Di
sebuah restoran tempat kami makan, tampak di satu meja sebuah keluarga dimana
sang ayah, ibu dan anak-anak mereka membawa gadget-nya
masing-masing. Sang ibu tampak sibuk meng-update
laman Facebooknya. Sang ayah sibuk
membalas komentar di Twitter. Anak
yang satu asyik ber-whatsapp ria
dengan temannya sambil mendengarkan musik di telinganya, sedang dua anak
lainnya bermain game di tablet-nya masing-masing. Dan tak heran,
begitu makanan datang, tak seorang pun mematikan ‘mainan’nya. Sebuah
pemandangan yang tampaknya mulai kerap dan biasa terjadi di banyak tempat makan
di kota besar saat ini.
Benarkah
ini sebuah gejala kewajaran dalam wajah sosial masyarakat kita?
Di
satu kesempatan lain, saya mendapati keponakan saya yang sedang mempersiapkan
diri menghadapi ulangan umum. Di telinganya terpasang headphone
dengan lagu-lagu terkini menemani, sebuah laptop menyala dengan laman facebook di depannya. Masih kurang, dengan mobile-phone di tangannya ia sibuk membalas pesan SMS yang masuk. Saya bingung membayangkan bagaimana anak ini bisa belajar dengan semua distraksi di depannya. Kemampuan multitasking yang dia gembor-gemborkan sungguh saya pertanyakan, tetapi saya akui kemampuan switching perhatian dari satu ke lainnya patut saya acungi jempol.
dengan lagu-lagu terkini menemani, sebuah laptop menyala dengan laman facebook di depannya. Masih kurang, dengan mobile-phone di tangannya ia sibuk membalas pesan SMS yang masuk. Saya bingung membayangkan bagaimana anak ini bisa belajar dengan semua distraksi di depannya. Kemampuan multitasking yang dia gembor-gemborkan sungguh saya pertanyakan, tetapi saya akui kemampuan switching perhatian dari satu ke lainnya patut saya acungi jempol.
Namun
tak disangkal saya mendapati diri saya merasa ikut bangga ketika seorang teman
saya bercerita bahwa putranya yang berusia 11 tahun, sebutlah Anton namanya, mampu
memproduksi gambar-gambar arsitektur digital seperti yang dilakukan ibunya yang
seorang arsitek. Ibunya mengatakan apa yang dilakukan anaknya adalah hasil
proses setahun saat ia belajar di bangku kuliah. Sebuah fenomena yang luar
biasa bagaimana kerumitan dunia digital sedemikian cepat bisa diadopsi oleh
seorang anak.
Lahirnya generasi digital
Munculnya
istilah generasi digital, atau pribumi digital (digital native) lahir pada saat di mana perkembangan teknologi digital
sudah menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Generasi digital pribumi ini dalam
dua kategori yaitu Generasi Milenia (lahir di antara tahun 1980 dan 2000an) dan
Generasi Xers (lahir diantara tahun 1960 dan 1970an). Saya yakin sebagian besar
dari pembaca, ada diantara rentang generasi digital ini. Dalam satu dekade
terakhir, perkembangan dan penggunaan teknologi sungguh luar biasa dalam setiap
aspek kehidupan. Anak-anak ini lahir, besar, dan hidup dikelilingi oleh teknologi
yang jauh lebih kompleks dari yang pernah ada dalam sejarah manusia. Pertanyaan
kritis yang muncul kemudian adalah apakah ini teknologi ini baik atau buruk
untuk diberikan, dan seberapa intensif penggunaannya yang terukur – wajar digunakan
anak-anak kita?
Anak-anak
digital ini terbiasa untuk mencari informasi, sangat adaptif dengan berbagai
perkembangan alat informasi, kemampuan problem-solving,
kemampuan melihat detail dan bahkan disebutkan mampu melakukan banyak pekerjaan
sekaligus (multitasking). Sel otak
anak pun mengalami proses ‘rewiring’,
berubah sedemikian signifikan hingga mempengaruhi perilakunya. Mengapa
demikian?
Dr
Gary Small, dan Gigi Vorgan dalam
bukunya iBrain: Surviving The
Technological Alteration in Modern Mind (2009: hal 4-5), menyoroti perbedaan
perkembangan dan fungsi otak anak jaman kini dengan kehadiran teknologi ini. Setiap
kali mata kita terpapar gambar dari layar komputer atau televisi, impuls cahaya
mengirimkan sinyal ke otak melalui saraf optik. Dari saraf optik,
neurotransmitter mengirimkan sinyal ke jaringan otal yang lebih kompleks dari neurons, axons, dan dendrites. Jutaan neuron otak kita terpicu dengan reaksi kimia dan
listrik yang menghasilkan persepsi atas gambar tadi. Proses ini terjadi dalam
hitungan sepersekianribu detik. Persepsi ini yang kemudian menghasilkan respon
otomatis fisik atau respon emosional. Paparan yang sering dan konsisten
menghasilkan respon yang berulang dan ini bisa menghasilkan sinapsis jaringan
otak permanen yang membentuk siapa kita; apa yang kita rasakan, yang kita
pikirkan dan apa yang akan kita lakukan. Neuroscientist
berhasil memetakan dan mempelajari perubahan signifikan pembentukan kerja otak
yang kompleks yakni terbentuknya 1 juta kali 1 miliar sinapsis jaringan otak, yang
terbentuk sangat cepat dan menyeluruh. Sebuah titik dimana evolusi otak yang
dicapai ribuan tahun oleh sejarah manusia dicapai satu generasi dalam satu
dekade.
Teknologi,
khususnya teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technologies, ICTs) muncul sebagai wujud
aplikasi ilmu matematika, sains, seni, dan semua yang terkait dengannya yang
dimanfaatkan oleh segenap umat manusia. Inklusi teknologi dilakukan dalam berbagai
aspek kehidupan: penguat jaringan sosial, media komunikasi yang efektif,
sekaligus sarana pendidikan. Alat-alat komunikasi modern seperti mobile-phone, komputer, tablet, dianggap sebagai alat untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dan mendorong pendidikan. Anak-anak
tak lagi membawa kamus yang tebal untuk sekedar tahu arti kata – mereka cukup
memasukkannya ke kamus online dan dalam
hitungan detik, mereka mendapatkan arti dari kata yang mereka cari.
Berbeda
dengan media televisi yang satu arah, ICT khususnya internet memberikan sejumlah jawaban bagi berbagai keingintahuan
mulai dari mencari berbagai informasi terbaru dan menjadi trend, sekedar untuk
hiburan hingga tempat bersosialisasi. Ribuan paparan informasi, foto, video
akan hadir hanya dengan menuliskan kata kunci pada mesin pencari seperti Google, atau Ask.com, dan semua jawabannya akan langsung hadir di depan mata. Kecepatan
dan efektivitas
menjadi sedemikian penting dalam pertarungan teknologi menyangkut tarik-menarik
pencarian dan pemrosesan informasi.
Namun,
di balik kemampuan adaptasi tinggi terhadap teknologi yang dimiliki generasi
digital ini, pertanyaan mendasar lainnya adalah bagaimana dengan kemampuan
berpikir mereka yang disertai dengan pemahaman terhadap konteks dan penilaian
moral yang baik? Kemampuan berpikir, yaitu kapasitas untuk berefleksi,
menganalisis dan menarik kesimpulan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan yang
dimiliki oleh anak dengan usia yang barangkali sudah matang secara teknologi,
umumnya masih jauh dari matang secara emosional.
Suka atau
tidak, kita sebagai orang tua haruslah melihat fenomena ini lebih mendalam. Perdebatannya
sudah tidak melulu soal baik-buruknya penggunaan teknologi, tetapi bagaimana
menggunakannya sebijaksana dan seaman mungkin. Pertanyaannya: Mampukah kita sebagai
orang tua mendampingi anak-anak kita untuk berelasi dengan teknologi sebijak
mungkin?
Orangtua di jaman transisi
Faktanya,
kini kita sebagai orang tua juga tengah mengalami transisi jaman. Ada kalanya
kita mengalami ‘frustrasi teknologi dan media’ –saat kita kewalahan tak mampu
mengikuti perkembangannya. Frustrasi teknologi mengakibatkan kita menolak untuk
memahami perubahan-perubahan jaman yang pelan-pelan meninggalkan kita: ketidaksiapan
kita untuk selalu paham dengan informasi terbaru. Namun di sisi lain, gejala euforia
teknologi terlihat mewabah di kalangan orang dewasa –ketika kita merasa semua
persoalan bisa diatasi dengan teknologi. Namun, alih-alih memanfaatkan teknogi
dan media sebagai sarana dengan tujuan mulia, kita tenggelam dalam hiruk pikuk gadget terbaru, ber-facebook ria dengan tak kenal lelah dan menjadikan dunia maya
senyata mungkin. Perilaku bermedia dan bergadget
ini tentu akan disaksikan oleh anak-anak kita. Mereka akan dengan sangat mudah menirukan
dan mengidentifikasi diri seperti orang tuanya.
‘Generasi layar sentuh’ kini makin muda sebanding dengan makin banyaknya
orang tua yang memiliki kemampuan finansial mulai memberikan tablet pada anak-anak mereka yang berusia di bawah 5 tahun. Usia umum
pengguna gadget, seperti iPad atau tablet, yang termuda saat
ini adalah dari usia 2 tahun. Babysitter elektronik
yang satu ini kini bagaikan magnet yang akan membuat anak sibuk bermain
sendiri. Berbagai situs maupun aplikasi dengan embel-embel ‘edukatif’ dengan harga terjangkau dan
mudah diakses kini sudah biasa menjadi teman bermain anak-anak ini. Batita dan
balita kini tidaklah terlalu merepotkan orangtuanya dengan kehadiran iPad dan tablet. Mereka tidak lagi membuat kotor dan berantakan rumah. Gadget seperti iPad dan mobile phone yang
memuat sejumlah permainan online di
dalamnya, terdengar TMTS – ‘too much, too
soon’, yakni efektif menyibukkan anak namun menimbulkan adiksi (kecanduan),
hingga dalam parameter tumbuh kembang anak digital sekalipun, hal ini perlu
mendapat perhatian khusus para orang tua.
Lalu
bagaimana dengan media sosial dan remaja? Remaja usia belasan tahun adalah
target teknologi yang saat ini meningkat dengan pesat dalam enam tahun
terakhir. Menurut sebuah studi yang dipublikasikan oleh Pew Internet Research, pengguna social media oleh remaja meningkat tajam
dari temuan pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 2006. Tentu ini membawa
risiko karena mereka meletakkan di domain publik berbagai hal yang bersifat
privat/pribadi seperti penggunaan identitas asli dalam profil mereka seperti foto asli, nomor handphone, status relasi, hingga
mengunggah video pribadi mereka[1].
Facebook kini menjadi platform
yang sangat dominan bagi para remaja sebagai ruang ‘manajemen reputasi’. Remaja
seakan punya dunia sendiri untuk membentuk reputasi diri, mengatur jaringan,
membagi informasi secara terbuka, menutupi informasi yang tidak ingin diketahui
oleh jaringan teman mereka. Bahkan mereka mau menanggung ‘drama’ dalam ber-sosial
media, karena dengan mudahnya mereka bisa menghilangkan orang dan teman yang
tidak diinginkan. Itu semua dilakukan hanya dengan modal tingkat kepercayaan
diri yang tinggi dan kemampuan setting teknis
yang sederhana. Antusiasme pada media sosial yang satu ini tak jarang adalah untuk
tujuan pengakuan eksistensi atau sekedar partisipasi agar tak dirasa
ketinggalan jaman. Sebanyak 52% dari para remaja yang disurvey mengatakan bahwa
mereka merasa dunia maya ini menjadi semacam tempat pelarian (escapism) yang paling mudah bagi para
remaja untuk memproyeksikan diri mereka.
Sumber:
http://www.greenbook.org/marketing-research.cfm/millennial-cause-study
|
Dalam jaman yang bertransisi seperti ini, apa
tantangan bagi orang tua dalam membesarkan si buah-hati?
Membesarkan anak dalam serbuan media: Tantangan
orangtua jaman ini
Sebagai
orang tua, kita sendiri mengalami masa dimana adopsi teknologi belum dicapai
dengan kesadaran yang sesungguhnya diperlukan: yakni ‘merangkul sekaligus
berjarak’ dan ‘memanfaatkan sekaligus kritis’ dalam pengunaannya. Yang kita
harapkan adalah agar anak-anak dapat bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan
di dunia online. Ketika kita
mengenalkan anak-anak kita pada televisi, komputer dan berbagai teknologi komunikasi
tersebut, kita mempertaruhkan hal yang sungguh besar jika mereka tidak kita
lengkapi dengan pengaman kesadaran dan tanggung jawab. Pengalaman hidup nyata
yang otentik, yang melibatkan semua panca inderawi amat dibutuhkan karena ia
menjadi fondasi membangun generasi muda yang sehat dan berwawasan kuat. Kita
ingin agar kapasitas anak yang masih murni ini tetap terlindungi dan tidak
semata-mata menjadi konsumen gaya hidup yang artifisial, korban adegan
kekerasan dan seksual atau target pasar yang menjanjikan.
Literasi
media perlu terus diberikan orang tua selama mendampingi anak menonton, ber-internet atau bermain games. Waktu dan perhatian adalah kata
kuncinya. Bersama anak mengeksplorasi berbagai pertanyaan mereka dan
mengenalkan bagaimana cara mencari jawabannya. Kehadiran orang tua diperlukan
untuk menjadi teman diskusi antara apa yang disebut realitas dan ‘make-believe’ – selain kita sendiri sebagai
orangtua juga perlu memasukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang kita
percaya dan ingin anak-anak kita hidupi. Pendidikan ber-media akan sangat
membantu anak untuk memberikan perlindungan keamanan pada anak-anak kita.
Anak-anak perlu mengenali pesan media, membaca dan menjadi kritis dalam proses menginternalisir
pesan tersebut. Orang tua perlu terus mendampingi dengan menjadi teman diskusi
untuk mengolah pesan-pesan tadi agar anak semakin mawas dan terampil mengambil
mana yang yang baik dan meninggalkan yang tidak sesuai nilai.
Dr
Larry Rosen dalam bukunya Me, MySpace and
I (2007), merekomendasikan rasio 1:5, dimana setiap menit yang digunakan
untuk penggunaan teknologi dikompensasi dengan 5 menit waktu untuk melakukan
kegiatan nyata seperti berinteraksi dengan orang lain, bermain di alam terbuka,
berolahraga, melakukan permainan yang mendorong imajinasi dan kreativitas, mengasah
kepekaan sosial, yang semuanya itu berguna untuk menenangkan aktivitas otak. Rekomendasi lamanya permainan untuk anak dibawah 4-5 tahun
adalah selama 30 menit permainan gadget
diseimbangkan dengan 150 menit untuk melakukan aktivitas nyata seperti di atas.
Rasio ini berkembang saat anak memasuki usia remaja, yaitu 50:50.
Hal lain yang bisa
dilakukan secara praktis oleh orang tua tentu dengan menyediakan akses internet
di rumah yang bertujuan agar pengawasan lebih terjamin. Dengan ini anak tidak
perlu keluar untuk mengakses internet –misalnya ke warnet atau ke rumah
temannya—dan orang tua dapat mengawasi semua yang dijelajah anak. Tempatkan
akses ini di ruang yang dapat dilihat oleh banyak orang, misalnya ruang tengah.
‘Parental lock’ dapat pula membantu
proses pengawasan untuk berbagai situs yang tidak layak diakses anak. Yang
jelas, konsistensi dalam keterbukaan antara orang tua dan anak sangat vital misalnya
dalam mengatur kesepakatan durasi waktu penggunaan, batasan antara content yang boleh diakses dan tidak.
Melek teknologi – sebuah catatan akhir
Orang
tua wajib melek teknologi dan media. Kita, para orangtua, kini tengah hidup
dalam jaman di mana perkembangan teknologi dan media tidak sepenuhnya kita sadari
dan kuasai. Maka proses mempelajari kembali (re-learn) menjadi penting untuk kembali menjadi tuan atas teknologi
yang berkembang sedemikian pesat. Tidak bisa lagi orang tua sekedar mengikuti –
orang tua juga perlu memandu dan bahkan harus menjadi model bagi anak-anak
mereka dalam menyeimbangkan aktivitas sehari-hari antara hidup online dan hidup nyata off-line.
Sebagai
catatan berbagi: Kami sendiri adalah keluarga yang sangat terbuka dengan
teknologi. Sikap kami jelas, bahwa teknologi adalah sarana mencapai tujuan,
sehingga penggunaannya sedapat-dapatnya untuk tujuan baik. Pengenalan teknologi
secara bertahap dan keseimbangan aktivitas baik online dan offline dalam
proporsi kebutuhan menjadi perhatian utama kami. Kini anak kami yang berusia 8
tahun pun mulai terbiasa dengan penguasaan teknologi digital. Sebagai sebuah
konsekuensi tinggal terpisah dengan ayahnya, kami menggantungkan komunikasi
kami lewat skype atau facetime. Dia aktif menggunakan email
untuk mengirimkan laporan belajar dan memperlancar komunikasi lewat tulisan.
Kami juga memanfaatkan teknologi dalam berkomunikasi dan berjejaring untuk
kegiatan belajar, juga dalam memenuhi kebutuhan materi pendidikan rumah (home education) bagi anak-anak kami. Tentu
kami mengharapkan agar jika waktunya tiba, mereka siap untuk hidup dengan penuh
tanggung jawab, di mana pikiran dan tindakan adalah hasil dari proses internal
yang matang dalam berinteraksi dengan teknologi.
(Dominika Oktavira Arumdati)
Penulis adalah seorang ibu rumah tangga purnawaktu dan menjalankan home education bagi kedua anaknya. Saat ini, ia sedang merintis pengembangan Komunitas Masyarakat Mandiri untuk Indonesia bagi pemberdayaan petani lokal dan Komunitas anak 'Akar Wangi', yang bergerak dalam pendidikan seni, lingkungan dan literasi digital untuk anak. Ia juga aktif terlibat dalam gerakan permakultur dan saat ini sedang fokus membangun landsekap percontohan. Penulis bertempat tinggal di Yogyakarta.
Penulis adalah seorang ibu rumah tangga purnawaktu dan menjalankan home education bagi kedua anaknya. Saat ini, ia sedang merintis pengembangan Komunitas Masyarakat Mandiri untuk Indonesia bagi pemberdayaan petani lokal dan Komunitas anak 'Akar Wangi', yang bergerak dalam pendidikan seni, lingkungan dan literasi digital untuk anak. Ia juga aktif terlibat dalam gerakan permakultur dan saat ini sedang fokus membangun landsekap percontohan. Penulis bertempat tinggal di Yogyakarta.
[1] Lihat
http://www.pewinternet.org/Reports/2013/Teens-Social-Media-And-Privacy/Summary-of-Findings/Teens-Social-Media-and-Privacy.aspx#footnote2
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini