian keluarga di Indonesia.
Komunitas, Sebuah Keluarga Baru
Satu bentuk
keluarga yang lain adalah keluarga yang sebetulnya merupakan komunitas atas
dasar kesamaan pada satu atribut tertentu, misalnya daerah asal, suku, hobi,
pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya. Komunitas
ini merupakan bentuk keluarga yang “baru”, namun tidak benar-benar baru, dalam
artian bahwa bentuk ini sudah ada sebelumnya, namun semakin banyak di hari-hari
ini. Komunitas ini disebut dengan keluarga karena dibentuk atas dasar
kekeluargaan, ataupun rasa kekeluargaan yang melingkupi para anggotanya. Di
kota-kota tertentu, komunitas atas dasar suku ataupun daerah asal merupakan
kelompok yang cukup jamak terbentuk. Contohnya di kota-kota Sumatera memiliki
perkumpulan PUJAKESUMA yang merupakan singkatan dari Putra-putri Jawa Kelahiran
Sumatera. Anggota-anggota dari perkumpulan tersebut tampak sangat hangat bila
berjumpa, laksana keluarga yang telah lama tidak berjumpa. Yang mengikat mereka
adalah kesamaan identitas suku Jawa yang hidup di pulau Sumatera. Kelompok ini
terbentuk, melalui sejarah panjang negeri ini, di mana pada jaman penjajahan
Belanda, orang-orang Jawa yang didatangkan ke Pulau Sumatera untuk “dipekerjakan”
di perkebunan-perkebunan yang dibuka oleh Belanda.
Sementara
kelompok-kelompok yang saat ini mulai banyak terbentuk adalah atas dasar
kesamaan hobi atau kesukaan akan sesuatu. Ada kelompok gamer, yakni orang-orang
yang memiliki kesukaan akan game berbasis komputer. Ada juga kelompok pecinta
anak-anak, yakni orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap nasib anak-anak.
Ada juga kelompok pecinta lingkungan, yang berhubungan dengan isu pelestarian
lingkungan. Dan masih banyak lagi kelompok-kelompok yang didasarkan pada
kesamaan hal yang disukai.
sumber: djepok.blogspot.com |
Kelompok
seperti ini dapat dikategorikan sebagai sebuah keluarga juga di mana
anggota-anggota di dalamnya merasakan kenyamanan dalam interaksi.
Keluarga di
masa kini, di satu sisi masih sama pada bentuk yang ada, namun di sisi lain
juga memunculkan bentuk yang berbeda, yang tidak terkait dengan pertalian darah
dan perkawinan. Bentuk-bentuk keluarga tersebut berusaha menyediakan interaksi
yang nyaman bagi para anggota yang tergabung di dalamnya. Seperti halnya
keluarga pada umumnya, interaksi antar anggotanya belum tentu berfungsi
sebagaimana mestinya. Pada kondisi tertentu, interaksi di dalam keluarga dapat
berjalan dengan dingin, sehingga menyebabkan konflik terselubung di antara
anggotanya. Setiap keluarga pada umumnya berusaha memberikan kenyamanan bagi
para anggotanya.
Dengan
kenyamanan tersebut, anggotanya dapat bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi
yang maksimal, terutama untuk memenuhi panggilan hidupnya. Kenyamanan tersebut
terwujud dalam dukungan yang didapatkan oleh para anggotanya. Begitulah yang
terjadi pada orang yang sukses menjawab panggilan hidupnya, salah satu faktor
yang memampukannya adalah adanya dukungan yang diberikan oleh keluarga
kepadanya. Dukungan ini bisa didapatkan, baik dari keluarga biologis maupun
dari keluarga komunitas.
Peran Keluarga Dalam Panggilan Hidup
Sumber: www.kaskus.co.id |
Setiap
orang sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya dalam menghadapi apapun
persoalan hidupnya. Walaupun keluarga belum tentu dapat menjamin tuntasnya persoalan
yang kita hadapi, tapi dukungan tersebut akan menguatkan kita untuk bertahan
dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Seorang
aktivis tentu juga memiliki keluarga, paling tidak, berasal dari sebuah
keluarga pula. Dalam menjalankan aktivismenya tentu menghadapi berbagai
persoalan terkait dengan isu yang digeluti sehari-hari. Kadang isu tersebut
menjadi begitu pelik dan menguras begitu banyak tenaga sehingga seorang aktivis
bisa merasa begitu lelah luar biasa. Belum lagi masalah hidup lain yang tidak
berkaitan langsung dengan isu aktivismenya, misalnya saja untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, belum lagi bila menjadi aktivis yang menikah dan
mempunyai anak, maka persoalan tersebut menjadi kian kompleks.
Dukungan
keluarga bagi seorang aktivis tentu laksana oase yang menyegarkan dan selalu
dapat memulihkan semangat yang luntur karena aktivitas seharian. Percakapan
yang intim dengan pasangan, bermain dengan anak, ataupun pertemuan dengan
saudara/orang tua, tentu menjadi penghiburan tersendiri. Seorang aktivis akan
semakin dikuatkan dengan dukungan dari keluarga, apa pun bentuknya.
Namun,
kadangkala dukungan tersebut tidak selalu tersedia. Tidak semua keluarga
berkenan memberikan dukungannya kepada pilihan hidup sebagai seorang aktivis,
terlebih bila isu yang dikerjakan penuh dengan tekanan dari masyarakat
ketimbang dukungan. Belum lagi bila dihadapkan pada kesulitan memenuhi
kebutuhan sehari-hari, aktivisme mengalami tantangan terberatnya. Bayangkan,
bilamana seorang aktivis terpaksa banting setir karena sang anak meminta untuk
dibelikan seragam sekolah ataupun keluarga masih harus berpikir apa yang bisa
dimakan besok. Atau ketika aktivis sakit, namun tidak memiliki biaya untuk
berobat. Belum lagi hal-hal lain yang disebut dengan cermin sosial yang
terpampang di mana pun mata memandang. Keteguhan untuk menjalankan aktivisme
pun seolah menipis tanpa adanya dukungan keluarga.
Dukungan
dari keluarga, baik orang tua maupun pasangan, akan membantu meringankan
persoalan yang dihadapi. Namun bagaimana bila itu memang tidak tersedia sama
sekali?
Ada keluarga
lain yang siap
ditemukan dan bisa “menggantikan” peran pendukung. Ya, komunitas. Komunitas
adalah keluarga baru yang bisa kita temukan dan akan mendukung kita karena
kesamaan visi/misi dalam hidup. Menemukannya memang persoalan lain, tergantung
bagaimana kita memilih jalan dan pergaulan dalam hidup ini. Sederhananya, salah
pergaulan hanya akan menambah persoalan yang tidak berguna dalam kehidupan
kita. Bahkan tidak jarang, komunitas menjadi keluarga yang sangat suportif
terhadap pilihan hidup kita, maka tak heran bila komunitas berbasis isu
aktivisme mampu menjadi penopang bagi keteguhan hati seorang aktivis. Misalnya
Walhi, yang menjadi salah satu corong pembela lingkungan Indonesia, bagaikan
sebuah wadah bernaung bagi para pejuang lingkungan untuk tetap setia pada
panggilan aktivismenya. Keberadaan komunitas demikian sangatlah membantu
menjaga aktivis untuk tetap hidup di tengah kondisi yang berat.
Lalu,
bilamana kita adalah keluarga, apakah kita siap untuk memberikan dukungan yang
dibutuhkan bagi aktivis selanjutnya ?
***
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini