Perkembangan teknologi yang begitu cepat, seakan mengubah
pola kehidupan kita. Alih-alih memperhatikan sekitarnya, perhatian orang-orang
saat ini sepertinya lebih banyak tersedot oleh telpon genggam yang semakin
canggih, atau tablet dan tab yang semakin kecil ukurannya sehingga mudah dibawa
ke mana-mana dan digunakan setiap waktu. Tampaknya kemajuan teknologi belum
diimbangi dengan peningkatan kecerdasan sosial, sehingga muncul fenomena tadi.
Masalah kepedulian sosial sebenarnya bukan masalah baru yang muncul bersamaan dengan masalah penggunaan “gadget” yang
tidak pada tempatnya. Masalah ini muncul tidak kenal waktu, ketika seseorang
belum memiliki kecerdasan sosial yang cukup.
Sebenarnya masih banyak hal lain di luar pengaruh gadget yang
mencerminkan bagaimana kepedulian seseorang terhadap lingkungannya. Namun,
daripada meributkan kondisi yang ada saat ini, mungkin lebih baik kita fokus
kepada anak-anak yang ada saat ini, bagaimana membangun sikap peduli sosial,
dan bagaimana menanamkannya
sehingga kelak mereka memiliki kesadaran untuk berkontribusi pada
sesama.
Howard Kirschenbaum mengungkapkan, hampir seluruh masalah
dalam kehidupan terkait
dengan pendidikan nilai dan pendidikan moral. Pendidikan seperti inilah yang rasanya luput dari sistem pendidikan formal kita karena semua yang diukur hanyalah kecerdasan akademis.
dengan pendidikan nilai dan pendidikan moral. Pendidikan seperti inilah yang rasanya luput dari sistem pendidikan formal kita karena semua yang diukur hanyalah kecerdasan akademis.
Rasa peduli terhadap orang lain tidak dapat dibangun hanya
dengan menaruh simpati saja. Kita perlu rasa yang lebih kuat untuk menggerakkan
tindakan berbagi dari sekadar jatuh kasihan. Kita harus peka, kemudian berempati yang menggerakkan kita
memberikan kontribusi.
Kalau kita cermati, ada dua hal yang memiliki peran paling
besar dalam menanamkan kepedulian seorang anak terhadap lingkungan sekitarnya,
yaitu keluarga dan lingkungan. Fondasi utamanya tentu lingkaran keluarga.
Namun, sebagai tempat dimana anak
banyak belajar dan menghabiskan waktunya, sekolah memiliki peranan yang penting
dalam membangun kepedulian sosial.
Membangun Empati pada Anak
Empati. "Put
ourselves in others shoes". Kita berusaha memahami perasaan dan sikap
orang lain, dan peduli kepadanya. Definisinya sangat mudah kita pahami. Tapi
apakah mencerna dan melakukannya sesederhana itu?
Sangat mudah membaca kemampuan anak untuk berempati. Di
rumah, sikap anak dalam merespon anggota keluarga yang ada di rumahnya, hingga
bagaimana ia bersikap kepada ART (Asisten Rumah Tangga), supir, tukang kebun, bahkan tetangga dan
penjaga warung, dapat menggambarkan kecerdasan sosialnya. Di sekolah, dinamika
kelas sangat mencerminkan kecerdasan sosial para siswanya. Kegiatan yang
menumbuhkan rasa empati dan menghargai untuk menghindari kasus bullying di kelas, belajar bersama anak
berkebutuhan khusus, bisa menjadi sumber belajar istimewa yang membangun
kehidupan sosial anak di sekolah. Perhatikan saja perilaku dan caranya
menyelesaikan permasalahan sehari-hari.
Memang beberapa orang lebih mudah berempati dari yang lain.
Tetapi saya yakin yang penting adalah bukan mudah atau sulit, namun bagaimana
caranya untuk lebih empatik. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk membangun
rasa empati pada anak-anak, sehingga mereka dapat menjadi orang yang memiliki
kasih sayang terhadap orang lain.
Dalam wawancara dengan tvo, sebuah stasiun televisi di
Canada, Mary Gordon, penulis buku "Roots of Empathy" mengungkapkan
bahwa secara alamiah anak-anak lahir dengan kapasitas empati. Karena didikan
atau lingkungan, kapasitas berempati ini bisa maksimal berkembang, atau malah
menipis. Kalau anak tidak punya contoh, juga menipis.
Sebenarnya tidak sulit mengasah kepekaan sosial pada anak,
karena pada dasarnya anak adalah makhluk yang penuh rasa ingin tahu. Rasa ingin
tahu akan sekitarnya itulah yang kemudian dicernanya menjadi sebuah kepedulian.
Mengasah kepedulian sosial tidak mengenal umur. Saat
mendampingi anak-anak belajar empati, orang tua pun banyak belajar dan
diingatkan juga. Tidak ada kata terlambat dan berhenti untuk mengembangkan
kepedulian sosial, karena sampai kapanpun pun kita akan selalu berhadapan
dengan permasalahan sosial yang semakin berkembang.
Banyak sekali cara untuk mengembangkan kepedulian sosial. Hal
yang sederhana adalah mendongeng dan menggali nilai-nilai dari dongeng. Bermain
peran, salah satu kegiatan yang menyenangkan untuk anak dan mudah untuk melihat
bagaimana seorang anak memasukkan dirinya dalam satu kondisi tertentu. Bermain
peran tidak harus dilakukan di sekolah, bisa juga dilakukan di rumah. Bermain
peran tentang kehadiran anak baru yang datang ke kelas mereka bisa menjadi
salah satu pencegah bullying. Setelah
bermain peran, diskusikan sikap-sikap yang mereka perlihatkan dan alasannya.
Pada anak-anak yang sudah mulai beranjak dewasa, aktif di
organisasi dapat mengembangkan kepedulian anak terhadap teman-temannya dan
meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan banyak orang. Anak juga semakin
mandiri memecahkan permasalahan.
Sumber : http://sem-ya.com.ua |
Membaca dan Mendengar dengan hati
Menurut saya, salah satu laboratorium terasyik untuk mengasah
kepekaan sosial dari kecil adalah transportasi umum, seperti angkutan kota (angkot)
yang menjadi moda mobilisasi yang paling saya sukai. Kita tidak akan pernah
menjumpai satu keadaan yang sama di angkot. Setiap saat selalu berubah, dengan
beragam orang yang keluar masuk tanpa bisa kita pilih. Sering mengajak anak
menggunakan angkot untuk bepergian tidak hanya mengajarkan anak menjaga diri,
tetapi juga memberikan pelajaran kepada anak tentang menempatkan diri dan
bersikap. Contohnya ketika menggunakan tas punggung, tasnya dipangku supaya
kita dapat duduk menyandar dan kaki kita tidak menghalangi jalan. Seperti juga
kita harus menunggu orang keluar terlebih dahulu sebelum kita masuk atau
bergeser supaya orang yang baru masuk mudah duduk.
Mendampingi anak memahami, mengolah, dan memecahkan
permasalahan yang terjadi dalam kesehariannya sangat membantu mereka
mengembangkan empati dan kepedulian terhadap orang lain. Orang tua dan guru hanya perlu
memberikan anak kesempatan untuk itu,
karena secara alami, anak-anak memiliki kemampuan dan naluri untuk
merefleksikannya.
Menurut Stan Baker, seorang praktisi pendidikan dari Safe
Caring and Restorative Schools di Kawartha Pine Ridge District School Board,
Kanada, tahap pertama dalam membangun empati adalah meningkatkan kemampuan
mendengar. Hal ini terlihat mudah, namun dalam kenyataannya terkadang
tidak semudah itu menjadi pendengar yang baik. Kemampuan mendengar ini adalah
hal yang paling nyata dan efektif untuk mengajarkan anak-anak (juga orang
dewasa) untuk lebih empatik.
Setelah itu, pendampingan sebagian besar dilakukan hanya dengan
memancing mereka dengan beberapa pertanyaan ketika anak mengalami suatu
kejadian.
Menurut saya, tidak hanya mendengar tetapi juga membaca.
Tidak sekadar mendengar dan membaca dengan telinga dan mata kita saja, tetapi
juga dengan hati. Ketidakpedulian kita terjadi sesederhana ketika kita tidak
mendengar dan tidak melihat.
Ada enam pertanyaan mendasar yang membantu anak mengambil
pelajaran dari pengalamannya.
- Apa yang terjadi?
- Mengapa anak melakukannya?
- Apa yang ia pikirkan saat melakukannya (atau setelah melakukannya)?
- Siapa yang terkena akibatnya?
- Mengapa orang-orang tersebut terkena akibatnya?
- Dan pertanyaan paling penting adalah apa yang perlu ia lakukan untuk membuat semuanya lebih baik?
Hal yang penting, kita menanyakannya dengan sikap netral,
tanpa menghakimi atau menyalahkan. Karena emosi, guru atau orang tua kadang
menyampaikannya dengan nada tinggi, sehingga anak merasa disalahkan atau
dihakimi lalu menutup diri dan defensif. Kita juga perlu menahan diri saat anak
masih emosional karena saat itu anak menjadi defensif dan sulit untuk diajak
bicara. Saat kejadian, tangani yang perlu, nanti dibicarakan lagi kalau sudah
berkurang emosinya dan berkurang defensifnya. Apabila anak sudah mampu dan
terbiasa mengolah pengalamannya, ia pun memiliki kesadaran untuk terus
mengambangkan kepedulian sosialnya, dan tidak menjadi hal yang dogmatis.
Sumber : http://www.telegraph.co.uk |
Penutup
"The attitude that you have
as a parent is what your kids will learn from, more than what you tell them.
They don't remember what you try to teach them. They remember what you
are."
Petikan dari Jim Henson di atas seperti cermin untuk kita.
Apakah kita –sebagai orang tua, sebagai bagian dari masyarakat- sudah cukup
peduli dengan lingkungan sekitar kita? Apakah kita terus mengasah kemampuan
kita untuk berempati pada lingkungan kita? Karena sebenarnya anak-anak perlu
contoh untuk mencerna apa itu kepedulian sosial. Anak-anak punya sistem sendiri
tentang mencerna pengalamannya. Kita hanya perlu membantu mereka supaya dapat
memahaminya dan berbuat untuk sebuah keadaan yang lebih baik dengan menjadi
contoh.
Semoga ketika kita ingat bahwa satu aksi kecil yang dilakukan
bersama dapat menggerakkan masyarakat, kita tidak merasa kelelahan sendiri
untuk terus melakukannya. Dan semoga, kita tidak sulit bertemu dengan anak yang
dengan tulusnya menawarkan bantuan, “Kamu kenapa? Sini saya bantu!”
Referensi :
Gordon, Mary, Baker, Stan. The Importance of Teaching Kids
Empathy. tvoparents.tvo.org.
Kirschenbaum , Howard. 1995. "100 Ways to Enhance Values
and Morality in Schools and Youth Settings". Massachusetts : Allyn &
Bacon
(Ardanti Andiarti)
Penulis
adalah seorang yang menikmati hidup di dunia pendidikan. Setelah bertualang
melalui beberapa pekerjaan, akhirnya menetapkan diri untuk berlabuh di dunia
pendidikan. Pernah menjadi pengajar di Rumah Belajar Semi Palar, Bandung dan
aktif dalam beberapa program pendidikan, di antaranya menjadi kurator Bincang
Edukasi Bandung, fasilitator program anak di Sahabat Kota, menjadi co-trainer
di Program Sekolah Sobat Bumi.
No comments:
Post a Comment
Silakan berikan tanggapan di sini