Sebuah pertanyaan
yang biasa ditanyakan orang tua
kepada anak-anaknya adalah, “Kalau sudah besar mau jadi apa?”, lantas anak-anak akan memberi beragam jawaban mengenai cita-cita mereka. Bahkan walikelas
saya di SD pada suatu hari pernah menanyakan kepada seluruh siswa, apa
cita-citanya. Jawaban yang diutarakan kurang lebih sama, menjadi dokter,
astronot, atau pilot.
Terlepas dari apa yang
menyebabkan adanya keseragaman jawaban tersebut, cita-cita merupakan salah satu
indikator kesuksesan yang hendak diraih. Sukses, adalah kata yang akan kita
bahas bersama di sini.
Kalau setiap orang
ditanya “Apakah Anda ingin sukses?”, kita bisa mendapatkan jawaban, bahwa
sebagian besar orang menginginkannya. Namun, keinginan tersebut tidak serta
merta membuat kesuksesan itu tercapai begitu saja, ada beberapa faktor yang menyebabkan
tercapainya kesuksesan tersebut. Apapun faktor yang mendasari tercapainya
kesuksesan tersebut, ternyata salah satunya terkait dengan ketakutan.
Ketakutan? Ya, walaupun seseorang menginginkan kesuksesan dalam hidupnya,
rupanya ada faktor di dalam diri setiap orang yang justru takut terhadap
kesuksesan tersebut. Ketakutan ini terkait dengan keyakinan (belief) yang kita miliki terhadap
kesuksesan. Keyakinan tersebut menurut Antonius Arif merupakan limiting belief ataupun mental block.
Ada 3 tipe keyakinan (belief)
yang terkait dengan ketakutan untuk sukses (Robert Dilts, 1990) :
1.
Hopelessness (tidak ada harapan)
Tipe ini dimiliki oleh seseorang yang merasa tidak memiliki harapan
terhadap impian yang diinginkan. Perasaan tiada harapan ini biasanya terkait
ketiadaan pengetahuan tentang kemungkinan untuk sukses tersebut. Orang dengan
tipe ini biasanya selalu beralasan macam-macam terhadap kerja keras. Orang
dengan tipe ini akan berkata, “Orang lain saja tidak bisa, apalagi saya”. Tipe
orang dengan keyakinan seperti ini terbentuk karena sepanjang hidup orang
tersebut melihat kerja keras tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapat.
Untuk tipe ini, pernahkah Anda melihatnya atau mengalaminya sendiri?
2.
Helplessness (tidak berdaya)
Keyakinan ini
terdapat pada diri seseorang yang melihat orang lain bisa melakukannya, namun
dia sendiri merasa tidak mampu melakukannya. Keyakinan akan ketidakmampuan ini
kemudian membentuk perasaan tidak berdaya, atau sebaliknya. Apabila kedua hal
tersebut saling menguatkan maka akan semakin membuat seseorang tidak bergerak
ke mana-mana. Hidup orang seperti ini akan menjadi stagnan. Pernahkah Anda
mendengar seseorang yang mengatakan bahwa kesuksesan itu adalah milik
orang-orang yang punya uang saja? Ataukah Anda pernah merasakan tidak bisa
sukses karena Anda bukanlah orang yang pintar?
Situasi ini
sebetulnya seringkali kita dapati dan sepertinya memang kondisi yang umum
terjadi. Sebagai contoh, ungkapan ini, “Ya, karena bapaknya dokter, makanya dia
pintar belajar kedokteran”.
Adanya kepercayaan tentang faktor keturunan, akhirnya membatasi suatu
pekerjaan tertentu hanya pantas dikerjakan oleh orang-orang dari keturunan
tertentu. Sehingga keyakinan yang muncul adalah “Mana mungkin saya bisa menjadi
seorang dokter, saya kan anaknya seorang penarik becak.” Dengan keyakinan
seperti ini, orang tersebut terjebak dengan pemikiran bahwa mimpinya dibatasi
oleh siapa orang tuanya. Padahal, mungkin saja dia memiliki bakat dalam
memahami dunia kesehatan. Akibat keyakinan tersebut, maka peluang yang ada
menjadi hampir tidak ada.
3.
Worthlessness (tidak berharga)
Keyakinan ini
terjadi jika seseorang merasa bahwa walaupun hal tersebut mungkin dan bisa
dilakukan, namun dirinya merasa tidak pantas dan tidak layak. Contoh yang
sering terjadi adalah pada percintaan, misalnya seperti ini, “Saya mencintai
pasangan saya dan yakin sebenarnya
bisa berdamai dengannya . Hanya saja, saya merasa tidak pantas dan tidak layak
untuk bersama dengan dia.”
Contoh lain yang
bisa kita lihat adalah dalam pertemanan. Apakah Anda pernah lihat orang-orang
yang menarik diri dari pergaulan sehari-hari? Terlepas dari kemungkinan adanya
faktor lain yang mempengaruhi, pikiran bahwa “Saya tidak pantas berteman dengan
mereka” atau “Saya tidak layak mendapatkan perhatian dari mereka” merupakan
salah satu penyebab yang muncul dalam pergaulan di masa kini.
Saya sendiri pernah mengamati pola ini terjadi pada mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi dalam waktu yang cukup lama. Kepercayaan diri yang sedang menurun, diimbuhi oleh manajemen stress yang kurang cakap, cenderung membuat mahasiswa tingkat akhir menarik diri dari pergaulan untuk sementara waktu. Ditambah pemikiran “Ah, sudah bukan jamannya saya lagi” membuat keyakinan itu bertambah kuat.
Semua tipe keyakinan di atas tidak lahir begitu saja, namun dibentuk
oleh lingkungan seseorang, baik melalui nilai yang ditanamkan oleh orang tua
maupun institusi pendidikan. Pendidikan seseorang secara tidak langsung
memberikan sumbangsih terhadap pembentukan keyakinan-keyakinan seperti itu,
hingga secara tidak sadar
seseorang tidak sungguh-sungguh mengejar kesuksesan yang diinginkan. Lebih parah lagi apabila
seseorang mengejar kesuksesan yang diciptakan oleh orang lain dan ia tidak
sadar sedang melakukannya.
Saat saya masih kuliah, saya berteman dengan seseorang yang mengambil
kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Tapi, sebetulnya dia lebih menginginkan
kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Ini disebabkan karena orang tuanya
berpendapat tidak ada masa depan untuk seniman. Dia pun terpaksa memilih
jurusan Ilmu Komunikasi karena hanya program tersebut yang masih mungkin ia sukai.
Di kemudian hari, dia tidak pernah serius menjalani kuliahnya dengan berbagai
alasan yang kemudian membuat dia memutuskan untuk mundur di batas akhir waktu
perkuliahannya.
Cerita serupa cukup mudah didapati pada mahasiswa-mahasiswa yang
prestasi belajarnya rendah (kalau indikatornya adalah IPK), walaupun belum
tentu hal ini terkait dengan faktor intelektual. Ada banyak mahasiswa yang
memilih program studi tanpa mempertimbangkannya dengan matang berdasar hati
nuraninya. Banyak yang belum menyadari, bahwa untuk mencapai panggilan
hidupnya, dia harus menjalani perkuliahan di perguruan tinggi tertentu sesuai dengan minat dan bakatnya. Tidak banyak orang yang akhirnya
kemudian bisa berkembang hingga potensi terbaiknya.
Kalau mau ditelusuri lebih lanjut, bahkan jauh sebelum duduk di bangku
kuliah, paradigma masyarakat di Indonesia tentang pendidikan tidak membiasakan
peserta didik untuk memilih berdasarkan hati nuraninya. Paradigma pendidikan di
masyarakat kita membatasi masa depan yang hanya bisa diraih berdasarkan
jurusan-jurusan yang tersedia di perguruan tinggi. Lebih parahnya lagi
pendidikan yang dianggap baik terbatas pada perguruan tinggi bergengsi.
Dampak dari paradigma
pendidikan tersebut adalah terkuburnya impian-impian luhur bagi dunia yang
lebih baik. Impian-impian, yang kita sebut juga sebagai visi hidup tidak pernah
dapat tercapai, bahkan tidak mampu
memikirkannya. Mengapa? Karena memang kita tidak pernah dididik untuk
memikirkan sesuatu dalam perspektif waktu yang panjang, kita dibatasi oleh apa
yang kita miliki sekarang, sehingga apabila kita memikirkan sesuatu yang tidak
ada, kita dianggap “gila”.
Paradigma
masyarakat, baik melalui pendidikan maupun kehidupan sehari-hari, telah lama
menyumbangkan ketakutan pada keyakinan individu, serta menutup kenyataan bahwa sesungguhnya kesuksesan itu unik bagi setiap orang dan merupakan hak setiap
orang. Ketika berbagai tipe keyakinan tumbuh dan semakin mengakar di dalam diri
seseorang, sangat sulit baginya untuk menemukan kesuksesan yang “sesungguhnya”
di dalam hidupnya.
Namun demikian, setiap
manusia dapat membebaskan diri dari keyakinan yang menghalangi kesuksesannya
itu. Berikut ini adalah tips untuk keluar dari belitan keyakinan tersebut :
1
Kenali; bagaimana pandangan kita terhadap diri
sendiri? Apakah ada salah satu jenis ketakutan tersebut?
2
Lepaskan; hal-hal yang memang tidak kita
butuhkan, sudah saatnya untuk kita lepaskan, berikan “ruang” untuk hal-hal yang
baik dalam hidup kita.
3
Berdamailah dengan segala “keburukan” di masa
lalu kita, terimalah itu sebagai bagian yang indah dari keutuhan diri.
4
Tanamkan ide ke dalam diri, “saya berhak untuk
sukses dan bisa mencapainya”.
5
Fokus pada apa yang kita inginkan.
Meski sulit, tetapi dengan kemauan yang keras, setiap orang bisa
membebaskan diri dari belitan keyakinan tersebut, dan berlari mengejar
kesuksesannya.
Jadi, bisa kita
lihat bahwa penghalang bagi kesuksesan bisa berasal dari dalam, yaitu keyakinan
kita sendiri tentang kesuksesan. Lalu keyakinan ini dipengaruhi oleh pendidikan
yang ditanamkan, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Ditambah dengan
pandangan masyarakat (orang-orang di sekitar) yang berlaku di masa itu, maka
keyakinan itu akan semakin mengakar kuat di dalam diri orang.
“Jikalau ingin sukses, keinginanmu untuk sukses harus
lebih besar dari rasa takutmu terhadap kegagalan” –
Bill Cosby, komedian berkebangsaan Amerika Serikat.
(David Ardes Setiady)
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini