Sumber gambar:
http://moeslema.com/kontes-my-familiy-my-inspiration/
|
Saya sendiri tidak tahu apakah bisa
mendefinisikan keluarga saya sebagai keluarga aktivis atau bukan. Yang jelas,
tidak semua anggota keluarga saya adalah aktivis. Kedua adik saya adalah
profesional di bidang masing-masing. Yang satu jadi wiraswasta dan yang lain
bekerja sebagai seorang arsitektur di sebuah perusahaan. Namun, jelas kedua
orang tua saya adalah seorang aktivis. Namun aktivitas Bapak maupun Ibu (Almh)
sedikit berbeda.
Ibu saya sebenarnya dulu seorang
arsitektur profesional. Namun, sejak muda beliau punya ketertarikan terhadap
bidang-bidang sosial. Ketika masih mahasiswa beliau menghabiskan waktu luang
menjadi reader tuna netra, mengurus
anak-anak di panti asuhan, mengumpulkan darah untuk donor darah, dan
sebagainya. Ketika beliau sudah berkeluarga dan berkarir, beliau tetap
menyempatkan waktu untuk berkegiatan sosial, baik dengan mengedarkan dan
merancang sistem pendistribusian buku bacaan untuk anak jalanan, membantu
mendirikan taman bacaan, menyumbang pemikiran untuk mengurus pengungsi di Poso,
dan ikut terbang ke daerah konflik untuk menghibur anak-anak yang ada di sana.
Lalu, suatu hari beliau terkena
kanker. Beliau kemudian mendirikan cancer support group untuk saling
mendukung sesama penderita kanker baik dengan memberikan informasi mengenai
kanker, saling menyemangati, ataupun menemani mereka saat akan melakukan
kemoterapi. Meskipun bekerja sebagai seorang profesional, saya bisa mengatakan
bahwa ibu saya adalah seorang aktivis karena dengan sengaja berpartisipasi
aktif untuk menjadikan dunia lebih baik.
Bapak saya, jelas adalah seorang
aktivis. Saat masih menjadi mahasiswa beliau sudah aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan, mulai dari merancang balai pengobatan untuk mahasiswa,
mengkampanyekan gerakan anti kebodohan, menuliskan buku putih untuk menentang
pemerintahan Soeharto sampai akhirnya beliau dipenjara. Selama beliau
dipenjara, ibu saya mengunjunginya setiap hari sambil membawa makanan dan
kliping berisi tulisan dan gambar terkait isu-isu kemanusiaan dari koran untuk
menghibur Bapak selama
di penjara. Setelah keluar dari penjara,
beliau memilih menjadi akademisi dan peneliti. Namun, jiwa aktivismenya tidak
pernah pudar. Sampai kini pun, beliau masih terus bergerak dengan berbagai cara
(demonstrasi, menulis, mengorganisir gerakan, dsb) untuk menjadikan Indonesia lebih
baik.
Seperti apa rasanya tinggal di
keluarga di mana kedua orang tua adalah aktivis? Menurut saya sih biasa-biasa
saja. Tapi, mungkin ada beberapa hal yang tidak lazim terjadi di keluarga lain,
di antaranya tamu yang terus menerus datang ke rumah, adanya
ancaman dari pihak luar, dan waktu bersama keluarga yang terbatas.
Teman saya menikahi seorang aktivis dan pernah
bercerita bahwa banyak tamu di rumahnya. Saking seringnya ada orang yang
menginap, anaknya yang berusia 2 tahun sangat terbiasa tinggal bersama orang
selain keluarga. Hal yang sama juga terjadi di keluarga saya. Ibu saya pernah
bercerita, bahwa waktu saya bayi, tamu yang datang ke rumah tidak
habis-habisnya. Kopi, teh, dan gula harus selalu tersedia. Piring dan gelas pun
terus menerus harus dicucui. Tamu bukan hanya banyak, tetapi juga bisa
berkunjung dari pagi sampai malam sampai pagi lagi, biasanya mereka datang
untuk mendiskusikan berbagai hal.
Ketika saya mulai remaja, bapak
saya sudah punya kantor sendiri sehingga sebagian tamu beralih bertamu ke
kantor tersebut. Sebagian lagi bertamu ke rumah. Sebenarnya, kedatangan tamu-tamu tersebut
sangat menyenangkan. Sejak kecil, saya terbiasa berhubungan dengan berbagai
jenis orang dari berbagai latar belakang. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan
politisi, wartawan, pemimpin organisasi (buruh, keagamaan, lingkungan, dsb),
penulis, mahasiswa, dan sebagainya. Biasanya tamu-tamu tersebut diajak makan
bersama keluarga saya. Di meja makan itulah mereka mendiskusikan berbagai hal
dari isu kemanusaiaan, politik, ekonomi, sampai isu kenegaraan. Biasanya saya
hanya jadi pendengar saja tapi itu saja menyenangkan. Tanpa disadari wawasan bertambah.
Tentu saja, meskipun banyak teman,
seorang aktivis tidak selalu disukai orang lain.
Kegiatan aktivisme seringkali dianggap mengancam penguasa. Waktu kecil dulu,
beberapa kali saya menerima telepon berisi ancaman pembunuhan. Usia saya masih
7 atau 8 tahun waktu itu. Waktu itu tentu saja ada rasa takut di dalam hati.
Tapi lama-lama saya cuek saja. Namun, secara umum, saya merasa ancaman yang
terjadi di keluarga saya tidak separah keluarga-keluarga aktivis lain. Saya
pernah mendengar dari bapak, seorang temannya, perempuan beranak dua, rumahnya
dilempari bangkai anjing. Itu masih belum parah, ada beberapa anak dari
keluarga aktivis yang harus kehilangan orang tuanya karena diculik ataupun
dibunuh penguasa. Karena tahu resiko-resiko semacam ini, kedua orang tua selalu
meminta saya hati-hati, tidak sembarangan bicara. Mereka mengajari saya bahwa
kadang manusia bisa menjadi kejam, tapi itu tidak berarti kita harus kehilangan
kemanusiaan.
Karena kedua orang tua bekerja
sambil menjadi aktivis, sebenarnya mereka banyak berpergian dan kadang pulang
larut malam. Hal itu wajar karena selain mencari nafkah, mereka juga banyak
sekali kegiatan baik berdiskusi, berkegiatan bersama masyarakat, mengorganisir
massa, melakukan aksi, berkeliling Indonesia, dan sebagainya. Mungkin bagi
sebagian keluarga, hal seperti ini tidak wajar. Penting sekali untuk
menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama keluarga. Namun, saya tidak
melihatnya begitu. Meskipun ibu dan bapak tidak selalu di rumah, saya tidak
pernah merasa kekurangan kasih sayang mereka. Sejak saya kecil saya tahu bahwa
mereka di luar rumah untuk melakukan kebaikan.
Saya selalu tahu, bahwa setiap langkah dalam hidup mereka selalu
digerakkan oleh kasih sayang.
Aktivisme
selalu digerakkan oleh kasih sayang. Ketika kita melakukan kebaikan bagi sesama
manusia, hati kita akan semakin dilimpahi dengan kasih sayang. Kasih sayang ini
akan dirasakan oleh siapapun yang ada di sekitar kita, termasuk keluarga. Kedua
orang tua saya adalah orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk orang lain.
Untuk orang lain saja, kasih sayang mereka melimpah, apalagi untuk
anak-anaknya. Meskipun tak selalu di rumah, kasih sayang ini selalu terasa.
Tidak habis-habisnya.
Sumber gambar: http://www.believeoutloud.com/latest/love-based-activism |
Rasanya akan sangat sulit menjadi
aktivis kalau tidak punya rasa kasih sayang yang melimpah. Karena menyayangi
alam, seorang aktivis lingkungan tidak akan lelah berjuang agar alam ini bisa terjaga
keberlangsungannya. Karena menyayangi setiap manusia, seorang aktivis
kemanusiaan rela berkorban agar keadilan dan kemanusiaan bisa ditegakkan. Seorang aktivis bisa saja menjalani hidup
yang ‘tidak selalu lazim’. Namun apa yang membuat bertahan adalah sesuatu yang
sangat mendasar, kasih sayang.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini